Chereads / Diantara Kebohongan / Chapter 9 - 9

Chapter 9 - 9

"daydreaming itu seperti kecanduan obat, membuat kamu senang, membuat kamu merasa lebih baik dengan melarikan diri dari kenyataan. Tetapi disaat yang bersamaan kamu tahu itu tidak normal dan tidak sehat untuk kamu. Kamu kecanduan dan merasa

bersalah setelah melakukannya, tapi kamu tidak bisa berhenti karena itu satu-satunya hal yang buat kamu merasa puas".

"kasus terburuk, kamu akan berhenti menginjak dunia nyata dan terus terkurung dengan semua khayalan itu. Kamu akan kesulitan menangani pemikiran kamu sendiri, menggunakan hati untuk menawan langkah kamu karena kamu terlalu takut meninggalkan kecanduan kamu dan dunia khayalan kamu yang sempurna. Kamu akan sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan, kamu akan menganggap bahwa kehidupan yang lebih baik adalah dengan diam di tempat dan membuat khayalan kamu semakin realistis, semakin sempurna. Itu akan membawa kamu ke penyakit yang lebih

serius, seperti schizophrenia. Itu bisa membahayakan diri kamu sendiri bahkan orang lain".

"lalu menurut dokter, seperti apa itu normal? Kehidupan yang dijalani semua orang, bagaimana cara mereka mampu menjalaninya tanpa merasa kecil atau tersisihkan?".

"kamu bisa lihat dari bagaimana sebagian orang menjalani hidup mereka menggunakan keinginan, sebagian lagi hidup dengan santai dan menikmati apa yang ada, sebagian lagi hidup tertawan, sebagian lagi hidup dengan tanpa motivasi dan hanya hidup".

"normal menurut pandangan orang-orang itu berbeda. Dan menurut saya pribadi, normal itu ketika kita mampu melihat dan memahami banyak hal yang ada dan terjadi, banyak memiliki pertanyaan kenapa dan berusaha perlahan mencari jawabannya".

"tidak ada yang salah dengan beristirahat sejenak untuk melihat dan mengamati segala hal, untuk membebaskan pikiran kamu dan melihat bagaimana dunia bekerja untuk orang-orang di sekitar kamu atau bahkan kamu sendiri. Saya tidak bilang kamu harus memahami setiap detailnya, kamu hanya harus mencoba untuk membiarkan apa yang pikiran dan hati kamu katakan tentang hal-hal seperti itu".

"saat kamu mulai memahami bagaimana sifat setiap orang itu berbeda, kamu akan bisa lebih memahami diri kamu sendiri dan meyakinkan bahwa mereka kurang lebih sama seperti kamu hanya saja mereka mampu membebaskan pikiran dan pergerakan mereka.

Mereka hanya mencoba untuk tetap hidup, selalu menjadikan alasan sekecil ingin mencicipi makanan untuk bisa bertahan dan bernafas keesokan hari lalu keesokan harinya lagi dan seterusnya".

"tapi saya udah ngga ada gairah untuk melakukan itu semua dokter, saya memang pengecut seperti yang banyak orang katakan. Setiap orang memiliki tempat untuk mereka dan sementara saya tidak, tidak ada yang mau memberikan saya tempat".

"kalau begitu buat tempat kamu sendiri, untuk menampung diri kamu dan memberi batasan terhadap orang lain yang mungkin ingin menginvasinya. Jika kamu beruntung, jika kamu memilih untuk menjadikan banyak alasan kecil sebagai jalan keluar dari setiap masalah kamu. Mungkin saja kamu akan dijadikan tempat bagi orang yang kurang lebih sama seperti kamu, yang mencari penguatan, yang mencari pegangan, yang mencari alasan untuk tetap melanjutkan hidup".

2 jam sesi konseling yang sangat menguras energi positifnya, membuat Malena hanya bisa terduduk di kursi kerja dalam lamunan panjang. Pasien barusan adalah salah satu pasien barunya selama beberapa minggu belakangan, seorang mahasiswa di perguruan tinggi bergengsi yang punya persaingan ketat dan tidak masuk akal. Dia merasa menjadi seorang pengecut karena tidak mampu menempatkan diri di lingkup manapun, selalu individual bukan karena dikucilkan, melainkan karena perilakunya sendiri yang tidak mudah bersosialisasi dan selalu merasa dirinya lebih baik sendirian daripada berkelompok.

Ia telah banyak menghadapi pasien dengan kasus serupa, dimana mereka tidak sadar bahwa mereka sendirilah penyebab dari ketidakmampuan mereka dalam menemukan seorang teman atau pasangan. Mereka masih terlalu egois, terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun itu justru mengingatkannya kepada sosok Ghani, pria muda sukses yang katanya masih sendiri.

Apakah dirinya percaya? Tentu saja tidak mungkin.

Ting Nong!!

Lamunannya terpaksa terhenti, ketika suara bel memeka berbunyi. Ia beranjak untuk keluar dari ruangan, dan sosok Andira telah berdiri di depan interkom lebih dulu.

Untuk alasan pekerjaan, Andira memang akan selalu menjadi asistennya ketika Ia tak berada di klinik. Itu dilakukan agar Andira dapat mengatur jadwalnya lebih fleksibel dan

membantunya, terutama agar Ia tak benar-benar sendirian di rumah selama menemui para pasien.

Wanita itu menoleh kepada Malena senyum simpulnya, "itu dokter kanya mba" berhubung mereka bukan di klinik, Malena memang meminta Andira untuk memanggilnya demikian agar terkesan lebih santai.

"kamu kenapa ngga nerima aja pengganti bi surti untuk sementara? Sekalian nemenin kamu di sini kan? Atau mau aku minta mba nur buat ke sini sebentar?".

Kanya menyeduh teh di dapur Malena seperti dapur sendiri, sedangkan sang empu ada duduk di kursi meja makan, tengah menikmati cemilan kesemek kering yang dibawa Kanya sebagai buah tangan dari luar kota. Andira sementara tengah mengangkat telepon di teras belakang. Mendengar asisten rumah tangga Malena tengah pulang kampung, Kanya tentu sangat bersedia menawarkan salah satu asisten miliknya untuk membantu Malena sejenak.

Tetapi Malena jelas menolak itu, Ia tak bisa menerima bantuan dengan sengaja mengganti posisi Bi Surti begitu saja meski hanya sejenak.

"cuman seminggu saja mba, aku ngga apa-apa kok. Lagian kasihan juga, dia pulang hanya setahun sekali pas ramadhan doang". Ia adalah nyonya rumah yang terlalu royal.

Mereka belum bicara intens semenjak kepulangan Kanya dari luar kota, pun janji belum terlaksana karena kesibukan mereka masing-masing. Sangat banyak hal yang bisa mereka duduk bincangkan secara serius. Kanya sendiri belum ada waktu untuk sempat memberitahu perihal kedatangan Adnan beberapa waktu lalu, terlebih Malena yang juga belum sama sekali memberitahu soal misi tentang menangani seorang calon pasiennya?

Kanya kembali mendekati meja makan dengan dua gelas teh hangat, duduk di sebelah Malena yang masih santai makan cemilan oleh-oleh.

"aku minta maaf ngga sempat balesin pesan kamu beberapa waktu belakangan" kata Kanya dengan nada menyesal, tapi Malena tersenyum simpul.

"ngga apa mba, aku ngerti mba pasti sibuk banget. Aku sedikit kangen Jihan sama diana aja, main-main ke sini lagi".

"kalo gitu besok aku bawa mereka kesini. Aku juga mau bilang kalau situasinya beberapa hari belakangan ini tuh agak kurang baik, apalagi ditambah kebetulan pasien aku butuh penanganan medis yang cukup serius". Keluh mba Kanya bernada sendu.

Ia sangat paham, pun dirinya setia menunggu sampai waktu Kanya akan datang sendiri kepadanya dan menceritakan semuanya.

"Dan aku tahu kamu sadar ada yang salah antara aku sama mas tio malam itu"

Benar, cepat atau lambat Kanya akan menyadari bahwa dirinya telah tahu. Kanya tidak bisa menyembunyikan fakta itu dari Malena maupun dirinya sendiri, mereka terlalu saling memahami satu sama lain sampai hanya dari gestur dan tatapan saja sudah

bisa terbaca jelas. Perseteruan dalam rumah tangga itu hal yang normal terjadi, dua manusia dengan watak dan sifat berbeda yang disatukan dalam pernikahan meski sekeras mencoba saling memahami pasti akan sampai pada waktu dimana mereka akan kesulitan memahami satu sama lain.

"itu alasan aku kesini, biar kita bisa ngobrol. Karena aku butuh saran kamu" begitu khawatir Kanya terdengar, seperti sebuah beban berat tak kasat mata.

Ting! Nong!

Sayangnya harus terjeda perbincangan mereka karena bunyi bel, yang lantas membuat Malena segera beranjak dengan keheranan kali itu, dan Ia menggestur agar Kanya tetap duduk sembari dirinya pergi memeriksa. Sementara Kanya berpikir itu mungkin salah satu tamu pasien Malena yang datang lagi, padahal Dia sangat ingin segera mencurahkan masalah yang ada, tapi Dia tak bisa menahan Malena apalagi jika itu menyangkut pasien.

Tak berapa lama, Andira kembali dari teras belakang dengan wajah keheranan mengamati jendela di mana sosok Malena tengah berjalan ke arah pagar.

"siapa yang datang bu?" Dia mendekat dan mengambil tempat duduk di kursi kosong meja makan yang berhadapan dengan Kanya, tetapi bukan tempat Malena sebelumnya.

Mereka mengamati lewat jendela, dan melihat sosok pria bergaya santai dengan corduroy denim menenteng sepeda memasuki pagar yang dibuka oleh Malena.

"mungkin salah satu pasien, kan kamu yang ngatur jadwalnya" ucap Kanya, sembari mengangkat gelas tehnya.

Tetapi raut Andira heran dan menggeleng, "saya ngga ingat mba malena punya

jadwal dengan pasien di jam segini, klien yang akan datang di jam 3 sore nanti" sambil melirik jam di pergelangan kanannya, yang masih menunjukkan pukul 1 lewat.

Lantas keduanya saling tatap sejenak, dan pintu kembali terbuka. Masuk Malena yang kemudian mempersilahkan si pria untuk masuk, pria yang rupanya adalah Ghani. Karena ruang dapur hanya memiliki sekat tembok sepinggang, mereka bisa melihat sosok pria tersebut lebih jelas. Mereka melempar senyum serta anggukan kilas, maksudnya karena mau menyapa basa-basi dengan tamu. Tapi Ghani hanya memberi senyum tipis yang tidak terkesan seperti senyum, lebih seperti dia hanya menipiskan bibirnya kilas sebelum kembali membuang pandangan pada Malena.

"tunggu sebentar ya, saya ngga lama kok" kata Malena, lalu menengok untuk mengajak Ghani.

Kanya dan Andira melempar senyum seraya mengangguk, namun reaksi itu hilang ketika Malena bersama Ghani yang mengekor berlalu menuju ruangan di sayap kanan rumah yang merupakan ruang kerja Malena. Mereka kembali saling melempar tatapan bingung, Kanya adalah yang memutus pandangan, sampai Andira yang buka suara duluan.

"mungkin temannya mba malena kah bu? Agak kurang ramah yah" sambil tersenyum masam, sedangkan Kanya tengah menyesap sedikit teh dengan raut tak terbaca.

Malena sedikit gugup ketika membuka pintu ruangannya dan mempersilahkan Ghani untuk masuk, hal yang sebelumnya Ghani lakukan ketika membawanya ke tempat pribadinya. Pria itu melengos melewatinya dengan santai, masih dengan raut datar tak terbaca. Pandangannya seketika mengedar ke penjuru ruangan yang bergaya autentik khas rumah jaman dulu, temboknya memiliki wallpaper motif bunga kecil berwarna sage, furnitur yang juga sebagian besar berlabel vintage bernilai seni. Sedikit terlihat sempit karena ramai perabotan, namun justru menambah kenyamanan seperti berada di rumah seorang nenek. Itu adalah ruangan khusus konseling dan bukannya ruang kerja pribadi Malena.

Membuat Ghani seketika paham kenapa Galeri Semesta dianggap tidak cocok dengan pribadi Malena, berada di kediaman wanita itu membuatnya merasa pergi ke masa lampau yang mengundang rasa nyaman terkesan aneh.

"kamu mau minum sesuatu?" tawar Malena, masih berdiri di ambang pintu.

Yang ditanya menoleh, dan tersenyum simpul tapi tak terkesan tulus. "kamu punya tamu. Saya ngga jadi berlama-lama"

Ia mengangguk pelan, masih dengan senyum usaha terpatri. Merasa Ghani memiliki arti di balik perkataannya, "maaf itu hanya formalitas, mereka pasti paham kok" Ia memutuskan untuk tidak mau menyinggung perasaan pria itu lagi.

Tetapi Ghani hanya menggeleng tanpa berkata apapun, dan kebiasaan bibirnya sedikit mengerucut terkesan murung. Yang mana langsung membuat Malena sadar Ia telah menyinggung Ghani agar tidak berlama-lama, tapi Ia tak bisa menarik lagi ucapannya bukan?

"kalo gitu silahkan duduk, apapun yang mau kamu bicarakan" Ia menutup pintu dengan sedikit kegugupan, lalu membuka laci nakas dan mengambil jepit rambut untuk dipakai.

Bagaimana dirinya tidak gugup? Sejak pertemuan terakhir mereka beberapa waktu lalu, Ia sama sekali tak lagi mengalami mimpi buruk atau berpikir soal pria itu saking sibuknya bekerja. Yang mana juga menandakan bahwa terapi menggunakan teori untuk mengkonfrontasi rasa tidak nyamannya berhasil. Namun kini pria itu malah datang lagi, bahkan entah bagaimana caranya bisa kediamannya diketahui.

Ghani menurut, Dia mengambil tempat duduk di sofa panjang dengan santai. Gayanya pun masih sama, celana dungarees denim dan kaos hitam berlengan, rambutnya kali itu dikuncir yang membuatnya jadi terlihat sedikit lebih rapi. Ia hanya tak menyangka bagaimana Ghani bisa menemukan rumahnya, dan untuk apa lagi Ghani mendatanginya. Bahkan urusannya dengan Hanan masih terjeda, sebab pria itu tengah berada Jerman sementara waktu, tapi tetap rutin menghubunginya untuk sekedar melaporkan kegiatan yang bernilai positif dilakukan.

Malena duduk di hadapannya dengan gaya sopan nan anggun, bergaya santai meski pakaiannya sangat terutup. Masih dengan raut dan tatapan tak terbaca, mengamati keterdiaman Malena yang pasti menahan terkejut mendapati kedatangannya tiba-tiba.

"saya ngga tahu gimana caranya kamu-"

"jadi kamu dokter. Psikiater" potong Ghani, dengan sedikit jeda di akhir.

Keheningan sesaat itu, jelas memiliki sesuatu dibaliknya. Senyum kaku Malena terpasang. "iya" akunya singkat.

Mendapati sorot tajam netra sipit yang lekat menatapnya, lalu dengusan masam Ghani terdengar. "ngga perlu takut atau penasaran gimana caranya, dokter" bernada santai, "Saya datang cuma mau memastikan. Kalau dokter ngga ada sangkut pautnya dengan pertemuan ngga disengaja kita"

Malena bukan gugup karena kediamannya dan pekerjaannya yang akhirnya diketahui oleh Ghani, Ia tahu pria itu pasti akan berusaha mencari latar belakangnya lebih jauh setelah pertemuan kedua mereka, dan Ia sudah mempersiapkan dirinya sejak jauh hari. Yang lebih ditakutkannya ialah, kedoknya terbongkar, rencananya bersama Hanan dan alasannya datang ke Galeri Semesta akan ketahuan.

Wajahnya tetap memberikan kesan ramah, tapi bersama keheranan untuk menutupi kebohongannya. "kenapa itu harus disengaja? Saya bahkan ngga tahu kamu siapa".

Benar. Itu adalah jawaban paling logis, tapi Ia masih bisa melihat Ghani tengah berusaha untuk membacanya, menebak raut dan senyumnya yang terpasang.

"saya bisa yakinkan itu ngga disengaja. Temen saya yang rambut pendek tadi yang merekomendasikan tempat itu. Dia pikir kalau saya jalan-jalan bisa membantu mengatasi kepenatan saya dari bekerja. Itu membantu, tapi seperti yang kamu tahu".

Ghani bereaksi dengan menaikkan dagunya sedikit, memberikan tatapan pongah itu lagi. "hm. Pantas saya juga merasa familiar dengan dia"

"kamu pernah lihat dia datang ke sana?".

Rasa ketidaknyamanan dan kekhawatiran itu jelas, tapi Ia mencoba mengontrol dirinya.

"tidak. Mungkin hanya mirip" geleng Ghani, mengacu pada pernyataan Malena pada waktu itu. Dan Malena menyadarinya, namun tetap tersenyum.

Kenapa Ia selalu tersenyum.

"tapi saya akhirnya paham kenapa kamu pilih menebak profesi saya seperti itu, it means you're on that zone. Right?".

Perlahan senyum Malena menipis, "ada yang salah dengan itu?".

Bahkan cara Ghani menatapnya pun berbeda, seperti pria itu berada di antara berhasil menemukan kerahasiaannya atau tengah berakting seakan berhasil menemukan kerahasiaannya.

Gelengan Ghani jadi jawaban utama bersama bibir mencebiknya, "tidak. Saya hanya merasa, pantas saja kamu punya aura yang sedikit ngga saya sukai". Duduknya menyender, rautnya murung, pandangannya tidak pada fokus, dan bibirnya sedikit mengerucut.

"seperti apa?" tanya Malena.

"seperti sekarang. Rasanya berbeda, ngga seperti kamu yang kemarin, yang berpura-pura".

Oh- Tentu saja Ghani akan tahu tentang itu dan meskipun Ghani mencoba untuk terus menekannya, Ia tak akan mudah untuk memberikan apa yang pria itu inginkan. Mendapati jelaga hitam di netra sipit nan tajam di sana berusaha mendominasinya. Tapi mengingat Ia berada di rumah sendiri, di kediaman pribadinya dan Ghani hanyalah tamu yang bisa dirinya usir kapanpun jika berlaku tidak sopan atau mengancam. Yang mana pria itu bertingkah seakan di manapun Dia berada, Dia masih memiliki kekuatan untuk mengontrol orang disekitarnya atau suasana yang ada.

Tidak akan Malena biarkan.

Keheningan yang membingungkan berakhir dengan dengusan senyum Ghani, "maaf dokter, saya sempat ngga sopan" kepalanya menunduk sejenak, tapi tatapannya mengarah ke dua kaki jenjang nan mulus dihadapan yang berbaris rapi berbalut juntaian rok sebetis.

Dan Malena menyadarinya, lantas memperbaiki duduknya untuk menyilangkan kaki dan berusaha menurunkan rok yang sudah panjang sejak awal. "apa kamu pernah punya masalah dengan seorang dokter?". 

Ghani mengedarkan pandangannya sejenak, berusaha menutupi kelakuannya. Membuat Malena semakin tidak nyaman, padahal tidak ada yang salah dengan gaya pakaiannya atau cara duduknya. Ghani memang rupawan Ia akui, wanita awam yang tidak

awas akan terpana dan terpesona olehnya. Terutama netra sipit yang tajam itu, dan lengkungan senyum manis bersama dua lubang cacat ketika Dia tersenyum. Gaya pakaian yang santai tapi menunjukkan kejantanan dan tubuh atletisnya. Tidak. Justru itu membuat Malena waspada, agar tidak mudah jatuh pada pesona yang menyesatkan.

"saya kesini bukan untuk konsultasi dokter". Geleng Ghani.

Intonasi suaranya juga jadi sedikit lebih dalam, menekan seakan tidak ingin ada yang mendengar. Padahal perbincangan mereka juga tak akan bisa terdengar sampai ke luar ruangan.

"ini bukan konsultasi, saya hanya penasaran".

"yah, tadinya saya mau percaya kamu untuk sesuatu, tapi ngga jadi" dua kakinya terbuka, punggung menyender ke sandaran sofa. Masih dengan raut wajah pongah, dan senyum miring melengkung.

Ghani kembali bertingkah seakan Dia begitu dominan, bersikap terkesan terlalu santai seakan mereka sedekat itu.

"karena saya dokter? Psikiater".

Tangannya yang berurat bertengger di paha, "mungkin" mengelus naik-turun kemudian membuat kepalan dan berhenti.

"tidak semua orang sama" gelengnya.

"tapi semua dokter sama".

Tidak ada dari tingkah Ghani yang nampak berhasil memancing sanubari Malena untuk tergerus, jelas pria dihadapannya itu berusaha menggodanya. Malena tetap tenang, meskipun tidak lagi tersenyum, sama sekali tatapannya tidak beralih dari si pemilik jelaga hitam yang kelam menatapnya lekat.

Tiiiiit! Tiiiiiit!!

Suara dua klakson yang saling bersahutan dari kejauhan membuat baik Malena dan Ghani terbebas dari keheningan, tapi ruangan tersebut berada di bagian belakang rumah jadi mereka tidak dapat melihat siapa pelakunya. Namun karena suaranya cukup

jelas, Malena berasumsi bahwa ada yang datang dan ada yang pergi.

"jadi apa niat kamu datang kemari hanya untuk menarik ulur rasa penasaran saya? Asal kamu tahu saya ngga punya untuk waktu bermain-main seperti itu" sengaja menyerang dengan profesionalitasnya.

Ia hanya punya waktu beberapa saat sampai Andira datang dan mengetuk pintu, Ia juga tahu bahwa Ghani memahaminya. Tangan yang terkepal di paha sedikit lebih kuat terkepal, Ghani yang malah semakin menahan diri karena melihat tidak ada reaksi balasan Malena, apalagi terkesan wanita itu memandangnya aneh atau kebingungan.

Rahangnya mengetat, timbulkan jejak denyut beberapa kali di potongan rahang yang

tegas. "sebenarnya dokter". Jeda sejenak, "I do have someone. And i want two of you to meet each other".