Chereads / Diantara Kebohongan / Chapter 8 - 8

Chapter 8 - 8

When you are dead, you don't know you are dead. It is pain only for others.

It's the same thing when you are stupid.

Dahulu ada seorang bocah, dia sangat ceroboh sampai banyak orang berpikir Dia bodoh. Dia kerap lupa menaruh benda-benda sepele di tempat yang tidak lazim, dan berujung akan mencelakai seseorang. Membuatnya selalu berada dalam masalah, mendapat hukuman verbal maupun hukuman fisik ringan, tetapi Dia tak pernah berubah atau belajar dari kesalahan, jadi orang-orang masih beranggapan bahwa Dia bodoh.

Dia terlalu banyak bicara, terlalu banyak bertanya, terlalu sering menyela. Suaranya dinilai sebagai instrumen paling mengganggu pendengaran, merusak suasana dengan anekdot konyol yang terkesan menyinggung, tua maupun muda, bahkan yang seumuran dengannya menganggapnya aneh, orang tua mereka akan menarik mereka menjauh darinya dengan berkata "nanti kamu kena celaka atau ketularan bodohnya". Itu membuatnya jadi tidak memiliki satupun teman, semua orang menghindarinya. Bahkan melihatnya saja mereka akan merotasi mata, lalu beranjak pergi ketika dia duduk.

Dia sering mendapat teguran, tapi berpikir itu tandanya mereka menyadari keberadaannya dan masih peduli untuk bicara dengannya. Membuat semua orang semakin berpikir dia cacat mental, dan mencemoohnya dengan perkataan yang lebih menyakitkan meski tidak secara langsung di hadapannya. Namun semakin lama,

perilaku dan sifatnya semakin menjengkelkan. Memaksa semakin banyak yang sejelas itu menunjukkan ketidak pedulian terhadapnya, mengatainya bodoh, tolol, dungu, pengganggu, perusak suasana, dan lain sebagainya yang lantas menyentil hatinya.

Bukan itu saja. Bukan hanya Dia menjadi sosok yang paling dihindari oleh orang lain, melainkan keluarganya sendiri pun demikian memperlakukannya. Mereka mengabaikannya, mendorongnya menjauh ketika Dia menginginkan sesuatu, meminta tolong, atau ingin tahu sesuatu. Dia tak memiliki siapapun, bocah dungu yang cacat mental adalah perusak dan pengganggu bagi orang 'normal'. Maka dari itu Dia memutuskan membuat dunianya sendiri, menciptakan teman menggunakan imajinasinya. Menekan perasaan sesak setiap kali cemoohan semakin melekit menyayat

hatinya, atau ketika sesuatu menjadi senjata mereka untuk melemparnya seperti ketika tengah mengganggu seekor binatang.

Itu terlalu berlebihan, Dia hanya seorang bocah yang ingin tahu mengenai banyak hal. Namun mereka malah memandangnya berbeda, dan melabelinya dengan kata 'cacat mental'. Apakah menjadi tidak biasa selalu dikaitkan dengan sebuah kecacatan? Ataukah itu termasuk ke dalam sebuah anugerah? Karena kebanyakan mereka yang terlahir tidak biasa, justru memiliki pemikiran yang luar biasa jauh lebih baik ketimbang orang-orang normal. Terlebih lagi, seperti apa definisi orang normal dan orang tidak normal itu?

Hela nafas kasar terdengar bersamaan dengan kertas dokumen yang dilepas sang empu. Kacamata dilepas dari batang hidup, agar Ia bisa memijat pangkal yang berdenyut.

Malena yang terpaku berjam-jam di dalam ruang kerja kediamannya, terpaksa membongkar beberapa lemari arsip untuk mencari dokumen-dokumen lama para pasiennya. Bertumpuk-tumpuk di meja, di kursi sofa, dan lantai, yang akan menjadi

pekerjaan bi Surti esok hari.

"Can I know who you are? Or what d'you do for a living?".

Ia memberi jawaban semata ingin bercanda, karena Ghani selalu mengklaim Dia yang memiliki Semesta. Namun sengaja tidak memasang senyum, dan malah menatap lekat. Rupanya itu justru bisa membuatnya menemukan sekelebat celah yang sangat sulit

dirinya cari dari Ghani, dari bagaimana pria itu sangat amat apik menyembunyikan sekecil denyutan di ujung mata ketika saraf impuls bereaksi untuk sesuatu yang biasanya menyentak sisi terdalam manusia. Sebab Ia menemukan mata Ghani terlalu

pasif, cara menatapnya menipu, arti dibalik tatapan sendiri juga bisa menipu.

Susah payah dirinya ingin mencari tahu bahwa asumsinya benar, bahwa dengan interaksi intens ketika Ia sengaja berjujur kata mengenai suatu hal karena memang ingin menyinggung. Malah hal yang tak disengaja, bercanda justru yang dapat memancingnya. Ghani langsung mengalihkan perhatian dengan menanyakan hal lain kepadanya.

"saya hanya ibu rumah tangga untuk rumah tanggaku sendiri".

Memberi jawaban yang hampir mirip seperti pengakuan Ghani selalu, tapi karena itu Ghani akhirnya menjauh dan membuat batasan. Ia tak mengerti, masih berpikir Ghani akan langsung menyerangnya karena ucapannya. Namun tidak ada yang terjadi, Ghani memutuskan mengusirnya secara halus. Ia tak masalah, Ghani bersedia mengantarnya ke area parkiran ketika Matahari sudah tenggelam dan menyisakan warna jingga keunguan di ufuk barat. Yang menyebabkan kawasan Semesta menjadi terang oleh lampu-lampu yang ada.

Bahkan selama diperjalanan, mereka hening, tidak ada yang membuka pembicaraan.

Ia hanya diberi lambaian singkat sebelum mereka berpisah. Sekarang Ia memiliki sangat banyak asumsi, tapi mana satu yang benar cocok untuk menggambarkan Ghani yang rumit.

Hanan berkata, Ghani terlalu manipulatif. Namun selama dirinya berbincang dengan pria itu, hanya kejujuran, sedikit godaan, dan sikap pongah yang dihadapinya. Ia yakin bahwa Ghani masih berpura-pura di hadapannya. Tapi kenapa?

Tok! Tok!

"mba malena".

Ia membuka pintu dengan raut heran, mendapati bi Surti masih di rumahnya. Padahal biasanya wanita itu akan pulang sebelum jam 7, setelah membuatkannya makan malam.

"loh? Bi surti belum pulang?".

Raut bi Surti sedikit cemas, tapi memasang senyum sungkan.

"ini saya baru mau pulang mba, tapi saya mau ngomong sebelum itu. Kalau saya mau minta ijin untuk pulang ke jogja sebentar, beberapa hari saja, karena anak bungsu saya mau wisuda minggu depan".

"wah iyakah? Boleh kok bi, boleh banget. Bibi pulangnya pake apa? Saya belikan tiket pesawat sekalian nanti saya titip hadiah buat si wisnu".

Bi Surti menggeleng, menahan lengan Malena yang hendak membuka laci nakas terdekat di mana biasa Ia menaruh cek-nya.

"aduh mba ngga usah, ngga perlu. Bukan saya ngga mau terima, tapi mba sudah bantu saya banyak sekali selama saya kerja di sini. Ngga perlu lagi lah mba kasih hadiah atau pesan tiket, titip salam pun udah cukup. Saya terima kasih banyak atas bantuan mba, anak-anak saya bisa sekolah tinggi semua".

Bi Surti memang hanya asisten rumah tangga, tapi karena Malena adalah wanita berpendidikan yang memanusiakan manusia. Derajat bukanlah hal superior di rumah, bahkan mereka terlalu dekat untuk dilabeli hanya sebatas pengurus rumah dan majikan. Bi Surti sendiri sudah bersamanya sejak beberapa tahun silam, dan sangat jarang meminta izin cuti libur kecuali untuk hal-hal yang memang penting atau genting, seperti kasus sekarang.

"berarti nanti saya sendirian dong disini, bi surti berapa lama perginya?".

"ngga lama kok mbak, saya 5 hari aja. Kebetulan juga anak kedua saya mau nikah besok nya habis wisuda wisnu, dan saya pergi besok sore, saya pastikan keadaan di rumah sebelum itu".

***

Sepasang kitten heels putih melangkah di jalan setapak berkerikil, yang di samping kiri dan kanannya terdapat pusara makam orang-orang. Malena mengenakan blouse lengan panjang berwarna pink pucat dan rok plisket putih sebetis. Ia menenteng buket bunga campuran Marigold, Narcissus, Lavender, dan Camelia yang cantik. Juga sebotol rose wine yang hanya dipegang tanpa kantung tas, lapisan kertas atau apapun. Ia berjalan dengan tenang, pandangan lurus ke depan dan raut datar, sebenarnya tatapannya kosong karena Ia tengah memikirkan sesuatu.

Ia memutuskan untuk mengubah jadwal agar bisa tetap di rumah, menangani beberapa pasien di tempat pribadinya, itu hal biasa. Namun Ia terpikirkan untuk mengunjungi makam mendiang sang ibu sejenak, memang biasanya ia melakukan itu jika suasana hatinya sedang gundah atau dirinya sedang banyak pikiran. Sekedar duduk untuk bercerita adalah self therapy yang cukup baik baginya, terutama kepada sang ibu, meski tak akan dijawab atau ditanggapi juga.

Setelah perbincangannya dengan bi Surti yang akan pergi sore nanti, sebenarnya bi Surti menawarkan seorang teman yang juga dari daerah yang sama untuk menggantikannya sejenak. Tetapi Ia menolak, tentu saja karena dirinya tak bisa begitu langsung percaya pada orang asing. Lagi Pula, Ia masih bisa mengatur rumah tangganya sendirian.

Memikirkan bahwa Ia adalah orang paling rasional, materialistis, dan realistis. Ia bisa menjadi sangat ambisius dan tegas untuk suatu hal yang menurutnya sangat penting, atau menjadi acuh jika itu tidak benar menurut pandangannya dan keinginannya.

Hidupnya sangat simpel, terlebih lagi Ia hanya harus mengurus dirinya dan pekerjaannya, serta banyaknya pasien miliknya yang membutuhkan sandaran-bantuan. Dengar, seorang psikiater juga hanya manusia biasa dan bukan superior selayaknya Tuhan atau Dewa. Mereka memiliki masalah mereka sendiri, mereka memiliki perasaan yang harus selalu disembunyikan dengan baik dan mereka tahu cara menanganinya, atau mereka tak akan bisa mendapat gelar manusia yang bisa menghindari segala masalah. Tidak.

Ia memang kehilangan sosok peran dan perhatian kedua orang tuanya ketika menginjak remaja, itu beralasan dan Ia tak memiliki hal untuk membenci mereka yang memutuskan berpisah.

Tidak lagi. Malena bisa memahaminya dengan sangat baik, dan itu merupakan keputusan tepat sang ibu yang memang sekarat pada masa itu. Ayahnya memang berselingkuh, tetapi bukan dengan wanita asing yang ditemui secara acak di tempat kerja dan jatuh cinta setelah menikahi ibunya. Tetapi ayahnya kembali pada cinta

pertamanya ketika masa remaja. Ia paham bahwa sebuah pernikahan karena perjodohan tidak akan pernah selalu berakhir baik, dan itu terjadi setelah ibunya akhirnya melahirkannya. Anak perempuan pertama yang lalu menjadi si tunggal di keluarga kecilnya, atau itulah yang Ia pikirkan saat itu. Sebelum mengetahui alasan kenapa ayahnya tak pernah mengabulkan permintaannya untuk memberinya adik, kenapa ayahnya selalu bepergian ke luar kota dan sangat jarang berada di rumah, dan kenapa ibunya selalu menangis kala berdoa setiap waktu.

Lalu begitu Ia sudah cukup mengerti, itulah alasan Ia membenci ayahnya. Ia juga

tak menginginkannya, tapi itu terkondisi, bahwa ayahnya memiliki keluarga lain di luar sana dan menyembunyikan hal tersebut dari ibunya selama bertahun-tahun sebelum dirinya lahir. Ia memiliki saudara tiri yang bahkan tak dirinya kenal atau pernah lihat, mungkin lebih tua, mungkin lebih dari satu orang, entahlah. Itu membuatnya terbebani pikiran, bukan karena perasaan marah atau benci. Selama masa pertumbuhan hingga menginjak usia remaja menuju dewasa, Ia menjadi penasaran, seperti apa mereka, dimana mereka tinggal sekarang, atau apakah mereka mengetahui bahwa mereka memiliki saudara perempuan dari ayah mereka yang terpaksa menikahi seorang wanita baik namun akhirnya meninggal karena sakit dan membawa serta semua cinta dan perasaan terpendam ke peristirahatan terakhirnya.

Pada akhirnya, Ia belum memiliki jawaban atas semua rasa penasarannya. Pun dirinya tak mencoba mencari, apa gunanya? Itulah alasan kuat yang membuatnya iba pada Hanan dan bersedia membantu, meski harus mengorbankan diri istilahnya. Hanan dan dirinya memiliki kesamaan dari kedua orang tua mereka yang berpisah karena orang lain. Dan itu adalah sosok Ayah.

Langkahnya berhenti di hadapan sebuah gundukan makam dengan rumput teki hijau, vas bunga tanam memiliki bunga Lily putih dan Chrysant segar serta lilin aroma yang menyala berada di hadapan batu nisan bertuliskan Magdalena Hanum. Jelas, Ia bukan satu-satunya orang yang mengunjungi makam ibunya, mungkin sanak keluarga lain sebelumnya baru saja datang. Entah bibi atau pamannya yang mana, yang jelas Ia langsung menyingkirkan bunga tersebut dan menggantinya dengan bunga yang dibawanya.

"maaf mama, aku berusaha rawat Narcissus sebisa ku" sembari menyiram cairan rose wine ke seluruh permukaan tanah dan juga lilin yang seketika mati, Ia mencabut lilin dan meletakkan botol kosong diletakkannya di sana.

Mereka tidak tahu, bahwa ibunya lebih menyukai jenis bunga yang ditanam sendiri di kebun belakang rumah mereka, atau rose wine yang sangat disukai ibunya ketika masih hidup. Mereka tidak mengetahui apapun soal ibunya, meskipun mereka keluarga kandung.

"mama kelihatan lebih cantik sekarang, rasa wine nya juga segar kan?" senyumnya masam, masih menyimpan rasa duka meski tidak sesedih sebelumnya.

Ia berdiri di hadapan makam sang ibu dengan dua tangan di belakang tubuh, menatap penuh afeksi kelembutan. "hari ini aku ngga banyak jadwal, tapi ngga bisa lama-lama karena bi surti pulang kampung beberapa hari".

Cuaca tidak begitu cerah, awan gelap membuat angin berhembus cukup kencang, menerbangkan anakan surainya yang tergerai separuh di punggung. Keheningan bertahan beberapa saat, Ia tak mengatakan apapun dan hanya tenang memandangi nama sang ibu yang terpahat di batu nisan. Biasanya Ia akan banyak bercerita, bukan berkeluh kesah seperti yang dilakukan banyak orang kepadanya. Ia hanya bercerita, seperti ketika sang ibu masih hidup dan suka mendengar cerita kegiatan kesehariannya setelah pulang sekolah sembari mengepang rambutnya dan memberinya cemilan kue enak serta jus jeruk segar dari kebun milik sendiri. Rumah ibunya selalu sederhana tetapi memiliki keindahan tersendiri, kaya akan tumbuhan berbagai jenis dan rupa, karena ibunya memang menyukai kesederhanaan dan ketenangan, bahkan hingga ke liang lahat.

Lambat laun, tatapannya berubah menjadi sendu, bibirnya terkulum hingga senyumnya hilang, maka dari itu kepalanya menunduk. Ia tak ingin menunjukkan kesedihan, jadi Ia memaksa senyum itu kembali ketika pandangannya naik ke batu nisan di hadapan.

"mama bilang ngga gak boleh dekat-dekat dengan api atau hal berbahaya lainnya, atau aku bisa terluka. Tapi mama sendiri nekat melukai diri mama. Menjadi munafik itu wajar mama. Manusia berperasaan dan terkadang labil"

Angin semakin kencang berhembua, bahkan hingga menerpa roknya menjadi tak beraturan, suara deru angin dan pepohonan menjilat rungunya. Raut datarnya, tatapan tak terbaca membuatnya tampak seperti melamun lagi. Padahal tidak, Ia tengah memikirkan ucapannya baru saja, yang tentu menyinggung ibunya. Ia menelan

ludah kasar, lalu menghembuskan nafas kasar seakan beban tak kasat mata semakin erat memeluk hatinya, membuat tenggorokannya begitu getir terasa. Kalimat menjadi tertahan, dan itu menjadikan situasi hening makin tak terkontrol, Ia belum pernah menyinggung ibunya seperti itu sebelumnya, Ia tak mampu menyakiti hati ibunya yang sudah tersiksa karena ayahnya.

"maaf mama. Aku ngga bermaksud" ucapnya menyesal, kepalanya tetap menunduk, karena malu.

Tangannya yang saling tergenggam bermain di belakang tubuh, seperti anak kecil yang gugup takut dimarahi. Padahal yang terbaring di bawah tanah tak akan mungkin bisa menghukumnya, tetap saja Ia merasa demikian.

"aku janji ngga akan seperti mama, aku sendiri mungkin munafik, tapi aku akan lebih baik daripada mama" pengakuan itu meluncur bebas setelah berpikir tulang-belulang tak akan bisa bangkit untuk memarahinya atau menamparnya.

Bagaimana bisa menjadi lebih baik dalam bermunafik? Oh, Ia terlatih karena dirinya merupakan seorang psikiater yang tidak menunjukkan masalah diri kecuali simpati dan empati terhadap pasien. Jawaban darinya adalah sebuah kemunafikan untuk membuat mereka merasa lebih baik dan lebih diterima, semua manusia itu perlu bermunafik disaat-saat tertentu.

"aku harus pergi".

Ia maju untuk menarik setangkai bunga Camellia dari vas lalu tanpa mengatakan apapun lagi, lantas berbalik dan berjalan menjauhi makam sang ibu yang tetap berada di tempat seperti seharusnya. Batu nisan itu menatap kepergiannya tanpa bisa melakukan apa-apa.

Langkahnya berbelok ke kompleks berbeda, hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari lokasi makam ibunya. Setangkai bunga Camellia masih dipegangnya, berayun mengikuti tangannya sepanjang jalan. Pikirannya melayang lagi, hal yang tidak seharusnya Ia lakukan di sebuah makam, tapi apa pedulinya? Ia bukanlah orang yang percaya takhayul atau semacamnya, lagipula pikirannya tidak kosong, melainkan penuh dengan banyak hal.

Sampai di hadapan sebuah gundukan tanah yang juga tertutupi tumbuhan rumput teki, dan taburan bunga yang hampir mengering. Di batu nisan terpahat nama ayahnya, Handono Tjung. Ia maju untuk meletakkan setangkai Camellia yang dibawanya, lalu

merogoh sesuatu dari tasnya. Sebuah botol kaca kecil transparan berukuran 100 ml yang bertuliskan merk alkohol, hal yang selalu ayahnya minum setiap saat dahulu. Seperti di makam ibunya, Ia menuangkan cairan tersebut ke seluruh permukaan tanah dan menaruh botol kosongnya di depan batu nisan. Namun tatapannya tidak sendu atau nampak berduka seperti ketika berhadapan makam sang ibu, rautnya malah datar dan seperti tidak menggambarkan emosi apapun.

"ayah bisa lihat kecantikan mama di sana kan, aku harap ayah ngga terkagum".

Makam ayahnya memang berada di belakang makam ibunya, dan bentuknya juga menyamping, jika tidak termasuk makam lainnya di sekitar, mereka akan seperti bertetangga dan ayahnya menghadap sisi ibunya. Mereka punya rumah yang kontras,

padahal Ia yakin sanak keluarga ayahnya juga sering berkunjung, tapi memang hanya memberi bunga tabur seperti pada umumnya peziarah.

"aku harap ayah juga ngga menyesalkan apapun".

Ia bisa merasakan kesejukkan yang berbeda dari ketika berkunjung ke makam sang ibu, mungkin karena makam ayahnya berada di area pinggiran yang memiliki pepohonan rindang. Dua tangannya tetap berada di belakang tubuh seperti kebiasaan, namun kepalanya terangkat dan pandangannya yang turun, seperti Ia tengah berpongah. Ia tidak lagi memiliki rasa benci seperti sebelumnya, melainkan berubah menjadi hanya rasa tidak bersimpati atau kesedihan seperti seharusnya.

"aku harap kalian tidak dipasangkan lagi, atau apapun harapan ayah untuk bisa ketemu mama lagi di kehidupan selanjutnya dan berusaha menjadi lebih baik. Sudah cukup".

"jangan buat aku hidup seperti aku disini".

Terpaan hembusan lebih lembut kali itu, hanya menerbangkan pucuk pepohonan yang rindang di depannya. Namun itu justru membuat sekujur tubuhnya meremang, dan pandangannya seketika mengedar ke sekitar makam yang lengang menyerempet sepi.

Situasinya dirasa tidak biasa, karena tidak banyak peziarah seperti biasa dirinya datang. Ia juga merasa aneh karena mendapati sensasi ketika dirinya ditatap terlalu intens, menusuk punggungnya. Ketika kembali menatap nama di batu nisan ayahnya, Ia menghela nafas karena merasa lebih sesak dari sebelumnya.

"aku sayang kalian, tapi aku harap ayah ngga terharu. Kalian buat hidup aku jadi seperti sekarang. Sendirian, ketakutan, cemas, dan ngga punya rasa kepercayaan untuk dibagi ke siapapun" tangannya mengepal kuat, menahan rasa jengkel yang mendadak datang tiba-tiba.

Malena tidak salah ketika merasakan tatapan intens itu, sosoknya di kejauhan pinggiran makam memang tengah jadi tontonan dari dibalik kacamata. Tatapannya tajam, memang sengaja untuk menusuk punggung sempit yang tengah berbicara sendirian di sana. Sementara Dia tak berani mendekat, meski keadaan di sekitar sepi. Dia tak pernah berani mendekati Malena yang terlihat lemah dan selalu sendirian, padahal itu sebuah kesempatan. Dan ketika Dia mendapati Malena beranjak pergi dari hadapan makam,

Dia kembali menyembunyikan dirinya dibalik pohon, seperti seorang penguntit pengecut. Memang tidak etis mengikuti Malena seperti itu, terlebih lagi ketika wanita itu berziarah ke makam kedua orang tuanya.