Saat aku masih begitu belia, aku terkagum pada seekor serangga bersayap yang memiliki corak berantakan nan indah yang simetris. Aku belum mengetahui namanya kala itu, aku hanya berpikir itu merupakan hewan yang sangat menakjubkan dengan warna paling cantik dan terbang lincah dari satu bunga ke bunga lainnya. Dia terbang semakin tinggi dan terkadang menghindar saat aku berusaha meraihnya, dan dia tidak salah saat melakukan itu. Aku terlalu bersemangat mengejarnya, berusaha harus bisa mendapatkannya agar bisa ku amati lebih jelas dengan kedua mataku sendiri. Tapi itu merupakan tindakan yang gegabah, aku masih terlalu belia dan bahkan langkahku belum teratur dengan baik.
Aku lantas terjatuh dengan cukup keras ke tanah berkerikil, tersandung batu dari pijakanku yang memang berantakan. Itu menimbulkan luka gores yang berdarah seketika, tidak banyak. Tetapi perih setelahnya terasa membuat mataku berkaca bersamaan hela nafas kasarku, dan selanjutnya bisa ditebak, aku menangis. Yah, tentu saja aku menangis. Ibu harus mengetahuinya, dia akan berlari menemuiku dengan begitu khawatir karena suara tangisanku. Ibu akan bertanya bagaimana aku bisa terjatuh dan terluka. Jadi aku bisa menunjuk hewan bersayap corak cantik yang masih diantara sana yang menjadi alasannya, tapi itu nampak tidak perduli pada kami. Dia sibuk menyentuh bunga lalu berpindah lagi ke bunga lainnya, seperti yang dia lakukan terhadapku bukanlah urusannya. Terlebih lagi, ibu memang tidak melakukan apapun terhadapnya, justru ibu bilang itu karena kesalahanku.
Semakin keras tangisku, semakin aku kesulitan mengontrol perasaan yang mengganjal di dalam dadaku. Ibu tidak menghukumku akan kecerobohanku, ibu tidak memarahiku bahkan, ibu tidak menertawakan kemalanganku. Tetapi ibu terlihat khawatir diantara tatapan ibanya. Ibu hanya memelukku dan berkata, "tidak apa-apa nak, rasa penasaran itu akan buat kamu belajar. Ibu tidak marah, tapi kupu-kupu itu tidak bersalah."
Ibu pikir aku takut dimarahi olehnya karena kecerobohanku? Tidak. Aku ingin ibu menghukum hewan bersayap corak cantik itu, bukan membiarkannya terbang bebas. Aku ingin ibu menangkapnya dan membuatnya terluka karena telah membuatku penasaran akan dirinya dan berakhir terluka. Aku marah.
Rasanya tidak adil, ibu malah membela kupu-kupu itu. Ibu kemudian membantuku berdiri, menggendongku tanpa menyentuh luka gores berdarah yang sangat perih terkena angin. Aku tidak menyukainya, tapi rasa di dadaku pun sama tidak mengenakkan. Aku hanya bisa menatap tajam pada kupu-kupu itu diantara buram karena air mata, dia hanya terus terbang kesana kemari dengan begitu indah terlihat, seakan mengejekku dalam ketidakperduliannya. Aku membenci kupu-kupu sejak saat itu.
Setelahnya, aku tetap mengadu pada ibu saat dia membersihkan luka di kakiku, dan sesenggukanku masih tetap. Walaupun ibu memberiku setangkai permen rasa anggur, itu tetap tidak membantu menghilangkan perasaan aneh di dalam dadaku. Ketidakrelaan, kekesalan.
Serangga cantik itu bersalah karena membuatku penasaran. Kenapa ibu tidak menghukumnya untukku? Kenapa ibu tidak memarahinya atau menyalahkannya? Kenapa ibu tidak berusaha menangkapnya seperti yang aku lakukan? Ibu memang tidak pernah membelaku jika aku terluka karena kecerobohanku, tetapi tidak juga menghukumku atas hal tersebut.
Karena kupu-kupu itu tidak bersalah.
Karena kupu-kupu itu tidak akan mengerti manusia.
Karena kupu-kupu itu hanya berusaha untuk bertahan hidup.
Dia menghindariku karena berpikir aku adalah ancaman.
Ibu banyak membicarakan tentang hal-hal yang belum mampu untuk kupahami pada saat itu, tapi aku hanya mengangguk disela sesenggukan kecilku tanpa air mata yang luruh lagi. Meskipun begitu, semua penjelasan ibu tentang serangga cantik tidak bersalah itu, aku mengabaikannya dengan menurut. Ibu tidak akan berhenti membela serangga cantik itu jika aku bersikeras dengan kemarahanku.
Dan seperti itulah, aku tidak pernah lupa pada pelajaran bahwa aku bersalah karena mencoba mengusik kehidupan lain. Aku tidak, aku hanya penasaran. Dan rasa penasaranku itu yang membuatku mendapatkan luka pertamaku, serta ingatan pertama bahwa ibu tidak akan selalu membelaku.
Kini setelah aku dewasa, aku melewati sangat banyak hal yang berlabel ketidakadilan. Ternyata memang seperti itulah kehidupan seharusnya, tidak adil selalu ikut andil di dalamnya. Dan kita tidak bisa menghindari itu. Perumpamaan serangga cantik itu hanya sebagian kecil dari ketidakadilan yang memang ada, aku telah mengalami yang lebih buruk dan membuat frustasi lebih parah sebelumnya. Pelajaran dari ibu memang benar, tetapi aku tetap masih menyimpan kebencian terhadap serangga cantik itu.
"pasien atas nama Malena Wardana"
Buku tertutup kala sang empu mengangkat wajah menghadap ke pintu ruangan di mana seorang perawat muda berdiri dengan papan klip ditenteng, Malena beranjak membawa serta tas jinjing setelah memasukkan buku ke dalamnya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang mengekorinya memasuki ruangan pemeriksaan kandungan, ia tersenyum membalas senyum sapaan sang perawat muda yang terlebih dahulu menyapa.
Ruangan serba putih dengan alat-alat pemeriksaan medis yang ia hafal mati namanya, tapi tidak begitu diperdulikannya. Ia hanya berbaring di ranjang sesuai perintah sang dokter, seorang wanita berusia hampir paruh baya yang masih terlihat cantik nan anggun bersahaja dengan senyum ramahnya.
Malena sendiri telah berusia kepala 3, tetapi Ia belum menikah, tidak pula memiliki pasangan. Lantas apa yang membuatnya datang untuk memeriksakan kandungan? Ia bukan wanita yang aktif dalam ranah seksual, bersentuhan dengan lawan jenis saja sebatas jabat tangan formal dalam dunia pekerjaan. Dirinya hanya rutin memeriksa masalah kandungannya, sebab hal tersebut adalah lumrah dilakukan bagi banyak wanita di luar sana, dan itu penting bagi dirinya untuk mengetahui kesehatan kandungannya sendiri. Bahwa ia adalah wanita normal yang sehat.
Terlahir sebagai perempuan itu memang sial. Beban yang ditanggung oleh perempuan sejak masih belia, sama besarnya dengan laki-laki hanya berbeda ranah. Terutama menyangkut harga diri dan martabat. Bahkan derajat saja sudah diukur sejak perempuan lahir ke dunia, terlalu banyak aturan dan larangan yang tidak boleh dilanggar untuk menjaga kodrat.
Sial.
Tetapi Malena tidak bisa menyalahkan takdirnya yang sudah ditetapkan oleh semesta, itu sama saja dengan menghina Tuhan, bahwa ia terlahir sebagai seorang perempuan di tanah yang selalu mengedepankan patriarki. Perempuan harus menurut dan patuh pada laki-laki, perempuan itu, perempuan derajatnya selalu di bawah laki-laki, dan perempuan tidak boleh lebih pintar bahkan lebih kritis ketimbang laki-laki.
Sungguh sial.
Selalu itulah yang dipikirkan benaknya, dalam kesehariannya menjalani hidup. Ia tak bisa berhenti memikirkannya, meskipun tidak menyesali terlahir sebagai seorang perempuan yang bisa dibilang berlabel cerdas dan kritis.
***
Setelah melakukan pemeriksaan rutin di klinik kandungan, Malena kemudian pulang bersama pikirannya yang masih tetap. Menyetir mobil seperti robot autopilot, saking terbiasanya tenggelam dalam benak, dan menyusuri jalan yang sama selalu ia lewati tiap harinya bukanlah hal sulit, alam bawah sadarnya tetap bekerja.
Seberapa sering dirinya menghadapi ketidak adilan dalam hidupnya selama ini, kurang lebih itulah yang mengusik pikirannya. Berapa banyak pelecehan verbal maupun fisik "tidak sengaja" yang didapatinya, berapa banyak tekanan batin pernah dilaluinya. Hanya karena ia memiliki pemikiran kritis, cukup cerdas dan berkompeten, terutama karena fisiknya yang bisa dikatakan menarik, sangat.
Itu membuatnya sadar, bahwa dirinya kurang lebih sama seperti seekor kupu-kupu selama ini. Rasa penasaran orang akan dirinya, tentu saja mengundang banyak keingin tahuan orang untuk mengenalnya lebih jauh, tentu saja dengan maksud dan tujuan yang beragam, terutama para pria. Sikapnya yang tenang dan cukup pendiam, terkesan tidak tertarik pada apapun, di luar dari ranah pekerjaannya, ia menganggap dirinya membosankan justru. Maka dari itu, ia tidak pernah banyak menanggapi rasa keingintahuan orang terhadap pribadinya, sebab dirasa itu membuang-buang waktunya yang ia dedikasikan hanya untuk mengemban pekerjaan pentingnya. Itulah mengapa banyak orang menganggapnya sebagai seorang yang acuh dan tidak berperasaan, membuatnya kurang lebih pasti tidak disukai akan sikap yang seperti itu. Lagipula, ia tidak ingin siapapun mengetahui kehidupan pribadinya, bahkan memberi batasan itu kepada setiap orang, kecuali kepada beberapa yang menurutnya pantas untuk mengetahui sedikit pribadinya.
Ia sendiri pribadi tidak memiliki kebencian pada apapun, bahkan kupu-kupu meski juga tidak menyukainya. Tatapannya teralih pada buku yang tergeletak di kursi penumpang sebelah, menatap nanar kilas sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Ia tak mengerti kenapa seseorang bisa tahan membenci hewan cantik tersebut, tetapi ia ikut merasa sedih jika itu benar. Bukan sekedar menyamai dirinya dengan hewan tersebut, namun nasib yang sama dengan si kupu-kupu, si cantik yang selalu disalah artikan keindahannya. Kupu-kupu yang cantik dan hanya mencoba untuk tetap hidup dengan melindungi dirinya sendiri, bisa dibenci oleh seseorang. Berpikir orang lain pasti merasakan hal yang sama terhadapnya, ketika sebuah penolakan terlontar dari mulutnya.
Begitu sampai di depan sebuah gedung bertingkat dua dengan plang nama Klinik Metama, pulang bukan berarti tujuannya adalah rumah. Malena memiliki pekerjaan yang membuatnya justru jarang berada di rumah, sebab sebagian besar waktunya adalah bertemu dengan orang-orang berbeda yang ingin sembuh dari perasaan maupuan pemikiran mengganjal mereka. Memasuki gedung yang dominan berwarna abu dan putih, dengan kaca bening selalu mengkilap setiap jengkalnya. Suasana selalu lenggang dan cukup tenang, jika tidak banyak kunjungan pasien.
Sementara seorang wanita muda dengan busana khas suster berwarna navy, berdiri di balik meja resepsionis untuk menerima tamu dan selalu terlihat ramah menebar senyum pada siapapun yang datang.
"selamat siang dokter" wanita itu menyapa ramah, dengan tag nama di dada kiri bertuliskan Andira.
"selamat siang" balasnya singkat, tersenyum simpul. Kemudian berbelok ke lorong kiri dan naik ke lantai dua, ia menuju sebuah ruangan di ujung koridor yang memiliki dinding kaca dengan pemandangan taman belakang gedung yang begitu hijau dan terawat. Plakat yang berada di atas pintu tersebut bertuliskan namanya, Dr. Malena Wardana, M.Psi, Sp.Kj.
Waktu masih menunjukkan pukul 1 siang, ia segera melepas tas dan blazer ke kursi terdekat. Baru saja mengambil duduk di kursi dan menghela nafas sejenak, pimtu ruangannya sudah diketuk dari luar menarik perhatiannya yang tengah menutup mata barusan.
"masuk"
Pintu terbuka seketika, menampakkan seorang wanita berambut pendek sebahu. Mengenakan blouse cream dan rok kembang selutut berwarna coklat tua, usianya pun terlihat lebih tua dari rautnya yang sudah memiliki keriput di beberapa bagian. Wanita itu tersenyum semringah, masuk sembari menenteng sebuah tas kertas berwarna coklat dan tak lupa menutup kembali pintu. Malena segera beranjak untuk mendekati kursi tamu di mana wanita tadi mengambil tempat duduk dan meletakkan tas bawaannya di meja, sang senior yang tidak begitu jauh umur dengannya sebenarnya.
"tadi mas Tio mampir sekalian ke ngajak makan siang, pas mau balik lewat cafe, makanya aku minta mampir buat beliin ini untuk kamu."
Wanita itu bernama Kanya dari tag nama yang terpasang, dia seorang dokter psikolog yang ruangannya di ujung sayap kanan klinik. Kanya memperhatikan yang lebih muda tengah mengikat surai panjangnya sebelum mengambil tas tadi, Malena belum ada buka suara saat mengeluarkan sekotak berlabel merk makanan yang isinya adalah cemilan berbahan dasar coklat. Kesukaannya.
"makasih banyak ya mba" seru Malena kecil, tak menunggu lama untuk langsung menyantap cemilan berbentuk kotak dengan taburan coklat kokoa menggunakan garpu khusus tersedia.
Aroma antara manis dan pahit yang khas langsung menggunggah indera Malena kala menyantapnya penuh khidmat, berhubung dirinya sendiri belum makan siang sebenarnya, tetapi mba Kanya tak perlu tahu itu. Mba kanya beranjak untuk mengambilkan sebotol air mineral dari kulkas mini di sisi lain ruangan sang empu, saking terbiasanya mereka habiskan waktu bersama kapanpun, di manapun, tidak ada kecanggungan dengan keleluasaan tindakan masing-masing. Mereka bukan lagi hanya sekedar partner kerja, melainkan sudah seperti kakak dan adik.
"gimana pemeriksaannya?" tanya mba Kanya, kala duduk di hadapan sang empu yang asik makan dengan anggun.
Dia sendiri tak ikut makan, sebab cemilan itu bukanlah kesukaannya. Dia memang biasa membeli untuk buah tangan karena mengingat Malena menyukai coklat, dan menyukai reaksi Malena yang semringah saat menikmatinya. Selain itu, dia juga tahu Malena terbiasa melewatkan makan siangnya karena begitu sibuk, itu sebabnya dia bertindak seakan memberikan buah tangan, hanya agar Malena bisa makan sesuatu untuk mengganjal perutnya selama bekerja sampai waktunya pulang. Malena terbiasa seperti itu, dan dia tak ingin wanita muda itu sakit akibat kurang memperhatikan diri sendiri karena terlalu banyak memikirkan pasiennya.
Diamnya mba Kanya yang hanya memperhatikan dirinya makan, tentu disadari olehnya yang tampilkan raut bingung. Melihat mba Kanya tersenyum memandanginya seperti seorang ibu, membuatnya hentikan sejenak santapannya untuk minum air. Mba Kanya tersadar seketika, lantas bersikap biasa saja. Lagipula ia belum menjawab pertanyaan yang lebih tua, tahu alasan kenapa mba Kanya mendatanginya dengan sebuah cemilan, tahu bahwa mba Kanya sengaja agar dirinya bisa makan meskipun hanya sedikit.
"alhamdulillah mba, semuanya baik seperti biasa" jawabnya singkat, seperti biasa.
Mba Kanya adalah salah satu orang yang Malena biarkan mengetahui mengenai kehidupan pribadinya, bukan tanpa alasan. Mba Kanya adalah orang yang bisa dirinya percayai untuk menyimpan sedikit masalah pribadinya yang lumrah untuk diketahui, selain itu karena mereka sudah kenal cukup lama bahkan sebelum direkrut oleh Klinik Metama, mba Kanya juga pernah menjadi seniornya di universitas tempatnya belajar kala mengambil spesialis kejiwaan beberapa tahun silam. Bahkan sebelum anak kedua mba Kanya lahir, ia sudah dianggap adik oleh wanita berusia hampir kepala 4 itu. Bisa dibilang, kedekatan mereka sudah terjalin sangat lama.
Meskipun menurut mba Kanya sendiri, dia belum mengenal Malena sejauh wanita itu mengenal kehidupan pribadinya serta keluarganya. Walaupun bersikap biasa dan seakan mengenal wanita muda itu, dia merasa belum benar-benar dipercaya untuk mengetahui sejauh yang ingin dirinya ketahui tentang Malena, terutama mengenai masa lalu sang empu karena tertutupnya pribadi si dokter cantik di hadapannya itu.
"mba mau minta tolong sama kamu boleh ngga?" tanya mba Kanya dengan ekspresi masam, buat Malena naikkan alis.
"emang mau minta tolong apa?" tanya Malena lanjut menyantap sebari cemilan yang ada, tanpa lepas menatap mba Kanya yang tersenyum semringah.
"besok ulang tahun pernikahan mba sama mas tio, dan dia ngajak makan malam tanpa anak-anak"
Malena langsung tersenyum, "ya ampun mba, kayak orang lain aja" tahu akan kemana arah perbincangan mereka. "aku mau kok jaga mereka, mau banget" lanjutnya, buat senyum mba Kanya makin merekah masam.
"ya aku takutnya kamu sibuk sapa tau" rungut mba Kanya.
"terus kalo aku sibuk, emang mereka mau mba titip di mana?" pertanyaan itu buat mba Kanya bersedekap dada.
"mbo surti lah" pongah mba Kanya, undang kekehan kecil Malena yang menggeleng pelan. Sebab mba Kanya membuatnya terlihat seperti bukan satu-satunya penolong yang ada, sedangkan mbo Surti yang disebut adalah asisten rumah tanggan di rumahnya sendiri.
"ujung-ujungnya di rumahku juga mba" ucapnya masih tersenyum, seraya menutup kotak yang masih berisi beberapa potong coklat. Mba Kanya semringah dengan hidung mengerut, menggelengkan kepala tanda mengejek balik.
"kapan aku jemput mereka?"
"ngga perlu jemput, nanti mba mampir deh antar mereka. Masa udah aku minta tolong jagain, kamu juga yang harus jemput" sungut mba Kanya.
Malena hanya mengangguk, paham juga tak ingin membuat mba Kanya merasa tak enak terlalu banyak meminta tolong dirinya, meskipun ia juga tak masalah sama sekali. Saking sudah dekat dengan keluarga kecil mba Kanya terutama kedua anaknya, Jihan dan Diana. Kedua bocah itu juga sudah menganggapnya bibi sendiri, sehingga tidak ada lagi kecanggungan.
Mba Kanya sendiri sudah menikah dengan seorang pengusaha arsitek bernama mas Tio selama hampir 9 tahun, jauh sebelum ia kenal dengan mba Kanya. Bisa dibilang ia menjadi sangat tahu banyak mengenai kehidupan rumah tangga mba Kanya sendiri, sebab wanita itu juga suka berbagi cerita dengannya sebagai teman, bukan berkonsultasi. Mba Kanya juga bukannya tidak memiliki sanak keluarga untuk menitipkan kedua putrinya, tetapi kebetulan saudarinya tinggal di luar kota yang jaraknya sangat jauh jika hanya ingin menitipkan sehari-dua hari. Sedangkan mas Tio adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya telah lama meninggal, beberapa tahun setelah anak pertama mereka lahir. Bisa dibilang, mba Kanya dan mas Tio memiliki masalah krisis sanak keluarga meski hidup mereka sangat-sangat berkecukupan, itulah sebab Malena tidak pernah sama sekali merasa keberatan jika dimintai tolong menjaga kedua putri mereka.
"maaf yah kalo mba ngerepotin kamu soal mereka" sungkan mba Kanya, undang kernyitan samar di alis Malena.
"ngga perlu begitu lah mba, aku ngga masalah sama sekali" ucap Malena melambai kilas.
Tidak pernah Malena merasa terbebani ataupun tersinggung selama berteman dengan mba Kanya, sebab mereka saling mengerti dan memahami satu sama lain. Meskipun terkadang mba Kanya berpikir tindakannya mungkin saja pernah membebani Malena yang selalu punya jadwak kesibukan, tetapi Malena sendiri justru berpikir mengasuh Jihan dan Diana adalah hiburan baginya dikala waktu suntuk.