Chereads / Diantara Kebohongan / Chapter 4 - 4

Chapter 4 - 4

Memasuki pelataran bangunan galeri, ternyata lantai satu adalah sebuah cafe dan restoran. Cukup banyak pengunjung yang menduduki area bersantai sembari menyantap hidangan tersedia berbincang satu dama lain, berfoto, dan ada juga yang hanya duduk membaca buku dengan tenang. Malena melihat tanda bertuliskan galeri yang menuju lantai dua, jadi ia tetap melanjutkan langkah menuju tangga hendak ke atas. Bersamaan dengan itu segerombolan perempuan muda-mudi turun sembari asik bebincang, mengenai foto yang akan di kirimkan ke satu sama lain. Jaman semakin maju, dan banyak dari mereka yang hanya perduli pada mencari sebuah validasi dari orang lain. Bukan urusannya juga.

Pikirnya situasi di lantai dua tidak akan begitu ramai pengunjung, dugaannya salah. Justru mereka yang kebanyakan kawula muda, terhambur memadati tempat tersebut. Sibuk memotret sana-sini, mengambil video kesana-kemari, tertawa sembari berbincang yang mana bukan tempat seharusnya. Namun ia memilih abai yang memperhatikan sekitar untuk mencari seseorang, sosok Ghani. Ia bukan berharap bisa langsung menemukan pria itu, hanya ingin melihat sseperti apa wujudnya karena Hanan bilang bahwa Galeri Semesta adalah milik Ghani, otomatis pria itu juga akan berada di sekitar tempat ini. Ia bahkan sengaja mengambil satu brosur sekedar untuk menjadi bahan pegangan, mengabaikan hiruk-pikuk dengan menyusuri satu persatu pajangan yang bernilai pastinya. 

Tetapi setelah bermenit-menit lewat, melihat semua karya seni yang terpajang, kebanyakan karya seni yang ada adalah bergaya kontemporer dan beberapa modern art. Terlihat dari jenis bangunannya saja sudah menunjukkan poin judul galeri ini di awal, sebagaimana ia akhirnya menyadari. Ia sampai sering menghela nafas begitu berpindah dari satu karya seni ke lainnya, sebab mereka tidak sama sekali membuatnya betah bertahan untuk berlama. Berpindah ke lantai 3 juga sama saja, pengunjung ramai dengan muda-mudi tengah bermadu kasih sembari berfoto, hingga ada influencer yang tengah syuting untuk sebuah konten? Dan jujur, semua itu membosankan an menjengahkan menurutnya. Apalagi ia tidak bsa fokus memahami setiap karya seni, dan sekaligus menemukan sosok yang dicarinya diantara hiruk-piruk.

Keputusannya untuk keluar dari tempat itu benar, karena begitu

ia menginjakkan kaki di pelataran, segerombolan lagi kawula

muda-mudi berjalan memasuki gedung. Ia tidak menyalahkan mereka karena tumbuh di era digitalisasi dan seni yang membingungkan, karena memang masih banyak orang

yang seperti itu melihat dunia. Mereka kebingungan dan hanya mengikuti arus. Mereka kebingungan dan akhirnya tersesat. Lukisan abstrak berbagai jenis cat, pajangan sekumpulang kanvas kecil yang memiliki gambar sengaja diatur agar menampilkan gambar sesungguhnya, patung-patung kayu terfurnis tidak membentuk sesuatu. Semua karya seni absurd yang entah kenapa memiliki peminat. Ia tidak menghakimi, itu menurut pribadinya yang memang sedikit konservatif terhadap beberapa hal, terutama karya seni. Itu bukan seni sesungguhnya bagi dirinya. Ia lebih menyukai estetika seni masa lampau, dari berbagai jenis dan negara. Sedangkan semua yang terpajang di sana untuk mereka yang hanya perduli pada validasi diri bahwa mereka adalah penikmat seni tanpa memahami maksud dari karya seni itu sendiri. Sekali lagi, karena mengikuti era perkembangan jaman. Mereka adalah orang-orang kebingungan yang sedang mencoba

memahami banyak hal. Mereka hanya mengikuti arus dan berusaha untuk tidak tersesat.

Women raised their voices because they aren't being listened to, and Man raised

their voices because they aren't being obeyed.

Waktu hampir menunjukkan pukul 3 sore, Malena masih terduduk di sebuah kursi kayu panjang area taman yang tak jauh dari lapangan basket yang telah lenggang. Berlarut membaca buku bacaannya dan menganotasi hal sebagai pembelajaran. Setelah lelah berjalan kaki cukup lama kesana-kemari, ia tidak menemukan siapapun yang mungkin merupakan sosok Ghani. Meskipun begitu, ia menemukan cukup banyak hal yang membuat pikirannya melang-lang buana sejenak dari buku bacaan. Sebuah pelajaran, yang mungkin belum disadari oleh manusia, dan mungkin mengandung pro dan kontra.

Ini merupakan sebuah perumpamaan yang terlintas di benaknya, setelah melihat berbagai karakter pengunjung yang berpapasan atau sempat berinteraksi singkat dengannya.

Apa persamaan antara Jam dan Manusia? Sebenarnya, mereka sama-sama mesin, hanya saja diciptakan oleh tangan yang berbeda. Tapi apa perbedaan Jam dan Manusia jika ditanya? Itu cukup jelas bagi mereka yang mengerti, punya pandangan berbeda

dari kebanyakan orang. Hal yang terjadi jika Jam rusak, kita akan tahu ketika jarum-nya telah berhenti bergerak. Kepada Manusia, itu cukup sulit. Dan terkadang tak ada yang menyadari, bahwa mereka telah rusak kecuali diri mereka sendiri. Mereka bisa sama sama hilang dan melakukan perjalanan kesana-kemari dengan berbagai tujuan dan tempat, sebelum pada akhirnya jika mereka memang ditakdirkan, mereka akan kembali

kepada para penciptanya. Meskipun mereka diciptakan dengan tangan yang berbeda. Jam, tangan manusia. Manusia, tangan Tuhan.

Selama itu, tidak banyak yang memiliki kesempatan untuk bisa melihat keindahan secara langsung. Mereka harus tahu bagaimana itu rusak sehingga mereka dapat menyadari dan menghargai kehidupan. Tetapi rusak, atau menjadi rusak, atau merusak dalam kasus manusia. Terkesan adalah sesuatu yang tidak baik dan tidak benar. Sebenarnya tidak selalu. Rusak itu hanya sebuah istilah, untuk hal yang belum menemukan tempat atau

tangan yang tepat. Meskipun tidak banyak yang tahu, bahwa rusak itu tidak selalu berakhir terbuang. Karena menurutnya kata yang sebenarnya lebih tepat menggambarkan rusak adalah kematian.

Kematian adalah hal yang paling tepat untuk menggambarkan sebuah kerusakan, pada jam maupun manusia. Sebab dengan mati, kehidupan baru akan terus tercipta, dan akan terus seperti itu.

Malena tersadar dari lamunan saat seorang mendekat dan mengambil tempat duduk di ujung kursi lainnya, seorang pria bersurai jelaga sedikit gondrong dan hanya mengenakan kutang hitam serta dungarees denim. Mereka menoleh bersamaan, lalu

saling melempar senyum simpul entah hanya untuk menunjukkan keramahan satu sama lain. Pria itu tengah sembari memakan sepotong sandwich di pegangan, dan ada gelas kopi sterofoam di sebelah duduknya. Malena tak ambil pusing dan tetap memandang

lurus pada kehijauan dan langit cerah di kejauhan.

"membosankan yah?"

Dengan itu Malena menoleh heran, tapi si pria masih tetap makan dengan santai. Bersitatap lagi mereka, dan si pria tidak mengatakan apapun lagi, melainkan hanya mengunyah. Hingga Malena menyadari bahwa ia belum memberikan jawaban, atas pertanyaan membuka obrolan? Jadi ia bereaksi dengan berdengus senyum.

"oh, tempat ini bagus. Tapi seni kontemporer ternyata ngga cocok untuk saya" bermaksud tidak menjelekkan, karena memang bukan seleranya.

Pria tersebut jelas akan menilai dari bagaimana rautnya yang lesu meski masih tersenyum. "kalo kamu bertahan lebih lama, kamu akan paham seni sesungguhnya ya semua pengunjung yang datang" kata si pria di sela mengunyah, tanpa etika makan yang benar.

Tapi nampak Dia tidak perduli dengan image-nya, "tempat itu hanya menarik perhatian mereka untuk kembali diperhatikan" kemudian menyesap sedikit kopinya.

Malena terhenyak kilas, ia punya firasat yang terbesit. Tak lepas memandangi si pria dengan penasaran, "itu juga seni?"

Si pria menoleh, pipi mengembung dan bibir mengerucut akibat kunyahan makanan.

"menurut ilmu psikologi" bahunya terangkat kilas, lalu ia menyuap potongan terakhir sandwich sebelum menepuk kedua tangan membersihkan sisa remahan.

"kamu psikolog?" sebenarnya ia tahu soal itu, justru ia menebak untuk memancing apakah dugaannya benar.

Dia menggeleng, "i just like reading books. But i own this place. Semesta is mine" aku Ghani.

Mendengar itu Malena makin terhenyak meski tidak menampilkan selain senyum, dengan sebuah arti dibaliknya. Pria di sebelahnya itu memang adalah Ghani, yang bahkan mengakui hal menggunakan nama Semesta kesannya agak supremasi. Tapi ia

paham bahwa Semesta memang milik Ghani. Tempat wisata bernama Semesta, bukan Semesta. Sesuai perkataan Hanan, jadi ia yakin ia tak salah orang. Ia juga sebenarnya tak memiliki reaksi seterkejut itu, karena energinya habis untuk berjalan-jalan sebelumnya. Tetapi ini sungguh kebetulan yang pas dan tidak disengaja mungkin, jadi ia memutuskan berakting. Lagipula, Ghani memiliki sedikit kemiripan dengan Hanan, yaitu mata sipit mereka dan jembatan hidung berlekuk tinggi, serta tubuh mereka sama atletisnya, hanya saja Ghani sedikit lebih tinggi beberapa senti dari Hanan.

Ia sendiri sedikit tak menyangka karena gaya pakaian Ghani terlalu santai dan tidak mencerminkan seorang pemilik suatu bisnis, bukan semata hanya Galeri Semesta melainkan banyak tempat rekreasi dengan nama yang menggunakan Semesta.

"oh wow.." serunya pelan, "great. Pleased to meet the one who own this place in uncoincidence situation" senyum semringah yang membuat sudut bibirnya sempat berkedut, karena memaksa ototnya melengkung. Tetapi Ghani tidak perlu tahu itu.

Ghani sesekali menyesap kopinya, Dia baru menoleh lagi ketika Malena memutus pandangan. "kamu familiar, kita pernah ketemu sebelumnya?"

Tidak sulit untuk menjaga sebuah kerahasiaan, yang sulit adalah menjaga kealamian berpura-pura. Terutama pada sosok yang memang sejak awal menjadi tujuan kedatangannya, berjam-jam mengitari wilayah dengan kitten heels melawan lantai batu yang menyakitkan kakinya seiring berjalan, pada akhirnya mereka bertemu secara tidak sengaja.

"saya rasa tidak" gelengnya, "orang punya kembaran di banyak

tempat" memberi kekehan ringan, tapi Ghani mengangguk dengan

raut menerka atau berpikir.

"feels like i've seen you before"

Malena tidak mengundang, tidak pula ingin menunjukkan ketertarikan apapun. Justru ia menunjukkan kekakuan, kecanggungan, dan sedikit ketidaknyamanan. Itu normal, bagi

wanita yang bertemu dan berbicara dengan pria asing di tempat yang asing. Ghani hanya tidak perlu tahu, dan jangan sampai menyadari aktingnya.

"saya ghani" tangan tersodor, tangan bekas memegang sandwich sebelumnya.

Demi formalitas, Malena menyodorkan tangannya balik dan mereka berjabat kilas. "Niana" lalu menarik sepihak. Dan dari jabat tangan singkat itu, ia bisa merasakan tangan Ghani bertekstur sedikit kasar tapi dingin.

Seperti Dia tengah gugup, dan Ghani mengangguk pelan tanpa senyum, tanpa melepas pandangan darinya yang sudah balik menatap lurus.

"so what kind of arts do you like? Niana" tanya Ghani, menarik perhatian Malena untuk menoleh.

Terdengar aneh ketika seseorang memanggil namanya demikian tanpa embel-embel seperti seharusnya kesopanan dilakukan, tapi ia paham kalau Ghani tumbuh di lingkungan yang menormalkan panggilan nama tanpa embel-embel khas masyarakat lokal. Jika orang lain tidak mengetahui bahwa Ghani pernah menghabiskan masa muda di luar negeri, mereka akan melabelinya seorang yang sombong dan tidak sopan. Sejauh ini pun semuanya nampak normal, kecuali sikap pongah ghani yang sebegitu terlihatnya. Entah disengaja atau memang begitu karakternya, ia masih terus menilai.

"kalo seni kontemporer bukan salah satunya"

Sejenak Malena nampak berpikir, lalu tersenyum dan menatap balik. Ia baru saja memikirkan kenapa Ia malah mengenalkan nama tengahnya, padahal Ghani juga tidak mungkin langsung akan mengetahui apa profesinya.

"old rennaisance, dark victorian, arts and crafts, traditional aesthetic"

Ghani mengangguk, jemari yang bertengger di lutut bergerak saling mengelus, "tempat ini memang gak cocok buat kamu" bibirnya mengerucut murung. Seperti tengah mengolok pendapat kesukaannya soal seni bernilai mahal tersebut, yang mana itu memang sebuah kenyataan dari hidupnya.

"but i know a place if you wish to come with me" dia beranjak, satu tangan masuk kantung dan yang satu memegang sampah miliknya.

Tapi dia menoleh dan menemukan Malena berdiri dengan kesan keengganan, sempat melirik jam tangan di pergelangan.

"i'm not a dangerous person, this is my place. There will still always be a lot of people until 7 pm in here, if that's what you worried about" terka Ghani.

Malena menggeleng, "bukan itu, maaf" terkekeh canggung, "bukan itu maksud saya" padahal belum ada dirinya buka suara soal menanggapi. Ia mendapati Ghani tengah terus berusaha membacanya, aktingnya bekerja dengan sangat baik. Ghani pasti berpikir dirinya tidak nyaman dengan ajakan tersebut, dan ia memang sengaja menampilkan kewaspadaan itu. Lagipula di awal pertemuan mereka yang belum sampai 30 menit, Ghani sudah berani mengajaknya?

"saya harus pergi karena punya janji temu dengan orang lain" terdengar menyayangkan, "jadi, maaf"

Pria itu mengangguk, termakan dengan kebohongannya, dan senyum kecut itu mencemoohnya. "hm. Padahal ini kesempatan emas, saya gak pernah buka akses ke tempat yang lebih berharga daripada tempat ini ke pengunjung biasa"

Mungkin tempat itu memang ada, dan ia akan melewatkan kesempatan. Mungkin juga tidak, dan itu hanya akal-akalan Ghani semata untuk mengajaknya. Tak ada bedanya, tetap saja ajakan dari pria asing itu mencurigakan dan menakutkan. Ia seorang wanita dewasa, Ghani seorang pria dewasa.

Stranger danger.

"you would like this place more than those observation place"

Mendengar itu, otaknya berpikir semakin kritis. Tentu sejelas itu Ghani memberikan arti dibalik kalimat tersebut, yang membuatnya kembali berasumsi. Ia memang terlihat semudah itu, pikir Ghani yang semakin nampak berpongah dari gayanya menatap dengan dagu sedikit naik. Tapi tidak.

"maybe next time?"

Oh itu hanya basa-basi, tapi sekelebat tersirat ada kekecewaan dari si pemilik netra jelaga di depannya itu, karena tidak berhasil mengajak wanita menarik seperti dirinya?

"tidak ada lain waktu. Ya sudah kalau begitu"

Ghani lantas berbalik dan pergi, tak lupa membuang sampah miliknya ke tempat smpah terdekat yang tersedia. Pria itu tak berbalik, tidak juga menoleh lagi. Dia hanya berjalan menyusuri jalan setapak, dengan dua tangan masuk kantung celana dan kepala yang sedikit terdongak. Tidak ada pemaksaan, tidak ada godaan lebih, seakan Ghani memang

membuatnya ingin merasa bersalah atau tidak enak karena telah membuang dan melewatkan kesempatan penting yang ditawarkan sang pemilik wilayah. Tidak seperti pemilik tempat pada umumnya yang ramah dan menyetujui penawaran kesempatan itu

dapat dilakukan di lain waktu, Ghani malah sebaliknya. Lagipula, bagaimana bisa Ghani memutuskan untuk mengajaknya dan berkata demikian seakan mereka sudah kenal lama.

Seperti tidak memahami situasi atau kepentingan yang mungkin memang tengah dihadapi seseorang, dan malah memberikan respon terkesan passive-aggressive. Itu aneh. Memasuki mobil, Malena langsung menyalakan mesinnya. Namun ia masih terduduk diam dengan tatapan datar nan tegasnya. Lebih terkesan tidak ada emosi, sebab terbesit akan sesuatu hal yang baru saja disadarinya. Tak lama kemudian, senyum simpul tersungging samar di bilah bibirnya. Sangat banyak kebohongan di antara mereka. Ia sadar, Ghani percaya kebohongannya yang menolak ajakan tiba-tiba dengan

alasan basi. Tak masalah, itu berhasil. Ia sendiri bisa melihat kepongahan pria itu sepanjang mereka berbincang, tatapannya semakin lama seakan merendahkan lawan bicara. 

Jika mungkin selain Ghani merasa bangga dengan statusnya sebagai pemilik bisnis, dia pasti memiliki masalah God Complex dan merasa terlalu hebat.

*saya bahkan gak pernah bicara dengan dia semenjak 7 tahun terakhir, karena dia membuat pernikahan saya dengan pacar saya gagal. Saya sampai harus pindah ke luar negeri dan bertahan di sana, berusaha sembuh dengan terapi karena trauma dari dia*

*saya ingin benci dia tapi saya gak mampu, karena dia gak pernah terlibat langsung masalah atas nama atau menggunakan tangannya sendiri. Bahkan mama saya gak punya pilihan selain untuk membuat kami hidup masing-masing, dan mama saya masih bersama dia. Saya mohon dokter tolong saya, saya harus bawa mama saya pergi jauh dari dia*

Begitu mobil Malena melaju pergi meninggalkan parkiran, langit semakin gelap seiring angin membawa awan kehitaman pertanda akan hujan sebentar lagi. Cuaca yang tadinya cerah, tiba-tiba saja berubah sedrastis itu. Angin kencang bertiup, membuat segenap tumbuhan bergerak tak beraturan, dedaunan kering terlempar kesana-kemari. Di ujung bukit paling tinggi, sebuah pendopo berbentuk bulat berdiri kokoh nan terkesan megah dominan tembok batu dan kaca jendela satu arah mengelilingi. Tempat itu tidak boleh di

datangi sembarang pengunjung, karena memang memiliki pagar yang selalu terkunci untuk akses, dan itu adalah wilayah pribadi. Di dalamnya memiliki perabotan selayaknya kamar pribadi, tetapi memiliki 1 teropong besar yang tengah digunakan untuk bisa memantau penjuru wilayah, dan sang pemilik tengah melakukannya. Ghani berdiri di salah satu teropong yang menyorot area jalanan dari parkiran, mengikuti kepergian sebuah mobil mini SUV hitam milik Malena yang baru saja melaju pergi meninggalkan wilayah wisata.

"bye bye liar" bermonolog setengah bisik, lantas senyum miring tersungging lebar.