Chereads / Diantara Kebohongan / Chapter 2 - 2

Chapter 2 - 2

Pernikahan, sebuah tindakan besar dan berani dalam berkomitmen. Manusia penuh harapan ketika mereka bersama dan memutuskan untuk saling mempercayai. Berpegang pada satu keteguhan bahwa mereka ditakdirkan bersama, sebagian pasangan. Sementara yang lainnya terkadang mengalami kekacauan. Pernikahan dinilai sangat sakral, namun tetap saja banyak yang tidak mampu mempertahankannya.

 

"tante malena hari ini ngga ketemu pasien lagi yah?"

Malena teralih dari buku bacaan sejenak, menatap bocah perempuan bersurai bob dengan wajah penuh lemak bayi, tengah duduk di sofa panjang bersama camilan pastry yang mengotori wajah dan tangannya. Sedang sang kakak yang masih kenakan seragam sekolah, duduk di karpet tengah mengerjakan tugas sekolah, hanya melirik kilas sang adik sembari mengunyah camilan yang sama.

"untungnya sih ngga yah, mungkin pasiennya juga lagi sibuk kerja" jawab seadanya.

Ia pulang lebih awal dari klinik setelah jadwal temu pasien terakhirnya dibatalkan sepihak oleh sang pasien sendiri, entah kenapa, ia tak ambil pusing. Justru membuatnya senang karena bisa menjemput dua bocah tersebut sebelum ibu mereka yang jemput, apalagi mba Kanya masih memiliki beberapa jadwal untuk diselesaikan.

 

"tante tau ngga? Kami akan punya adik lagi looh" ucapan Diana lantas menarik perhatian sang kakak, " kata papa, kalo kami tinggal sama tante lena sampe besok, mereka mau ambil adik". Dengan polosnya ucapan itu terlontar, Malena mendapati Jihan berkeluh nafas seraya menoleh dengan raut malas.

"bukan ambil, tapi bikin. Gitu aja ngga tau" sungut Jihan santai, kembali mengerjakan tugasnya. Tapi gadis kecil itu menyadari pandangan Malena tengah tertuju padanya dengan raut tak terbaca, memangku buku dalam diam.

"what? Aku udah besar" sanggah Jihan, sementara Malena masih diam.

Tidak, Malena bukannya terkejut bagaimana Jihan mengetahui hal tersebut. Ia tahu bahwa kepolosan keponakannya itu pasti tergerus karena kefrontalan mas Tio selama ini, yang memang menjadi salah satu keluhan mba Kanya. Tetapi ia menggestur raut demikian sebab Diana yang memasang raut bingung mengerut heran.

Jihan justru acuh, langsung menutup bukunya dan beranjak mengambil duduk di single sofa sambil memangku piring berisi setengah cemilannya, makan sembari menatap balik sang dewasa yang masih menatapnya dalam diam, sarat akan sesuatu. Sebelumnya, gadis itu adalah anak yang ceria, manis, dan begitu penurut. Sampai sekarang masih penurut, hanya saja sikapnya berubah cukup banyak semenjak pindah ke sekolah swasta privat. Jihan terkesan menjadi tomboy juga, dan gaya bahasanya sudah seperti orang dewasa yang kurang bisa di filter. Itu menjadi sebuah alasan kekhawatiran bagi mba Kanya, yang berpikir pribadi putrinya berubah karena ucapan mas Tio soal menginginkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan lagi.

Malena tentu saja tahu cukup dalam mengenai masalah keluarga mba Kanya yang kerap curhat padanya, bagaimanapun profesi mba Kanya, dia juga tetaplah seorang ibu yang harus membagi waktu agar dapat mengurus keluarga kecilnya. Sayangnya, mba Kanya merasa waktu untuk mengurus kedua putrinya dirasa kurang dan itu berdampak pada tumbuh kembang si sulung, sementara yang bungsu sepertinya masih pada kepolosan seperti seharusnya. Menyedihkan.

Gadis itu memang cerdas seperti ayah dan ibunya, namun justru jika tidak dikontrol oleh orang dewasa, hal tersebut akan membuat Jihan tahu lebih banyak hal yang belum seharusnya di ketahui oleh anak-anak seusianya.

 

Akhirnya ia menyungging senyum kepada Jihan seraya mengelus kepala Diana yang duduk tepat di sampingnya, masih asik makan. "sampai mana pemahaman kamu soal itu? Ayo berdiskusi, gimana bayi itu bisa tercipta"

Jihan membuang pandangan dengan nafas terhela, sementara Diana semringah mendongak padanya. "pake cetakan yah tante? Kaya kueee!!!" seru Diana mengangkat separuh pastry miliknya, Malena malah terkekeh geli.

"bukan bego!" ketus Jihan, yang mana langsung membuat Diana murung dan bergumam.

"eitss.. no harsh words, remember?" ucap Malena pelan, namun tegas.

 

Si sulung menghela nafas kasar dengan mata merotasi kilas, lalu kembali menatap Diana yang masih murung di seberang. "i'm sorry di" kata Jihan pelan, terkesan tidak niat. Tetapi mampu membuat raut murung Diana berubah seketika semringah kembali, menganggap kakaknya tidak bermaksud demikian sebelumnya.

Malena tersenyum masam, "kamu bisa pindah duduk di sebelah sini" sambil menepuk sisi kosong di sebelah kanannya, sebab sisi kiri telah terisi oleh Diana sejak awal. Jihan butuh setidaknya beberapa detik berpikir sebelum akhirnya mengalah untuk pindah, sebab dia tak bisa menolak perintah sang bibi yang selalu begitu baik nan hangat padanya.

 

***

 

Hampir satu jam Malena berusaha menjelaskan diskusi yang dibuat menarik untuk kedua bocah yang akhirnya kini tengah akur bermain bersama di ruang santai, sementara ia di dapur membuat teh untuk diri sendiri sembari memperhatikan mereka. Mengamati keduanya yang sebenarnya bisa akur-akur saja kalau mood sedang baik, terutama Jihan. Tidak sulit untuk mengubah pandangan kedua gadis tersebut, menyetirnya kembali pada kepolosan belia. Ia tentu memakai bahasa yang mudah dipahami mereka, meski dilontarkan sangat banyak pertanyaan yang sempat membuatnya harus mengolah kata lebih halus lagi. Kurang lebih, ia mengajarkan dasar dari bagaimana manusia bisa tercipta, hidup dalam kandungan seorang ibu, dan akhirnya lahir ke dunia, lalu bertumbuh kembang seperti mereka.

Ia harus sangat-sangat ekstra untuk membuat pemikiran Jihan tetap pada tempatnya, menyanggah semua pengetahuan dewasa yang gadis itu tahu dengan penjelasan ilmu pengetahuan ilmiah. Usia 10 tahun bisa dibilang terlalu muda bagi Jihan untuk mengetahui apa yang diketahuinya, maka dari itu ia berusaha menghentikannya. Entah dari mana Jihan bahkan mengetahui tentang seksualitas yang hampir membuat Diana terhasut, dan itu memang sangat mengkhawatirkan jika tidak ada orang dewasa seperti dirinya yang berusaha menjelaskan banyak hal. Termasuk aturan dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan, apalagi di usia belia seperti mereka.

Adukan digelas memelan kala mengamati bagaimana Jihan semringah bermain dengan sang adik, tanpa henti memikirkan seperti apa lingkungan Jihan yang membuat gadis itu berubah signifikan dari sebelumnya. Entah karena melihat kedua orang tuanya, atau lingkungan sekolah barunya, atau bahkan orang lain. Namun itu memang mengkhawatirkan, pantas saja mba Kanya sering berkeluh padanya.

Sebagai seorang bibi yang berprofesi seperti ibu mereka, ia selalu menarik mereka ke dalam topik diskusi jika tengah bermain di rumahnya. Jadi mereka tidak begitu sering menonton TV, atau bermain gadget terlalu sering seperti yang dilakukan anak-anak sebaya mereka masa itu.

Rautnya berubah tersenyum kala Jihan menoleh padanya di sela bermain dengan sang adik, seperti gadis itu tahu bahwa dirinya tengah diperhatikan. Tetapi Jihan membalas senyum kilas sebelum kembali bermain. Dia terllihat polos seperti seharusnya, namun Malena belum yakin, apakah pengajaran yang diberikannya akan berdampak panjang pada gadis itu atau hanya dianggap angin lalu seketika pulang dari kediamannya. Sebab ia merasa Jihan tidak lagi seperti sebelumnya, gadis itu sudah berbeda, dan nampak pandai untuk mengalihkan hal-hal.

***

 

Waktu menunjukkan pukul 5 saat bi Surti, asisten rumah tangganya, menginterupsi ketengan di ruang santai itu. Dimana Malena tengah duduk bersantai membaca buku di single sofa, sedangkan kedua gadis yang tertidur pulas di sofa panjang sambil berpelukan akibat kelelahan bermain. Lantai ruangan berantakan dengan beberapa boneka bergeletakan, menjadi pekerjaan bi Surti sendiri nantinya.

 

"permisi neng" ucap bi Surti setengah berbisik, ambil atensi Malena yang menjawab dengan rautnya.

 

Karena tak ingin membuat keributan yang mengganggu meski hanya berbicara, wanita setengah baya itu mendekat pada sang nona untuk membisikkan sesuatu. Mengundang raut Malena yang balik menatap bi Surti dengan keheranan, buatnya mengangguk kecil lalu segera beranjak membawa bukunya. Meninggalkan ruangan dimana bi Surti beralih menatap kekacauan yang ada, setelah membawa berita pada sang nona, bahwa ada tamu yang datang mencari.

Satu gelas kecil berisi cairan kecoklatan nampak sedikit berasap terduduk di meja berbahan dasar kaca, cahaya remang menyinari ruangan yang juga dominan kaca dindingnya, memberi pemandangan ke halaman belakang yang asri penuh kehijauan tanaman subur. Langit mendung di luar sana, angin berhembus cukup kencang membuat semua tanaman nampak bergoyang tak beraturan.

 

"sebelumnya, saya minta maaf sudah membatalkan janji tadi siang tapi malah datang kemari" ucap pria yang duduk berhadapan Malena, terdengar begitu sungkan.

Pria itu berperawakan tinggi dan cukup atletis, masih kenakan pakaian semi-formal yang dirombak seperti habis pulang bekerja. Dia masih terlihat cukup muda, usia pertengahan 30an. Meskipun gayanya nampak rapih, tidak dengan raut wajahnya yang sedikit kuyu, kantung mata cukup tebal, brewok di sekitar wajah, serta gaya duduknya yang dipaksa tegap karena berhadapan dengan sang dokter yang duduknya demikian sejak awal. Ini merupakan pertemuan pertama mereka, dan memang bukan pasien langganan Malena. Karena namanya baru terdaftar sehari yang lalu di jadwalnya, dan ia menebak pria di hadapannya itu memang butuh bantuannya.

 

"oh, selama saya ada waktu ngga masalah kok. Tapi akan lebih bagus kalo kita ketemu di klinik, agar tidak ada gangguan selama masa konseling" jelasnya ramah, pasang senyum ramah terbaiknya.

Sang tamu hanya diam tak merespon, dia malah nampak memikirkan sesuatu dan terlihat semakin sungkan. Buat Malena jadi tak enak hati, bukan bermaksud untuk menolak tamu konseling mendatangi kediamannya.

"disini ada anak-anak soalnya, takut waktu konselingnya jadi kurang efektif" jelas malena terkekeh kecil, undang anggukan pria di hadapannya itu.

"jadi pak Ghani? Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya, untuk mulai mencairkan suasana.

 

Pria itu berdehem pelan dengan sedikit menyamankan duduknya, "sebenarnya dokter, nama saya Hanan Prasdiwo. Dan bukan saya yang butuh bantuan, tapi saudara saya" undang keheranan Malena yang naikkan dua alis.

Ada jeda beberapa saat setelah itu, sebelum Hanan segera buka suara kembali. "oh, sebelum dokter dokter berasumsi, maaf"

 

"memang saya yang mandaftar untuk janji temu itu, tapi saya mendaftar dengan nama kakak saya. Karena dia ngga akan mau melakukan ini" jelas Hanan dengan sedikit menggebu, yang makin buat Malena berspekulasi dalam diam tapi tetap mengangguk kecil.

 

"okay, kalau begitu saya mau dengar dulu cerita dari anda soal dia yang membuat anda sampai harus melakukan ini" tenang Malena, menghadapi calon pasiennya yang satu ini.

 

Tentu saja kasus orang yang mendaftarkan keluarga mereka ke psikolog atau psikiater sudah kerap sering terjadi disebabkan oleh kepedulian mereka atau kekhawatiran dan kecemasan, namun itu dilakukan jika telah disetujui oleh anggota keluarga yang ingin mereka bantu, yang kemungkinan memiliki ketidak nyamanan untuk datang sendiri.

Dan Hanan nampak tidak berada di opsi manapun, sebab dia terlihat seperti dirinya sendiri yang butuh bantuan. Tapi ia tak bisa langsung berasumsi terlalu liar, sebab ia masih butuh penjelasan dan alasan sang empu.

 

Hanan nampak menjilat bibirnya kilas, tanda jika seseorang mulai gugup. "sebenarnya..." jeda itu kembali mengusik ketenangan, dan Malena dapat melihat lambat laun gestur Hanan berubah tidak lagi berusaha untuk tenang.

Dia berkali-kali menghela nafas pelan, menelan ludah kasar. Juga kilap di wajah akibat keringat mulai nampak, padahal suhu di dalam ruangan Malena pastikan tidak begitu dingin atau terlalu hangat.

 

"maaf dokter, saya ngga bisa. Karena kedatangan saya kesini, adalah meminta dokter untuk menemuinya sendiri secara langsung." Hanan begitu penuh dengan keraguan, buat Malena kesulitan membaca apa sebenarnya tujuan Hanan datang selain meminta bantuannya.

 

"jadi dokter akan bisa melihat sendiri apa yang salah dengan dia" ucap Hanan dengan suara begitu pelan, seperti hampir berbisik, seperti itu begitu berat untuk terucap dari mulutnya.

 

Malena tersenyum simpul, menggestur kepada Hanan untuk nikmati sejenak teh suguhan di meja yang hampir dingin ditinggal terlalu lama. Dimaksudkan juga agar Hanan dapat merilekskan dirinya dari kegugupan, dan pria itu dengan kesungkanan menurut.

Hanan menyesap sedikit demi sedikit teh untuk melegakan tenggorokannya yang serasa tercekik barusan, dia yakin sang dokter sangat menyadari sikapnya yang begitu hati-hati namun gelisah.

Benar dia memiliki masalah serius, namun benar bukan dia masalahnya. Dan ketenangan Malena di hadapannya yang tengah menulis di sebuah jurnal terpangku, entah apa itu cukup membuatnya sedikit kebingungan tapi juga penasaran. Apa itu mengenai dirinya?

 

"maaf dokter" kata Hanan, meletakkan kembali gelas di meja. Mengambil atensi Malena yang henti menulis sejenak, "itu memang ngga sopan, meminta dokter melakukan hal itu. Tapi..."

 

Dia tidak menyangka akan bertemu seorang dokter psikiater yang begitu muda, terlebih lagi sangat cantik. Sebab dia tidak ada waktu untuk memikirkan bagaimana rupa sang dokter yang kartu namanya di dapat dari seorang teman, dia hanya berpikir apakah dokter baru ini mampu mengatasi masalahnya? Mendapati sosok dokter Malena yang tidak diekspektasi akan semenarik ini, dia menjadi semakin khawatir dan cemas. Dia gugup bukan karena masalahnya, tetapi memikirkan apakah dokter di hadapannya itu mampu membantunya? Bukan melihat dari bagaimana kemampuannya, melainkan apa yang akan terjadi kedepannya jika Malena benar-benar menerima kasusnya dan bukannya melemparnya ke tangan dokter lain. Dia tidak masalah, tetapi itu sama saja mengabaikan pertolongan dari teman yang telah rela membantunya menjangkau sang dokter.

Lagipula, dia tak bisa terus mencari dokter baru untuk membantunya. Selain sibuk dengan pekerjaan, dia tak ingin terlalu lama menanggung beban yang memberatkan hari-harinya.

 

"saya benar-benar ngga bisa cerita banyak" sambungnya, masih dengan nada penuh keraguan.

 

Melihat dari sang dokter yang begitu tenang menghadapinya, juga ramah menerimanya meski bukan di klinik langsung. Hanan tidak menaruh besar harapan jika nantinya sang dokter tak mampu menolongnya, dia tidak tanamkan ekspektasi apapun agar tidak kembali merasa kecewa.

 

Malena sendiri paham dengan keraguan Hanan, ia hanya mengangguk pelan dengan senyum simpul. Kemudian kembali menulis beberapa hal untuk konseling mereka selanjutnya, tentu saja ia akan tetap melakukan itu, menggali cerita dari Hanan sendiri. Tidak langsung melontarkan banyak pertanyaan yang menambah kegugupan Hanan, ia ingin pria itu merasakan ketenangan dengan situasi di antara mereka, sembari ia menguji pria itu sebenarnya.

"apa anda udah pernah melakukan ini sebelumnya? Mengadu pada psikolog atau psikiater tentang saudara anda itu?" pertanyaan yang jelas buat Hanan terhenyak, "kalau iya, bagaimana hasilnya?" lanjut Malena tanpa basa-basi.

Beradu tatap mereka dalam hening yang panjang, kacaunya gerakan tanaman di luar sana akibat hembusan kencang angin tidak berdampak pada ketenangan yang ada di ruangan. Detik jam terasa lambat, dan begitu jelas terdengar oleh rungu Hanan beradu dengan detak jantungnya yang kian kencang. Terpaku pada netra coklat di seberang sana, sarat akan hal sama yang selalu dimiliki oleh sebanyaknya dokter yang pernah ditemuinya sebelumnya. Namun berbeda dengan mereka yang kebanyakan penasaran dan penuh akan kecurigaan terhadapnya, pandangan Malena justru terkesan tertarik akan jawaban dari pertanyaan barusan, tidak sedikitpun ada sarat akan curiga terhadapnya.

 

"3 dokter psikolog dan 2 psikiater termasuk dokter sendiri. Iya" jawabnya kaku, tidak terbata sedikitpun.

 

"tapi kenapa tidak untuk diri sendiri?" tanya Malena lagi, beralih memangku satu kaki agar lebih santai.

 

"karena...." gumam Hanan sedikit terhenyak, "karena dia alasannya.." entah kenapa dia merasa tatapan Malena lebih menusuk, dalam konteks begitu fokus mengamatinya.

 

Malena sendiri tak ingin membuang banyak waktu hanya untuk pertanyaan yang seharusnya mudah dijawab oleh sang empu, tapi Hanan sendiri yang mengambil banyak waktu dan terkesan terlalu berhati-hati untuk sekedar menjawab.

"pak Hanan" menjeda sejenak, "mengkhawatirkan orang lain itu memang penting, apalagi jika itu menyangkut keluarga dekat. Tapi ada baiknya anda juga mementingkan diri sendiri terlebih dahulu" memberi pengertian, meski ia yakin Hanan tahu itu.

 

Hanan bergerak sedikit memajukan duduknya, dengan gestur menahan gebu. "bukan seperti itu dokter, saya tahu maksud dokter. Tapi.."

"lebih mengkhawatirkan jika orang lain tersebut yang justru malah membuat anda merasa terusik?" sambung Malena memotong kembali jeda Hanan yang masih ragu.

 

Jawabannya benar dalam hati Hanan, hanya saja bibirnya kelu untuk sekedar berucap singkat. Mereka kembali bersitatap sejenak, sebelum Malena duluan yang memutus untuk kembali menuliskan sesuatu di jurnalnya. Raut wanita itu nampak berubah tak terbaca, Hanan semakin gusar, tidak ingin pertemuan ini menjadi sesi konseling bagi diriya. Dia tidak memerlukan itu, dia hanya butuh sang dokter untuk mendengar alasannya datang.

 

"he did it to many people, include my big family" suara Hanan dipaksa keluar, terdengar getir.

 

Malena mau tak mau mengangkat pandangannya kembali, dan temukan raut muram Hanan yang nampak putus asa.

 

"masalahnya adalah dia" dengan suara sedikit bergetar, seperti lehernya kembali tercekik seperti sebelumnya mata yang penuh keputus asaan, seperti menyimpan mimpi buruk yang dialami Hanan apapun itu, selalu menghantuinya dan tidak bisa lepas dari benaknya. Jelas, Hanan sendiri memiliki trauma pada dirinya.