"Aneh, benar-benar aneh!" bisik Alan dalam hatinya sambil menggelengkan kepala. Dia merasa kebingungan dan tidak yakin apa yang harus dilakukannya. "Buku itu terasa asing bagiku. Aku sudah menjadi penjaga perpustakaan ini selama setahun, dan aku yakin bahwa buku itu tidak pernah ada di rak mana pun."
Alan memejamkan matanya sejenak, mencoba mencari jawaban dalam benaknya yang penuh kebingungan. Dia merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya, menimbulkan rasa cemas dan ketidakpastian.
Setelah beberapa saat, dia memutuskan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada melaporkan kejadian ini kepada Pendeta Cahaya di katedral. Dia yakin Pendeta Cahaya akan memberinya arahan yang bijaksana tentang apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
'Di dunia dengan sihir, apapun yang tiba-tiba muncul lalu hilang tidak bisa diabaikan!' Alan berseru dalam hatinya. Setelah mengatakan itu, Alan tiba-tiba teringat salah satu kejadian penjaga perpustakaan sebelum dia. Waktu itu penjaga perpustakaan sedang berjaga seperti biasanya, namun saat dia akan segera pulang, dia tiba-tiba melihat pena bulu tambahan di mejanya. Tetapi, dia mengabaikan hal tersebut karena menurutnya dia hanya berhalusinasi karena kelelahan dalam bekerja. Hal ini dia ceritakan pada istrinya sambil lalu sebagai candaan. Kemudian besoknya, dia ditemukan meninggal dalam keadaan mata membelalak seolah-olah telah melihat sesuatu yang sangat menakutkan dan di dekat mayatnya terdapat sebuah pena bulu biasa.
Dengan langkah yang mantap namun hati yang berdebar-debar, Alan berjalan melalui lorong-lorong yang sepi menuju katedral di zona dua. Sinar matahari yang redup masuk melalui jendela-jendela tinggi, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai batu yang bersih.
Ketika dia memasuki katedral, Alan disambut oleh suara-suara lembut doa yang bergema di ruang yang megah ini. Wangi harum lilin dan dupa mengisi udara, memberikan atmosfer sakral yang mendalam.
Alan menemukan Pendeta Cahaya tengah duduk di altar utama, wajahnya dipenuhi ketenangan dan kebijaksanaan. Dia merasa lega melihat kehadiran Pendeta Cahaya, seperti menemukan oase di tengah padang gurun.
Pendeta Cahaya mengangkat kepalanya saat Alan mendekat, senyuman lembut terukir di wajahnya. "Alan, apa yang membawa kamu ke sini pada hari ini?" tanyanya dengan suara lembut yang mengalir seperti sungai yang tenang.
Alan menjelaskan dengan hati-hati kejadian aneh yang baru saja dialaminya di perpustakaan. Dia mencoba menjelaskan semua detailnya dengan sejelas mungkin, mencari petunjuk atau nasihat dari Pendeta Cahaya.
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Pendeta Cahaya mengangguk dengan penuh pengertian. "Terima kasih telah memberitahukannya, Alan. Kembalilah ke rumahmu, aku akan melaporkan ini kepada Pastor Agung Jeremy, jangan membuka perpustakaan sebelum ada pemberitahuan resmi."
Pastor Agung Jeremy adalah pemimpin katedral di zona dua yang juga disebut Katedral Angin Suci. Pastor Jeremy merupakan seorang Pelanggar tingkat 5, Pastor Agung Cahaya. Informasi yang sesuai dengan Pastor Agung Jeremy terlintas dalam benak Alan.
"Baik Pendeta, semoga cahaya tetap menerangi kita," jawab Alan seraya membentuk gerakan salib dengan urutan bawah, atas, lalu kanan dan kiri.
Mengangguk Pendeta itu menjawab,"Semoga cahaya tetap menerangi kita," dengan gerakan yang sama.
...
Sementara Alan kembali ke rumahnya, Pendeta yang tadi menerima laporan Alan segera bergegas menuju ruangan Pastor Jeremy yang terletak di sebelah kanan altar tersebut.
"Pastor Agung, ada sesuatu yang memerlukan perhatian Anda," ucap Pendeta itu dengan lembut dan hormat sambil mengetuk pintu.
Pastor Agung Jeremy yang duduk di ruangannya mengangkat pandangannya dari kertas yang sedang dia periksa. "Masuklah," katanya dengan suara lembut yang mengundang.
Pendeta tersebut masuk ke dalam ruangan yang sederhana, hanya terdapat sebuah meja dan kursi tepat di tengah-tengah ruangan. Sang Pastor duduk dengan tenang, sementara kertas-kertas berserakan di depannya.
"Bicaralah," pinta Pastor Agung dengan lembut, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggunya.
Pendeta itu menceritakan kembali kejadian aneh yang dialami Alan kepada Pastor Agung Jeremy, sementara dia sendiri memberikan detail tambahan dari sudut pandangnya.
Melihat ekspresi wajah Pastor Agung yang tadinya lembut berubah menjadi suram, Pendeta itu merasa gelisah.
"Apakah kamu serius, Pendeta?" tanya Pastor Agung Jeremy dengan suara berat.
Menyadari keseriusan Pastor Agung di depannya, Pendeta tersebut menjawab dengan jujur, "Itulah yang disampaikannya, Pastor Agung."
"Katakan siapa namanya?" pinta Pastor Agung dengan tegas.
Pendeta tersebut menjawab tanpa berpikir panjang, "Alan Grodiro, Pastor Agung. Dia bekerja sebagai penjaga perpustakaan menggantikan Grei Tua, penjaga sebelumnya."
Pastor Agung mengangguk lalu memberikan perintah, "Tulis surat kepada Alan... Lupakan, aku akan menulis sendiri. Tunggu di luar agar kamu bisa mengirimkan surat itu kepadanya."
"Pahami, Pastor Agung. Semoga cahaya tetap menerangi kita," ujar Pendeta tersebut dengan salam standar gereja.
"Semoga cahaya-Nya tetap bersinar," jawab Pastor Agung Jeremy.
Setelah menulis surat dan meminta Pendeta itu mengirimkannya, Pastor Agung Jeremy langsung bergegas menuju markas utama gereja cahaya, Katedral Kemurnian, untuk bertemu dengan paus dan melaporkannya secara langsung.
...
Di sisi lain, Alan yang baru sampai di rumahnya tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. Dia membuka pintu dan mendapati rumahnya kosong, tanpa tanda-tanda kehadiran Mira, adiknya.
'Ah yah, Mira sedang pergi ke Sekolah Umum Gereja. Sekolah Umum Gereja adalah sekolah gratis bagi para anak-anak dan remaja berumur 6-13 tahun. Sekolah ini mengajarkan sejarah pembentukan gereja, cara berdakwah, matematika, dan tata bahasa. Ini berbeda dengan sekolah umum dan sekolah ksatria para bangsawan itu yang mematok biaya sekolah yang sangat tinggi,' Alan mendengus dalam pikirannya ketika mengingat sekolah para bangsawan itu.
Karena tidak ada yang harus dilakukan, Alan pergi ke zona tiga untuk membeli bahan-bahan makanan untuk dimasaknya malam nanti. Setelah kembali dari zona tiga, Alan mendapati sebuah amplop putih dengan sebuah batu di atasnya sebagai pemberat agar tidak terbawa angin, berada di atas meja yang ada di teras rumahnya.
Alan mengernyit dengan satu alis terangkat ke atas. 'Apa itu?' Karena kejadian di perpustakaan tadi, Alan merasakan dirinya merinding. Alan mendekat dan melihat sebuah tulisan rapi di amplop tersebut yang menyatakan bahwa itu untuk dirinya.
"Kepada Alan Grodiro," Alan membacanya dengan suara tipis.
'Sebuah surat?'