Saat Alan merasa tubuhnya terpaksa bergerak mendekati buku bersampul cokelat, ketakutan menguasainya. Setiap langkah terasa seperti jerat yang menekan semakin kuat. Tapi saat jarinya hampir menyentuh buku itu, cahaya yang begitu terang tiba-tiba menyelimuti ruangan, membuat Alan memejamkan mata. Panas menyelimuti tubuhnya, dan kekuatan yang sebelumnya mengendalikannya mendadak melemah.
Ketika Alan membuka matanya kembali, dia melihat tiga sosok yang diselimuti cahaya, berdiri di depannya. Salah satu dari mereka, mengenakan jubah yang lebih megah dengan simbol mahkota kecil di lehernya, jelas adalah seorang Kardinal Cahaya. Dua sosok lainnya, masing-masing tampak gagah dan penuh kewibawaan, melingkari buku yang masih melayang dengan aura yang mengancam.
"Menjauh dari buku itu!" Kardinal Cahaya mengeluarkan perintah yang bergema di seluruh ruangan. Tarikan yang kuat segera menarik Alan menjauh, membuatnya terhuyung dan jatuh ke belakang. Kedua sosok lainnya segera bergerak, mengangkat tangan mereka, dan menciptakan penghalang cahaya di sekitar buku itu, yang mulai bergetar hebat seolah-olah melawan.
"Buku ini terlalu kuat," ujar salah satu dari mereka, pria botak dengan suara berat. "Kita harus menyegelnya sebelum ia benar-benar lepas kendali."
Alan, yang masih berbaring di lantai, menyaksikan dengan tegang. Cahaya dari penghalang yang mereka ciptakan berkilauan, namun aura kekerasan dari buku itu terus mencoba menembus. Meski begitu, kekuatan cahaya tampak mampu menahan dorongan itu, setidaknya untuk sementara.
Kardinal Cahaya kemudian melangkah maju, mempersiapkan ritual penyegelan. Tapi buku itu tidak tinggal diam. Energinya meledak, menghancurkan penghalang cahaya dan melemparkan ketiga orang itu ke belakang. Kardinal Cahaya jatuh berlutut, napasnya tersengal, namun dengan tekad yang kuat, dia bangkit kembali dan mulai merapalkan mantra dengan kekuatan penuh.
"Dalam nama Cahaya Abadi, aku segel kekuatan kekerasan ini kembali ke dalam keabadian!"
Cahaya putih yang begitu terang memancar dari tangan Kardinal Cahaya, menyelubungi buku itu dan mulai menenangkannya. Buku tersebut mengeluarkan jeritan melengking, namun seiring waktu, energi gelapnya memudar, digantikan oleh rantai cahaya yang tidak terlihat. Pria berpakaian prajurit itu segera mengeluarkan aura seperti pahlawan dan mengarahkannya ke buku tersebut, yang membantu memperkuat segel yang dikeluarkan oleh Kardinal Cahaya. Sementara pria botak itu, tampak mengeluarkan botol berisi cairan berwarna kuning dari udara kosong lalu menumpahkan isinya di atas buku tersebut. Cairan tersebut perlahan-lahan menyerap lebih dalam ke buku tersebut menyelesaikan proses penyegelan.
Alan hanya bisa menyaksikan dengan takjub saat cahaya itu perlahan meredup, meninggalkan buku bersampul cokelat yang kini tampak tidak berdaya di lantai perpustakaan. Kardinal Cahaya berdiri dengan susah payah, sementara kedua rekannya juga tampak kelelahan, tapi tetap waspada.
"Kita berhasil," pria botak itu berkata dengan lega, namun dia tidak melepaskan kewaspadaannya. "Tapi ini belum berakhir. Buku ini harus segera dibawa ke Katedral untuk disegel dengan lebih aman oleh Paus."
Kardinal Cahaya mengangguk, lalu memandang Alan yang masih terbaring di lantai. "Anak muda, kau telah menyaksikan sesuatu yang luar biasa berbahaya. Namun, ini adalah bagian dari takdirmu. Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Alan menatapnya dengan mata penuh kebingungan dan ketakutan, namun di dalam hatinya, ada tekad yang mulai tumbuh. "Aku…," Alan terdiam sejenak, lalu dengan suara yang lebih tegas, ia melanjutkan, "Aku akan melakukan apa pun yang perlu dilakukan."
Kardinal Cahaya menatapnya dengan serius, lalu mengangguk setuju. "Baiklah. Kami akan membawa buku ini ke tempat yang aman. Tetapi ingatlah, jalanmu baru saja dimulai."
Dengan itu, Kardinal Cahaya, bersama kedua rekannya, membuka portal cahaya dan menghilang bersama buku bersampul cokelat itu. Alan dibiarkan sendirian di perpustakaan yang kini kembali sunyi, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan besar baru saja dimulai, dan dia harus bersiap menghadapi apapun yang akan datang.
Segera setelah cahaya menghilang, Alan dengan cepat bangkit dari lantai perpustakaan. Meski tubuhnya masih terasa lemah dan gemetar, dia memaksakan dirinya untuk berdiri dan mulai berlari pulang. Setiap langkah terasa berat, namun dalam hatinya, ada dorongan kuat untuk segera pulang, seolah-olah rumah adalah satu-satunya tempat yang bisa memberinya ketenangan setelah apa yang baru saja terjadi. Perasaan tak berdaya yang menyelimuti sebagian besar hatinya membuatnya merenungkan betapa kecilnya dirinya di hadapan kekuatan seperti yang baru saja dilihatnya. Namun, di balik rasa takut dan cemas itu, ada kerinduan yang kuat untuk memiliki kekuatan seperti tiga sosok agung yang menyelamatkannya tadi.
Sementara itu, di tempat lain, Kardinal Cahaya bersama kedua rekannya tiba di aula utama Katedral Kemurnian, di mana Paus telah menunggu mereka dengan wajah tenang namun penuh kewibawaan. Aula yang luas itu dipenuhi oleh keheningan suci, hanya terdengar langkah kaki mereka yang bergema di lantai marmer yang dingin.
Begitu melihat kedatangan mereka, Paus memandang Kardinal Cahaya dengan mata lembut namun penuh makna. "Cepat lepaskan bukunya, Kardinal," ujar Paus dengan suara lembut yang penuh ketenangan. "Aura kekerasan yang mengalir dari buku itu bisa mencemarkan jiwamu jika kau terus menahannya."
Tanpa ragu, Kardinal Cahaya segera melepaskan genggamannya pada buku bersampul cokelat tersebut. Buku itu tampak terjun bebas ke lantai aula, namun sebelum mencapai permukaan, Paus dengan anggun mengayunkan tangannya. Sebuah kekuatan tak terlihat menahan buku itu di udara, membuatnya melayang perlahan di depan Paus yang tetap duduk dengan khusyuk di singgasananya.
Paus, dengan tongkat kepausannya diangkat tinggi, mulai merapalkan doa dengan suara yang lembut namun penuh dengan kekuatan rohani. "Wahai Cahaya, perwujudan kemurnian, berikan aku kekuatan-Mu untuk memurnikan buku ini dari aura kekerasan, meski hanya untuk sementara waktu."
Ketika kata-kata terakhir dari doanya bergema di aula, ujung tongkatnya mulai bersinar terang, memancarkan cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu turun perlahan, seperti air yang mengalir, menuju buku yang melayang di hadapannya. Cahaya tersebut menyelubungi buku itu dengan intensitas yang menenangkan, seakan-akan membasuh segala kegelapan yang menyelimutinya.
Waktu terasa melambat, dan semua yang hadir menahan napas, menyaksikan proses pemurnian yang penuh kekhusyukan. Cahaya yang menyilaukan itu perlahan meredup, memperlihatkan wajah Paus yang tampak sedikit lelah, namun tetap tenang dan penuh pengendalian diri. Dia tahu bahwa kekuatan buku tersebut bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan—buku itu memiliki hubungan yang dalam dengan Dewa Pencipta, sebuah kekuatan yang bahkan berada di atas Dewa Cahaya.
"Dengan ini," ujar Paus sambil memasukkan buku tersebut ke dalam kotak kecil di sebelah singgasananya, "buku ini akan seperti buku biasa pada umumnya, setidaknya untuk dua bulan ke depan. Namun, kita harus tetap waspada. Kekuatan yang tersembunyi di dalamnya bukanlah sesuatu yang bisa ditaklukkan begitu saja."
Kardinal Cahaya dan kedua rekannya mengangguk, merasakan beban tanggung jawab yang baru. Mereka tahu bahwa meski untuk saat ini bahaya telah diredakan, perjuangan mereka belum berakhir. Di luar sana, ancaman yang lebih besar mungkin sudah menanti, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang datang. Sementara itu, di sudut pikirannya, Kardinal Cahaya memikirkan Alan—anak muda yang telah melihat dan mengalami terlalu banyak hal dalam waktu yang singkat.
Paus kemudian menatap kedua pendampingnya. "Kalian harus bersiap," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Akan ada lebih banyak tantangan di depan, dan kita harus siap untuk melindungi dunia dari ancaman kegelapan yang terus tumbuh."
Dengan buku bersampul cokelat yang kini tersimpan dengan aman untuk sementara waktu, suasana di Katedral Kemurnian kembali tenang. Namun, semua yang hadir tahu bahwa ini hanyalah ketenangan sebelum badai besar yang mungkin akan datang. Di tempat lain, Alan yang masih berlari pulang merasakan hal yang sama—perjalanan baru saja dimulai, dan jalan yang harus dilaluinya masih panjang dan penuh misteri.