Alan membuka lipatan surat tersebut dan membaca isinya dengan seksama. Surat itu berisi panggilan mendesak untuk kehadirannya di Katedral Kemurnian di zona pusat guna membahas masalah terkait buku di perpustakaan. Sebuah hal yang tidak biasa, dan hatinya bergetar dengan rasa penasaran yang bercampur dengan kecemasan.
Alan segera masuk ke rumah, menyimpan belanjaan di meja dapur, dan tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung menuju ke zona pusat. Suasana tenang di sekitar zona dua perlahan berubah saat Alan semakin mendekati inti Kubah Suci Rahasia. Zona pusat selalu terasa berbeda—berdinding megah, bangunan menjulang tinggi, dan simbol-simbol keagamaan yang menghiasi setiap sudut. Katedral Kemurnian, pusat spiritual umat manusia, berdiri sebagai monumen kebesaran Gereja Dewa Cahaya.
Jalan menuju katedral dipenuhi orang-orang yang tergesa-gesa. Para pendeta, ksatria, dan pelayan katedral sibuk berlalu-lalang, mengurusi berbagai urusan yang terlihat mendesak. Di tengah hiruk-pikuk itu, Alan berjalan dengan langkah pasti, menyadari bahwa panggilan ini mungkin lebih penting daripada yang terlihat di permukaan.
Ketika ia tiba di gerbang Katedral Kemurnian, dua ksatria penjaga yang mengenakan armor berkilauan menghentikannya.
"Siapa kau, dan apa urusanmu di sini?" tanya salah satu ksatria dengan suara tegas.
Alan menyerahkan surat panggilan tersebut. Salah satu ksatria memeriksanya sejenak sebelum mengangguk.
"Silakan masuk. Paus telah menunggu."
Paus? Alan merasa terkejut. Mengapa pemimpin tertinggi Gereja Dewa Cahaya harus bertemu dengannya? Namun, ia tak punya pilihan selain melangkah ke dalam.
Di dalam katedral, suasana begitu megah dan penuh wibawa. Jendela-jendela kaca patri memantulkan sinar matahari yang masuk dengan lembut, menyebar ke seluruh ruangan. Gambaran para malaikat, dewa, dan kisah-kisah legendaris terpahat indah di dinding-dinding katedral. Setiap langkah Alan bergema di lantai marmer, menciptakan rasa kecil di tengah kemegahan yang mendominasi.
Di ujung aula utama, Alan melihat seorang pria berusia paruh baya dengan jubah putih keemasan berdiri. Di dekatnya, beberapa pendeta tinggi dan anggota gereja lain berdiri diam, menanti kedatangan Alan. Pria itu adalah Paus Gregorius II, pemimpin tertinggi Gereja Dewa Cahaya.
"Selamat datang, Alan," suara Paus Gregorius II terdengar lembut namun penuh kekuatan. "Aku yakin kau terkejut menerima panggilan ini."
Alan berlutut, menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. "Ya, Yang Mulia. Saya di sini atas panggilan Anda."
Paus tersenyum samar. "Bangkitlah, tak perlu formalitas berlebihan. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan, dan waktunya singkat."
Alan bangkit berdiri, masih merasa tidak yakin mengapa dirinya yang dipanggil ke tempat suci ini.
Paus melanjutkan, "Beberapa waktu lalu, kami menerima laporan mencurigakan tentang buku-buku di perpustakaan yang kau kelola. Salah satu buku asing bersampul cokelat yang tiba-tiba muncul di perpustakaanmu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar teks biasa. Buku itu dikatakan mengandung kekuatan tersembunyi dari Dewa Pencipta. Kita semua tahu bahwa cahaya adalah yang pertama kali muncul setelah Dewa Pencipta menciptakan segalanya. Oleh karena itu, kebenaran buku itu sangat penting bagi kita semua."
Alan tercengang. Buku itu tampak seperti buku bersampul cokelat biasa yang tiba-tiba ada di perpustakaan yang dia kelola. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa buku tersebut menyimpan sesuatu yang lebih.
Paus melanjutkan dengan nada lebih serius, "Kami percaya bahwa buku itu bisa menjadi kunci untuk menemukan sesuatu yang telah lama kami cari—mungkin jalan untuk menyelamatkan umat manusia dari kegelapan yang semakin mendekat. Namun, aku butuh kau untuk melakukan satu hal, Alan."
Alan menatap Paus dengan penuh perhatian. "Apa yang Anda inginkan dari saya, Yang Mulia?"
"Setelah kami menemukan buku itu, kamu harus membawanya ke suatu tempat. Perjalanan ini tidak akan mudah. Kau harus membawa buku itu ke sebuah tempat tersembunyi di luar Kubah Suci Rahasia, sebuah tempat yang hanya sedikit orang ketahui. Ini adalah lokasi di mana rahasia besar itu tersembunyi, dan kau harus membuka kuncinya. Tidak ada orang lain yang bisa dipercaya untuk misi ini kecuali dirimu."
Jantung Alan berdegup kencang. "Tapi... kenapa saya, Yang Mulia? Saya hanya seorang penjaga perpustakaan."
Paus menatap Alan dengan mata yang dipenuhi kebijaksanaan. "Kau bukan hanya seorang penjaga perpustakaan, Alan. Nasib telah membawamu ke sini, dan aku yakin ada alasan besar di balik itu. Ada sesuatu yang lebih dalam dirimu, sesuatu yang mungkin kau belum sadari. Kau akan mengetahuinya dalam perjalananmu nanti."
Alan terdiam. Ada banyak pertanyaan yang berputar di benaknya, tapi ia tahu bahwa menolak panggilan ini bukanlah pilihan. Ini lebih dari sekadar dirinya—ini adalah tentang masa depan umat manusia.
Paus Gregorius II menyerahkan gulungan peta tua kepada Alan. "Ini akan membawamu ke tempat yang harus kau tuju. Berhati-hatilah, karena banyak bahaya yang mengintai di luar sana. Dalam seminggu ke depan, kami akan mengadakan upacara untukmu sebagai seorang Pelanggar. Aku sendiri yang akan memimpin upacara itu. Dewa Cahaya menyertaimu."
Dengan tangan yang gemetar, Alan menerima gulungan itu. Di saat yang sama, ia merasakan beban tanggung jawab besar yang jatuh di pundaknya.
"Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menjalankan tugas ini sebaik mungkin," ujar Alan dengan suara penuh tekad.
Paus tersenyum tipis. "Aku tahu kau akan melakukannya. Pergilah, Alan, dan bawa harapan bagi kita semua."
Alan membungkuk sekali lagi sebelum perlahan meninggalkan aula besar Katedral Kemurnian. Begitu keluar dari katedral, angin dingin menyambutnya. Alan berdiri sejenak, memandang ke arah langit kelabu di atas Kubah Suci Rahasia. Hari ini bukan lagi hari-hari biasa. Panggilan yang diterimanya bukan hanya panggilan sederhana, melainkan awal dari perjalanan yang akan menentukan masa depan dunia.
Di tangan kirinya, Alan meremas surat panggilan yang baru dibacanya tadi. Di tangan kanannya, ia memegang gulungan peta yang kini menjadi panduan dalam tugas suci yang dipercayakan kepadanya.
Dengan napas dalam, Alan mulai melangkah keluar dari zona pusat, menembus jalan-jalan ramai, menuju rumahnya untuk bersiap memulai perjalanan yang mungkin akan mengubah nasib seluruh umat manusia.