Chapter 6 - Bab 6: Harapan

Di tengah keramaian, Alan berjalan perlahan sambil memikirkan kejadian di katedral tadi.

"Huft, aura Paus sangat suci sehingga aku bahkan tidak berani bernapas dengan kuat, apalagi berpikir. Tadi Paus berkata bahwa gulungan ini akan membawaku ke tempat tujuan, dan juga menjadikanku seorang Pelanggar dengan dia sebagai pemimpin upacara..."

Alan tiba-tiba kembali ke kenyataan dengan pupil mata melebar dan mulutnya membentuk huruf 'O', mencerminkan kekagetannya.

"APAKAH ITU BERARTI AKU AKAN JADI SEORANG PELANGGAR?" Alan tanpa sadar memekik kegirangan. Tak dapat dipungkiri, keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang Pelanggar agar bisa menemukan cara untuk pulang ke rumah—Bumi.

Sadar bahwa suaranya menarik perhatian, Alan segera menutup mulutnya dengan kedua tangan setelah menyadari orang-orang di sekitarnya sedang melihatnya dengan tatapan aneh. Wajahnya memerah, tetapi hatinya melompat-lompat penuh kegembiraan. Dia tidak dapat menahan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Dengan semangat yang meluap-luap, Alan segera berlari pulang ke rumah, sesekali melompat dan meninju langit untuk mengekspresikan kesenangannya.

Saat dia sampai di rumah, napasnya terengah-engah karena kegembiraan. Ia segera masuk dan mengunci pintu di belakangnya. Di dalam rumah, dia bersandar sejenak di dinding dekat pintu, mencoba menenangkan debaran jantungnya.

"Kak, ada apa? Kenapa wajahmu berseri-seri begitu?" tanya Mira, matanya memancarkan keingintahuan.

Alan segera menarik napas dalam-dalam. "Mira... Aku akan menjadi seorang Pelanggar!"

Mira terdiam, mencoba mencerna kata-kata Alan. "Apa? Benarkah itu?" katanya akhirnya, nada suaranya setengah tak percaya dan setengah khawatir.

Alan mengangguk, senyum lebar masih menghiasi wajahnya. "Ya, Paus sendiri yang akan memimpin upacaranya."

Alan kemudian berjalan cepat ke ruang tamu, membuka gulungan peta tua yang diberikan Paus. Tangannya gemetar, tetapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena harapan yang baru tumbuh di hatinya. Mira ikut mendekat, penasaran melihat gulungan peta yang sedang dibuka oleh kakaknya.

'Peta ini akan membawaku ke tempat yang harus kutuju,' pikir Alan. 'Tempat di mana aku bisa menemukan kunci untuk kembali ke rumah. Akhirnya, ada harapan.'

Alan membiarkan pandangannya menjelajahi peta tersebut, mencari petunjuk yang akan membawanya ke tempat rahasia yang disebut Paus. Peta itu tampak kuno, dengan garis-garis halus yang menggambarkan medan dan lokasi-lokasi penting di luar Kubah Suci Rahasia. Ada satu titik di peta yang ditandai dengan tinta merah, dan Alan tahu bahwa inilah tujuan yang dimaksud.

Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Alan tahu dia harus bersiap. Menjadi Pelanggar bukanlah tugas yang mudah, dan perjalanan ini pasti penuh dengan bahaya yang tak terduga. Dia harus memastikan dirinya siap secara fisik dan mental untuk menghadapi tantangan yang menantinya.

Dengan tekad yang kuat, Alan memutuskan untuk mulai berlatih dan mempersiapkan dirinya. Di benaknya, dia mulai merencanakan apa yang perlu dia lakukan—dari latihan fisik hingga latihan mental. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini bukan hanya tentang menemukan jalan pulang, tetapi juga tentang mengungkap misteri yang lebih besar.

Setelah mengatur serangkaian rencana di benaknya, Alan baru teringat bahwa Mira juga sedang melihat peta tua tersebut. "Mira, kenapa kamu pulang cepat? Ini belum tengah hari," tanyanya seraya melihat ke arah adiknya.

"Hari ini Ibu Guru Sysil hanya mengajar tata bahasa karena beliau tidak enak badan, jadi kami para murid disuruh pulang lebih awal," jawab Mira sambil berjalan ke arah dapur.

"Aku akan memasak, jadi tolong kamu bantu mencuci pakaian," lanjut Mira setelah sampai di dapur.

Alan mengangguk sambil menyimpan gulungan peta itu dengan hati-hati. Di balik kegembiraan dan harapan yang menyala di hatinya, ada juga rasa tanggung jawab besar yang mulai menekan. Dia tahu, jalan di depannya penuh dengan tantangan, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Harapan untuk kembali ke rumah kini semakin nyata, dan itu cukup untuk membuatnya terus melangkah ke depan.

Di halaman belakang yang sederhana, Alan mulai mencuci pakaian seperti yang diminta Mira. Setiap helai kain yang disentuhnya, pikirannya melayang ke perjalanan yang akan ia tempuh. Membayangkan apa yang akan ditemuinya di luar Kubah Suci Rahasia, medan yang belum pernah ia jelajahi, dan rahasia besar yang menanti untuk diungkapkan.

Sementara itu, di dapur, Mira sibuk memasak dengan cekatan. Meskipun perasaannya campur aduk antara kebanggaan dan kekhawatiran terhadap Alan, ia mencoba untuk fokus pada tugasnya. Setelah semua yang mereka lalui, Mira tahu betapa besar keinginan Alan untuk menjadi pelanggar entah apa alasannya. Tapi dia juga tahu bahwa perjalanan menjadi seorang Pelanggar adalah sesuatu yang sangat berbahaya.

Alan menyelesaikan cuciannya dengan cepat. Setelah semua pakaian dijemur, dia kembali ke dalam rumah. Aroma masakan yang sedap segera menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Di meja makan, Mira sudah menyiapkan makanan sederhana—sup sayuran hangat dan roti.

Mereka duduk bersama di meja makan, suasana hangat dan tenang menyelimuti mereka. Meskipun ada banyak yang belum diungkapkan, mereka berdua tahu bahwa hari-hari ke depan akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka.

"Mira, aku tahu ini akan sulit. Tapi aku berjanji, aku akan kembali. Dan saat aku pulang, kita akan bisa hidup dengan tenang," kata Alan dengan suara yang penuh keyakinan.

Mira menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. "Aku percaya padamu, Kak. Tapi, tolong berhati-hatilah di luar sana. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Alan tersenyum lembut. "Aku janji akan melakukan yang terbaik."

Setelah makan malam selesai, Alan dan Mira beristirahat di ruang tamu. Alan kembali memeriksa peta yang diberikan Paus, memastikan ia memahami setiap detail sebelum memulai perjalanan. Sementara itu, Mira duduk di dekatnya, mengamati kakaknya dengan penuh perhatian.

Saat malam semakin larut, Alan menutup peta dan menyimpannya kembali. Dia tahu bahwa esok adalah hari baru, hari di mana persiapannya untuk menjadi seorang Pelanggar harus dimulai dengan serius. Ada harapan besar di depan mata, harapan untuk pulang, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus ia pikul.

Ini adalah tentang "Harapan"—harapan untuk masa depan, harapan untuk pulang, dan harapan untuk memenuhi takdir yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Alan tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya akan menguji keberanian dan ketangguhannya, tetapi juga akan mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya. Alan selalu merasa bahwa garis keturunan dia dan adiknya spesial, entah dari mana perasaan ini berasal.

Malam itu, Alan tidur dengan mimpi tentang perjalanan yang akan datang. Sementara di luar, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah mengawasi perjalanan yang akan segera dimulai.