Keesokan harinya di tengah jantung istana yang megah, terbentanglah sebuah taman yang memikat. Mengelilingi istana Radiant Valoria, taman ini menjadi perlambang keindahan dan keanggunan yang tak terbantahkan. Rimbunnya pepohonan menjulang tinggi, dengan daun-daun yang rindang dan bunga-bunga yang mekar indah, menciptakan semacam mahakarya alam yang disusun sedemikian rupa.
Dalam taman itu, terdapat berbagai jenis bunga yang berwarna-warni, dengan kelopak yang menebar aroma harum dan memukau. Jalan setapak yang tertata rapi membelah taman, terhampar permadani rumput hijau yang lembut di bawah langit yang cerah. Sebuah air mancur indah menjadi fokus di tengah taman, airnya mengalir tenang menghiasi suasana dengan gemerincing yang menenangkan.
Pintu gerbangnya dihiasi dengan pilar-pilar batu yang megah, sementara pepohonan cemara tua memeluk bagian tepinya dengan lembut, memberikan kesan ramah namun megah pada siapa pun yang memasuki taman ini. Di tengah-tengah keindahan alam, terletak bangunan-bangunan kecil, tempat peristirahatan yang beratapkan dedaunan lebat.
Zion melangkah perlahan melewati pintu gerbang taman istana. Cahaya matahari yang bermain-main melalui dedaunan pepohonan memberikan sentuhan hangat pada langkahnya yang ragu. Begitu ia memasuki taman, keindahan yang terbentang di hadapannya seakan menghipnotisnya.
Dengan langkah hati-hati, Zion berjalan melewati jalan setapak yang tertata rapi. Matanya terpaku pada air mancur yang mengalir, gemerincingnya memberikan nuansa yang menenangkan di tengah keheningan taman yang menawan ini.
Karena terpaku dengan pemandangan yang benar-benar baru baginya ini, terdengar suara 'bruk' yang tiba-tiba memecah keheningan.
"Aduh," desis Zion sambil mengusap dahinya yang secara tak sengaja menabrak punggung yang kokoh di depannya. Dia sedikit mendongak, memandang wajah yang kini berbalik menatapnya.
Terlihatlah seorang laki-laki yang memesona, rambut keemasan yang mengalir seperti serat emas terjatuh dengan anggun di sepanjang wajahnya yang tegas. Mata berwarna hijau zamrudnya memancarkan pesona yang tak terlukiskan. Pandangannya yang tajam dan intens, seperti matahari terbenam yang menciptakan kilauan di tengah hutan hijau yang tenang. Kecantikan alami yang melingkupi wajahnya hanya semakin menonjolkan daya tariknya, membuatnya tampak seperti lukisan hidup yang diberkahi oleh keanggunan alam.
Zion mengenalinya, salah satu karakter yang selalu mendapat pujian dari kekasihnya ketika muncul dalam alur cerita, Leander Aetherborne. Anak kedua dari Ratu Seraphina, anak ketiga Raja Cedric dan salah satu pangeran yang mendapatkan dukungan besar untuk menjadi Putra Mahkota.
"Zion?" panggil Leander ketika Zion hanya terdiam sambil menatap wajahnya. Raut wajah yang selalu digambarkan dengan dingin dan tak pernah berekspresi itu terlihat khawatir menatap Zion.
Menimbulkan pertanyaan lain dalam benak Zion, sebenarnya siapa tubuh yang ditempatinya ini? 500 lebih chapter yang dibacanya tanpa terpotong bersama kekasihnya tidak pernah menyebutkan nama Zionathan, yang ada hanyalah Pangeran ke sebelas. Misteri lain dalam novel The Holy Fate of the Exiled Prince, adalah keberadaan pemilik tubuhnya ini. Dalam novel, tidak pernah sekalipun Pangeran ke sebelas masuk ke dalam alur cerita, yang ada hanyalah orang-orang yang menyebutnya. Inilah yang Zion tidak mengerti, kenapa tubuhnya ini mendapat begitu banyak perhatian dari saudara-saudara nya.
Sementara itu, Leander yang melihat Zion masih terdiam menepuk pelan bahu Zion. "Zion! Hei!"
"Ah, iya?" sadar Zion dari lamunannya.
Leander menghela nafas pelan, sepertinya perkataan salah satu adiknya tentang Zion yang tiba-tiba selalu melamun bukan sekedar bualan.
Mensejajarkan wajahnya dengan wajah Zion, zamburd dan delima itupun saling bertemu. "Kau mau datang ke pesta penyambutan kedatangan ku di alun-alun ibu kota?" tanya Leander.
Leander sebenarnya tak ingin menanyakannya, tapi harapan tentang adik bungsunya yang datang ke pesta penyambutan nya mendorong Leander untuk kesekian kalinya menanyakannya tiap ada pesta yang diadakan untuk penyambutan nya. Meskipun semuanya ditolak mentah-mentah oleh adiknya ini.
"Pesta penyambutan Leander? Berarti ini masih diawal-awal cerita," batin Zion.
Berfikir sejenak apakah ia datang atau tidak, akhirnya Zion mengangguk sebagai jawaban 'iya'.
"Oh, baik—eh, kau mau datang?" kaget Leander.
Zion mengangguk, memangnya ada yang aneh dengan kedatangannya? pikirnya.
"Sungguh!?" tanya Leander memastikan, saking tidak percayanya dengan indra pendengarannya Leander bertanya sambil mengguncang pelan bahu Zion.
Sekali lagi Zion mengangguk, kali ini dengan ekspresi bingung kenapa Leander terlihat sangat tidak percaya.
Leander terdiam, ini sungguhan? Adik bungsunya ingin datang ke pesta penyambutan nya? Leander benar-benar tidak pernah menyangka nya. Saking tidak menyangka nya, ia sampai jatuh tak sadarkan diri bersandar di tubuh Zion.
"Eh?"
Zion berkedip beberapa kali, memandang Leander yang tak sadarkan diri itu.
Jari telunjuknya ia arahkan pada pipi Leander, menusuknya pelan, dan tentu saja tak ada respon dari Leander.
"Dia pingsan?"
Netra nya pun ia edarkan, melihat keadaan taman yang sepi. Hanya ada semilir angin menerbangkan dedaunan melewatinya.
"Lynn~ ini gimanaa~?
/°°/
Sore itu, langit menjelang senja menampilkan kisah keindahan alam yang tiada duanya. Warna oranye hangat yang menggoda mulai merajut langit, menyatu dengan corak merah muda yang memukau. Di sebelah barat, matahari beranjak perlahan, memancarkan sinar keemasan yang menghiasi awan-awan dengan warna emas yang gemerlap. Ketika senja semakin dalam, warna langit mulai merayap ke nuansa ungu dan biru tua, menyapu langit seolah-olah menandakan kedatangan malam yang tenang.
Alun-alun kota Aetheria berubah menjadi panggung keindahan yang mempesona. Lampu-lampu warna-warni tergantung di antara pepohonan yang tumbuh di sepanjang alun-alun, membentuk corak cahaya yang menari-nari seiring angin yang berhembus lembut. Perjalanan lampu-lampu tersebut seperti memandu langkah setiap tamu undangan pesta penyambutan Pangeran Leander.
Tenda-tenda berwarna-warni didirikan di sekitar alun-alun, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga segar dan kain-kain yang berkilauan, menciptakan nuansa kehangatan dan kemegahan. Panggung besar berdiri di ujung alun-alun, siap untuk menyambut aksi kesenian yang akan memeriahkan acara tersebut. Di sekitar panggung, piringan-piringan kecil diatur dengan rapi, dipenuhi dengan hidangan lezat yang menanti para tamu istimewa.
Suasana di alun-alun kota Aetheria semakin riuh dengan kedatangan para warga dan bangsawan dari berbagai penjuru negeri. Tampak ratusan orang memadati setiap sudut, mengenakan pakaian terbaik mereka, memamerkan kemegahan busana yang mengagumkan. Musisi dan penghibur jalanan melengkapi nuansa meriah dengan alunan musik yang menghentak, menciptakan semangat yang menggelegar di udara.
Bangsawan-bangsawan kerajaan Radiant Valoria tiba dengan tandu yang ditarik oleh kuda-kuda perkasa yang dihiasi dengan hiasan emas. Mereka mempersembahkan hadiah-hadiah yang sebenarnya hanya sebagai formalitas untuk menyambut kedatangan Pangeran Leander. Di sepanjang jalan, para pedagang menata lapak dagangan mereka, menjual aneka cinderamata, kain-kain sutera berwarna-warni, dan barang-barang mewah lainnya kepada para pengunjung.
Ditengah-tengah keramaian itu, Evelyn berkumpul dengan teman-teman kakaknya, langsung akrab dan ikut dalam pembicaraan mereka. Bersosialisasi adalah hal mudah bagi Evelyn, jadi tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk membuat teman-teman kakaknya menjadi temannya juga.
"Wah, aku benar-benar tidak percaya kalau adik Felicia secantik ini. Rumor benar-benar sesuatu yang tidak bisa dipercayai," ucap salah satu gadis yang kini meraba-raba wajah Evelyn.
"Kau benar, bukan kah ada yang bilang kalau wajahnya itu seperti labu. Tapi apa-apaan labu ini," ucap gadis lainnya, menusuk pelan pipi Evelyn.
Felicia terkekeh pelan, melihat adiknya dalam sekejap menjadi pusat perhatian teman-temannya. Evelyn bahkan tidak terlihat masalah dengan itu, ia menikmatinya saja dan sesekali membalas ucapan temannya. Kalau begini Felicia jadi kepikiran apa yang membuat adiknya itu mengurung diri selama bertahun-tahun di dalam kamar.
"Ah, sudahlah, kenapa kalian percaya pada rumor tidak jelas, lihat wajah ku dan kagum lah pada pesona bungsu Montclaire ini!" bangga Evelyn. Tidak bisa dipungkiri kalau sekarang dia benar-benar mengagumi wajahnya sendiri. Visualisasi novel historical memang tiada tandingannya, benar-benar memanjakan mata dan seperti mendatangi negeri dalam dongeng.
"Ahahaha~ Felicia, adik mu ini sungguh sesuatu," ucap salah seorang gadis, kipas lipatnya ia buka dan menutup setengah dari wajahnya. Tanda kalau ia sangat terhibur dengan sifat dari adik temannya itu.
"Tentu saja Lady Sophia, aku memang sungguh sesuatu," balas Evelyn, mengambil kipas lipat milik Felicia, membukanya dan ikut menutupi setengah wajahnya. Manik birunya berkilauan dalam remang-remang cahaya di sana.
Sinar matahari terbenam merona di ufuk barat, memberi sentuhan keemasan yang memancar di langit senja.
Dari kejauhan, sebuah konvoi mulai terlihat. Lentera-lentera yang berderet di sepanjang jalan mulai menyala, memberikan semangat baru pada keramaian yang meriah. Berjajarlah para prajurit yang gagah, memimpin rombongan kereta kuda yang bersinar di bawah sinar senja.
Dan di tengah-tengahnya, ada Leander. Dia duduk dengan gagah, mengenakan pakaian yang gemerlap, menambah keindahan kedatangannya. Sorot matanya yang penuh keanggunan memancarkan pesona yang tak tertandingi, sementara senyum tipis yang jarang ia tunjukkan memancar kegembiraan yang tulus.
Di sana Evelyn terpaku pada wajah yang seperti lukisan hidup itu. Semua halu nya yang menggambarkan sosok pangeran Leander langsung menguap dan tergantikan dengan kekaguman pada sosok yang kini melambai-lambai dari atas kuda yang tengah ditungganginya.
Sungguh, Leander yang ada dalam bayangannya tidak sebanding dengan sosok asli Leander ini.
"Gue jadi penasaran mukanya Kendrick kek gimana.. pasti gak kalah genteng dari ini, secara dia kan mc nya," batin Evelyn, mencoba membayangkan akan bagaimana wajah dari sang karakter utama pria.
|•BERSAMBUNG•|