Pernikahan aku dan Widad berlangsung dengan meriah. Sejujurnya aku merasa Cinderella bertemu Pangeran Tampan. Banyak juga temanku yang mempertanyakan pernikahanku . Ada yang bilang ini terlalu dini dan ada pula yang bilang aku menikah dengannya hanya karena aku menginginkan kekayaannya.
Bagiku, itu seharusnya tidak menjadi masalah. Aku menyukai Widad dan dia juga. Aku akui, rasa cemburu itu muncul saat melihat Widad memang punya banyak teman wanita. Tapi berpikir bahwa dia harus menjaga profesionalismenya,
Kami berbulan madu di Carlo, Monako.Widad konon ingin mengenang kembali cinta manis Pangeran Rainier III kepada istrinya, aktris ternama Hollywood, Grace Kelly, yang juga dikenal sebagai Putri Grace dari Monaco. Di sana, kami membuat banyak kenangan manis bersama. Semuanya direncanakan dengan baik oleh suamiku.
Perbedaan usia kami yang 11 tahun tak membuat kami berdua merasa canggung sama sekali. Faktanya, kedewasaannya itulah yang memberi aku kekuatan.bukan main Lyssebelle memuji suaminya sendiri.
Dia menyuruhku berhenti dari pekerjaanku agar lebih fokus mengurus pernikahan kami. Lagipula, dia ingin aku selalu ada untuknya. Tidak, kalau dia pulang kerja, aku harus berangkat kerja. Dan dia menambahkan bahwa uangnya saja sudah cukup untuk menghidupi kami berdua.
" Aku menikahi mu artinya aku sudah siap menjadi seorang suami. Jadi sebagai seorang istri,kamu harus selalu ada untukku. Oke sayang?"Katanya romantis
Saat pertama kali aku memutuskan menikah dengan Widad , ada juga rekan lain yang menyarankan agar aku mengambil keputusan yang lebih rasional. Ada yang juga mengingatkan aku bahwa Widad adalah seorang playboy. Tapi menurutku, jika anggapan dia playboy itu benar, dia pasti tidak berpikir untuk menikah denganku.
Kami tinggal di rumah warisan mendiang orang tuanya, ArwanKeano dan CarissaPuspa. Rumah dua lantai itu memang sangat indah dan aku sungguh merasa sangat beruntung bisa menikah dengan pria sekaya Widad . Bukannya aku sangat menginginkan kekayaannya, tapi sebagai seorang wanita, aku menginginkan pria yang mampu secara finansial agar aku bisa makan dan minum serta kesejahteraanku sendiri terjaga dengan baik.
Namun ada satu hal yang menarik perhatian ku.
Di foto keluarga mereka, aku perhatikan ada empat orang di sana. Di bawahnya terdapat tanggal 2002 yang artinya adalah gambar 15 tahun yang lalu. Pada gambar terdapat empat orang, dua diantaranya sedang duduk dan dua lainnya berdiri di belakang.
Keduanya yang duduk tampak tua dan aku kira mereka adalah suami-istri. Jadi mereka adalah ArwanKeano dan CarissaPuspa. Di belakang ArwanKeano berdiri suamiku Widad ketika dia masih muda. Artinya saat itu usianya baru 20 tahun.
Hanya di yang sebelahnya aku tidak yakin. Menurutku, dia memang pria yang sangat tampan. Menurut perkiraan ku, usianya sekitar 15-17 tahun. Usia di mana remaja laki-laki bisa sangat tampan.
Namun yang misterius dari pemuda tersebut adalah ekspresinya dalam gambar dengan wajah muram bercampur amarah. Ia terlihat memberontak terhadap sesuatu dan hal itu terlihat jelas di gambar.
Jadi, saat kami berdua makan malam di restoran mewah malam itu, aku sendiri yang bertanya pada Widad .
"Mas kamu yakin gakpapa aku berhenti kerja dan duduk di rumah?"
"Ya gakpapa.kenapa emangnya?"
"Gak,Mas, aku hanya tidak ingin orang-orang di sekitar kita membicarakan kita berdua. Kamu tahu, seperti apa mulut mereka."
"Tidak usah peduli, sayang. Lagi pula, aku bukan satu-satunya orang di rumah ini."
Di situ, aku tertegun sejenak. Aku tahu kalau di rumah itu ada pegawai kantoran dan sebagainya, tapi menurutku bukan itu maksudnya.
"Maksudmu saudara?"
"Tunggu dulu sayang. Aku mau ke toilet sebentar. Nanti aku kasih tahu." Dan dia pergi ke toilet.
Aku duduk sendirian di meja menunggu dia kembali. Niatku untuk bertanya lebih lanjut terhenti sejenak karena hal itu.
Ponselnya yang ditinggalkan berdering. Aku melihat namanya. Nama Dr. Farah HS ada di sana dan itu membuatku cepat iri. Aku membiarkan telepon berdering beberapa saat untuk memastikan bahwa penelepon mungkin menekan nomor yang salah atau semacamnya. Lima detik... enam detik... tujuh detik...
"Hello..." Aku jawab juga panggilan tersebut.
"Halo, saya Dokter Farah dari Sentosa Hospital. Ini nomor Pak Danial Widad ya?"
"Ya, benar. Saya istrinya."
"Oh, Apa Dia ada?"
"Dia ada di toilet. Bolehkah aku tahu apa yang terjadi?" Aku harus bertanya karena setahu ku Hospital Sentosa adalah rumah sakit untuk merawat orang gila. Ya, rumah sakit jiwa!
"Oh, itu ada hubungannya dengan adiknya, Danial Gibran ."
Aku melihat Widad menuju ke meja makan. Aku bilang ke Dokter Farah untuk menunggu sebentar agar aku bisa menyerahkan panggilan pada Widad .
"Siapa?"
"Dokter Farah."
"Rumah Sakit Sentosa."
Aku mengangguk. Dia terus mengambil ponselnya dan duduk kembali di kursinya. Aku mencoba menguping apa yang dia bicarakan dengan dokter wanita itu. Oke, itu bukan skandal karena berbicara tatap muka bukanlah skandal. Tapi mungkin saja mereka bersekongkol.
"Iya Dokter Farah...oh itu istriku Lyssabelle...bagaimana kabarnya?...benarkah?! Alhamdulillah...Kapan aku bisa menjemputnya?...baiklah, kalau begitu kita bertemu disana? ...tentu dok. Dan terima kasih atas semuanya...waalaikumussalam. Sampaikan salamku padanya ya."
Dia kembali makan dan sepertinya dia lupa memberitahuku apa yang baru saja terjadi. Wajahnya juga hanya tersenyum saat itu. Saat ini, aku merasa ada yang tidak beres.
"Jadi...?"
"Oh, iya. Aku lupa. Tadi kita di mana?"
"Siapa Doktor Farah? Dan kenapa dia menelponmu dari Hospital Sentosa?"
Dia tersenyum. Dia menyesap sedikit jus wortelnya sebelum mulai berbicara. "Jadi sayang, pernahkah kamu memperhatikan ada foto laki-laki selain ku di rumah ini?"
"Ya, aku ingin sekali bertanya tentang dia. Siapa dia?"
"Aku tahu aku jarang membicarakannya dengan orang lain. Bukan apa-apa, aku khawatir orang tidak bisa menerimanya."
"Maksudmu saudara?"
"Oke, namanya Gibran. Danial Gibran Putra Adhitama. Tahun ini usianya 32 tahun jadi iya, dia adik ku. Saat ini dia dirawat di Rumah Sakit Sentosa."
Mataku melebar. Aku tak percaya suamiku yang seorang dokter mempunyai adik lelaki yang juga pasien rumah sakit jiwa.
"Ya, kamu tidak salah dengar. Dia sudah berada di sana selama lima tahun. Gangguan kecemasan dan trauma."
Sekali lagi, mataku membelalak mendengarkannya. Mataku berkibar menatap Widad tapi dia hanya mengangguk mengiyakan.
"Karena itu aku jarang menceritakan pada semua orang tentang Gibran ."
"Kenapa dia bisa ada di sana?"
"Bukankah aku sudah mengatakan itu?"
Maksudku, bagaimana dia bisa terpukul seperti itu?
Widad terkekeh. "Oh, gara-gara Marleena. Mendiang istrinya. Dia meninggal karena..." Kevlar terdiam sejenak. "Dia dibunuh."
"Dibunuh?!" Aku berteriak sedikit. Widad segera menyuruhku merendahkan suaraku.
"Yah. Dan coba tebak? Dia sedang hamil."
Aku menutupi wajahku memikirkan betapa mengerikannya itu. Mengerikan sekali mendengar orang dibunuh saat hamil.
"Dan dia di bunuh depan mata Gibran . He saw everything on that time. So, He's kinda trauma and paranoid."
Siapa aja yang gak paranoid kalau orang yang dia sayang kena bunuh depan mata?! Pastinya si Gibran itu takut for any kind of robbery sampai mati
"Ya, dia satu-satunya adik laki-laki yang kumiliki dan sekarang, dia baik-baik saja. Kata Dokter Farah, dia sudah sembuh total. Makanya aku senang mendengarnya."
"Senang mengetahuinya. Jadi?"
"Dia boleh keluar. Aku fikir ingin mengajaknya duduk bersama kita. Sayang, oke?"
Sesaat aku terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Widad . Dia adalah suamiku dan tentu saja aku harus menyetujui apapun keputusannya. Jadi sulit juga jika aku mengatakan bahwa aku tidak setuju dengannya.
"Ermm, kamu yakin?"
"Apa maksudmu sayang?"
"Kita itu baru kahwin. Is it a wise idea to bring someone else to live together dengan kita?"
"Sayang, Gibran bukan orang lain. Dia adik ku. Jadi, pasti aku yang harus menjaganya kan?"
"Lyssabelle tahu itu tapi..."
Dia tersenyum sambil memegang erat tanganku. "Sayang, jangan takut. Aku tahu Gibran baik-baik saja. Hanya saja mungkin dia akan sedikit aneh. Tapi jangan takut sayang. Aku juga akan menjaga mu."
"Bukan itu maksudku, tapi...".
"Bolehkah? Gibran duduk bersama kita?"
Aku serba salah. Wajahnya memang mengharapkan aku untuk berkata 'ya' tapi aku sendiri tak pasti apa yang hendak dikatakan.
"Tidak buruk."
Saat itulah aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar...