Pagi itu, matahari terbit dengan sinar yang lembut di desa kecil tempat Adi tinggal. Dia terbangun dengan semangat, bersiap untuk hari baru di sekolah menengah atas. Rumah kayu mereka yang sederhana berserakan dengan buku-buku dan prototipe sederhana yang dibuat Adi dari barang-barang bekas.
Adi duduk di meja kayu di sudut ruang tamu, buku-buku tebal berserakan di sekelilingnya. Di hadapannya, sebuah pulpen dan kertas kosong menantinya untuk diisi dengan pemikiran dan ide-ide briliannya. Pak Budi dan Ibu Siti, yang sudah bangun dari pagi, memberikan senyum bangga pada anak laki-laki mereka yang cerdas.
"Sarapan dulu, Nak," ucap Ibu Siti sambil menyajikan nasi goreng di meja makan kecil.
"Terima kasih, Ibu," jawab Adi sambil menyelipkan buku catatan ke dalam tas sekolahnya. Di luar, suara ayam berkokok dan bau tanah basah setelah hujan semalam memberikan kehangatan khas desa.
Adi berjalan ke sekolah, tas sekolah yang diisi buku-buku tebal bergelantungan di bahunya. Di perjalanan, dia bertemu dengan Rani dan Dito yang sedang menunggu di depan gerbang. Mereka bercerita tentang mimpi mereka dan Adi dengan semangat menjelaskan ide-idenya untuk merubah pertanian di desa.
Tiba di sekolah, wajah Adi berbinar saat mendengar kabar bahwa Bu Maya telah mengajukan proposal beasiswa untuknya. Langkah awal menuju impiannya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya dan desa mereka telah diambil.
Di kelas, Adi duduk di bangku belakang, tetapi perhatiannya selalu tertuju pada papan tulis dan buku-buku di tangannya. Dia tahu, meskipun dunia di luar desa ini besar, dia membawa harapan dan mimpi dari rumahnya yang sederhana.