Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

NOTHING LIKE US

Yadil1_yadil
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4k
Views
Synopsis
...
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB SATU

"Tolong ampuni aku,"

"Tidak! kau tidak bisa di ampuni!" Gerald memukuli habis habisan pria yang kini tersungkur.

"Rasakan kau! Dasar bodoh!" tangannya meninju keras wajah pria bernama justin dengan keras.

"Tolong ampuni aku. Aku berjanji tidak akan salah lagi!" Justin memohon dengan wajah babak belur.

"Bodoh! Kau itu bodoh!" Teriak Gerald penuh amarah.

"Sebaiknya kau tidak perlu memperkerjakan dia lagi," ucap Lisa pacar Gerald dengan melihat jijik wajah Justin.

Mendengar itu wajah Justin berubah menjadi sinis. Ia sangat kesal sekali dengan perkataan Lisa.

"Tapi baru kali ini dia mengalami kesalahan. Ya menurut ku tidak fatal. Tapi aku cukup mengalami kerugian dua puluh persen," ujar Gerald berusaha berpikir jernih.

"Aku mohon Gerald. Aku janji tidak akan salah lagi dalam mengirim barang," kedua tangan Justin memegangi sepatu mengkilap milik Gerald.

"Karena selama ini pekerjaanmu bagus dan kau baru kali ini mengalami kesalahan. Jadi kau beruntung. Kau bisa aku ampuni," ucap Gerald dengan tegas.

"Terimakasih Gerald," ucap Justin lirih sambil melihat Gerald dan Lisa pergi.

Justin pemuda yang masih menduduki kelas tiga sekolah menengah ke atas itu hanya bisa terdiam. Ia tahu tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa bekerja pada Gerald. Karena gaji yang cukup besar. Meski resikonya tinggi.

Justin telah menjadi seorang pengedar narkoba sejak satu tahun lalu. Ia selalu saja mendapatkan bonus yang banyak dari Gerald. Ya karena memang kerjaan Justin selama ini memuaskan. Entah kenapa kali ini ia malah mendapatkan kesalahan. Mungkin karena sang nenek yang sedang mengalami sakit. Justin tidak bisa fokus untuk bekerja.

"Kau sudah pulang Justin," ucap sang kakek yang berada di depan tv.

"Ya ampun, kek kau belum tidur? Harusnya kau tidur lebih awal."

"Aku tidak bisa tidur Justin. Aku terlalu pusing memikirkan nenekmu yang sakit," kata kakek dengan wajah sedih.

"Kau tenang saja kek. Aku berjanji akan membawa nenek ke rumah sakit. Agar dia bisa segera di operasi," ucap Justin dengan yakin.

"Kita tidak mungkin bisa melakukan itu. Tidak ada uang untuk itu,"

"Aku akan bekerja keras kek. Kau tenang saja," kata Justin dengan tegas. Meski sebenarnya ia juga lelah dan pusing sekali memikirkan biaya sang nenek. Sang nenek mempunyai kanker di tubuhnya. Uang yang di berikan oleh pemerintah tidak cukup. Jadi ia harus bekerja lebih keras lagi.

***

"Ini adalah tahun ajaran baru. Sebenarnya aku sangat cemas. Karena ini adalah tahun pertamaku tinggal di Canada," ucap selena kepada sang mama.

"Ya tentu saja kau pasti meras cemas. Tapi ya itu pasti wajar sayang," Bea sang mama tersenyum manis sambil mengecup kening putri satu satunya itu.

"Oke baiklah, ibu akan berangkat. Karena ini sudah hampir terlambat. Kau baik baik ya di sekolah. Maaf ibu tidak bisa mengantarmu. Dah sayang," ucap Bea dengan buru buru.

Sang ibu selalu saja sibuk dengan pekerjaannya. Kadang Selena menjadi begitu kesal karena kesibukan sang ibu.

"Hati hati Bu," ucapnya dengan malas. Kini Selena melihat kepergian Bea. Setelah sebelumnya mencium pipi Selena.

"Selalu saja makan sendirian seperti ini," gerutu Selena sambil menusuk nusuk salad sayurnya dengan garpu.

"Ayah berangkat juga ya. Kau harus bisa jaga diri ya di rumah," ucap Deevno sambil mengecup kepala sang anak.

"Kau pulang jam berapa ayah?"

"Tidak tahu sayang, mungkin larut malam. Karena banyak sekali yang harus di kerjakan di kantor," ucap sang ayah dengan buru buru.

Selena hanya bisa menghela nafas dengan pasrah. Kini ia hanya sendiri di depan meja makan yang cukup besar. Apa yang diinginkannya mudah di capai. Tapi sayang sekali. Kasih sayang orang tuanya tidak cukup. Ia sering merasa kesepian di rumah.

Selena segera bergegas menuju ke halte. Ia akan segera pergi ke sekolah. Selena berharap hari pertamanya masuk sekolah akan baik baik saja.

Bus kini berhenti tepat di depannya. Ia segera masuk ke dalam bus. Saat bus melaju tiba tiba saja dari jendela Selena melihat seorang pria yang sedang berlari dan tangannya melambai lambai. Seolah menghentikan bus untuk berhenti.

"Berhenti pak supir. Ada penumpang di belakang yang mengejar bus!" teriak Selena dengan keras.

Bus berhenti dan kini Justin masuk ke dalam bus.

"Terimakasih banyak ya," ucap Justin tersenyum manis.

Selena hanya membalas senyum itu.

Pria dengan Hoodie berwarna kuning itu duduk di sebelah selena. Sementara Selena hanya melihat ke samping. Pemandangan di luar jendela membuatnya melamun. Ia ingin sekali bertanya kenapa wajah pria itu terlihat babak belur. Sepertinya sangat menyakitkan.

Saat bus berhenti di depan halte. Justin segera saja turun di ikuti Selena yang berada di belakangnya. Selena melihat pria yang di depannya itu. Ya, Justin kini masuk ke dalam sekolah.

"Ternyata dia sekolah disini? Sama sepertiku? " tanya selena di dalam hatinya.

Langkah gadis tinggi semampai itu belum berjalan lebih cepat hingga rambut panjangnya bergerak kesana kemari.

"Hei!" teriak Selena.

Kini Justin berbalik. Dahinya berkerut.

"Hai! Kau yang tadi di bus kan? Ada apa?"

"Maaf, aku siswa baru disini. Maukah kau membantuku? "

"Oh, iya hahaha itu sangat mudah. Kau ikut saja denganku," ucap Justin dengan ramah.

Mereka akhirnya berjalan bersama. Lapangan yang da di samping mereka berdua terlihat luas sekali. Langit yang cerah hari ini begitu indah.

"Namaku Selena," ucap Selena tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya. Tangan justinpun menyambutnya.

"Namaku Justin, kau tahu kan Justin Bieber? Aku sepupunya. Lihat saja wajahku? Mirip bukan?"

"Apa? Kau serius? Hahaha aku suka sekali Justin Bieber!" Seru Selena dengan antusias.

"Iya tapi aku bohong, aja kau tertipu," Justin menepuk lengan Selena dengan keras. Begitu terlihat akrab sekali. Ya, Justin memang gampang sekali akrab dengan seseorang.

"Kau membohongi aku?" mata selena membelalak.

"Iya ,ahahaha,"

"Ya Tuhan, aku kira kau benar benar sepupu Justin Bieber," ucap Selena dengan wajah cemberut.

"Hehehe maaf, aku memang suka bercanda,"

"Maaf, jika aku bertanya. Tapi kenapa dengan wajahmu? "

"Kau tahu kan? Aku adalah seorang laki laki. Jadi wajar ini terjadi. Ceritanya panjang, hahahaha,"

Mereka berdua menuju ke kelas. Selena tidak menyangka ia akan satu kelas dengan Justin. Entah kenapa Selena merasa sangat beruntung sekali bisa mempunyai teman seperti Justin.

"Kau duduk di sampingku saja ya," kata Justin sambil mengambil tas seseorang di kursi itu dan menaruhnya di kursi lain.

"Nah kursi ini sudah tidak ada pemiliknya. Kau duduk di sampingku saja," ucap Justin tersenyum lebar.

"Terimakasih banyak Justin, kau sungguh baik sekali,"

"Ya memang aku baik sekali sejak di ciptakan di dunia ini," kata Justin dengan percaya diri.

Mereka berdua duduk di kursi masing masing. Suasana kelas hanya beberapa orang saja.

"Untung saja kau bertemu denganku kalau saja kau bertemu orang lain di kelas ini. pasti kau akan meminta tolong kepada mereka dan ya mereka egois. pasti hanya aku yang bisa kau andalkan" ucap justi dengan percaya diri.

"sungguh? tidak mungkin. kau pasti berbohong lagi kepadaku" kata Selena kedua mata menyipit.

"kau ini trauma dengan apa yang aku ucapkan ya. hahaha" Justin tertawa dan kini ponselnya berdering.

Part 33

"sebentar ya" kata Justin dengan sopan. kini Selena mengangguk dan justinpun pergi keluar kelas.

"hallo? ada apa bos?" tanya Justin dengan suara lirih. karena ia tidak mau orang lain tahu bahwa dirinya adalah pengedar narkoba.

"pulang sekolah kau harus mengantarkan paket ke sebuah pinggir jalan gedung mall. kau harus berhasil. karena nominalnya cukup besar. kau pasti akan mendapatkan banyak keuntungan" ucap bos Gerald dengan tegas.

"tapi ini bukanlah jadwalku. hari in harusnya Josh yang harus mengantarkan" kata Justin dengan heran.

"Josh mendadak tidak bisa aku hubungi. hei bodoh! katanya kau ingin mendapatkan uang ang banyak untuk nenekmu yang sedang sakit. maka dari itu aku memilih tugas ini untukmu. kau mau tidak?"

"oke baikha pulang sekoha aku akan segera ke sana" ucap Justin dengan tegas.

Justin segera masuk ke dalam kelas dan mendapati Selena dan jeslyn sedang berbicara.

"dia untuk apa dia mendekati Selena? aku yakin pasti mereka hanya berpura pura saja lalu menjadikan Selena pengikutnya" kata Justin di dalam hati.

"

Justin bersegel dengan menyisir rambutnya ke belakang dengan satu tangan.

"apa dia temanmu Justin? kenapa dia duduk di sebelahku?" tanya jeslyn dengan gayanya yang menyebalkan.

"ya dia teman baruku. dia ana baru disini. untuk apa kau berbicara dengan Selena. aku tahu pasti kau ingin Selena mengikuti grupmu kan? lalu setelah itu kau menjadikan Selena budakmu. ya seperti teman temanmu itu. mereka mau maunya di suruh oleh kau" ucap Justin dengan sinis.

"soal! aku tidak mungkin sejahat itu. heh1 kenapa semenjak hubungan kita putus. kau jadi sangat membenci aku sekali. apa yang di lakukan olehku selalu saja salah di matamu" seru jeslyn dengan kesal.

"sudahlah kau tidak usah membahas itu" Justin mulai kesal.

"sebaiknya kita ke kantin saja" kata Justin sambil menarik lengan Selena. Selena hanya mengikuti mau Justin.

"hei! Selena! pikirkan lagi tawaranku itu ya!" seru jeslyn dengan berteriak melihat Justin dan Selena sudah ada di pintu keluar.

kini Selena melepas genggaman tangan Justin.

"oh maaf. aku hanya tidak ingin kau terlalu akrab dengan jeslyn" ucap Justin dengan serius.

"hah? kenapa? aku rasa dia sangat baik dan ramah sekali"

"kau itu akan tertipu dengan kebaikannya. mas lama kau juga akan di sakiti oleh jeslyn. maksudku dia sangat egois sekali" kata Justin dengan jujur.

"aku tidak mungkin menjadi pacar nelayan kan? maksudku mungkin jeslyn hanya akan bersikap egois dengan kau yang dulu adalah pacar jeslyn tapi ketika aku menjadi teman jeslyn. dia pasti akan bersikap baik kepadaku. lagi pula tawarannya untuk menjadi anggota cerlider itu membuatku tertari. aku sangat ingin mengikuti itu " ucap Selena tersenyum lebar.

"ya terserah kau saja" kata Justin dengan pasrah.

pulang sekolah setelahnya Justin dengan cepat berlari.

"anak itu bahkan tidak berkata apapun satpulang sekolah okelah mungkin dia buru buru sekali" kata Selena dengan heran.

kini Justin berlari dan menuju ke halte. tepat sekali bus berhenti. Ia segera saja masuk. Ketepatan waktu sangatlah amat penting untuk menjadi seorang penganut paket terlarang.

"Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku butuh uang untuk biaya nenekku," ucap Justin di dalam hatinya. Bus melewati jalanan dan berjalan terlalu lambat bagi Justin.

"Sial! Aku harus menunggu sampai kapan jika bus jalannya seperti ini," kata Justin dengan kesal. Ia segera saja turun di halte pertama. Segera saja kakinya berlari lagi. Ia berniat meminjam sepeda milik temannya di sebuah toko elektronik.

"David! Aku meminjam sepedamu sebentar!" seru Justin dengan keras. David kaget melihat Justin yang dengan cepat kilat memakai sepeda itu dan melaju kencang.

"Dasar Justin!" seru David pria berkaca mata itu dengan kesal.

Kini Justin melaju dengan cepat. Melewati deretan toko toko. Jalanan kota yang tampak sibuk itu hanya terlihat Justin yang begitu cepat mengendarai sepeda. Sampai di sebuah gang kecil ia segera bertemu dengan bos.

"Ini paketnya," Gerald memberikan paket kecil dengan kotak hitam.

"Aku hatus membawanya kemana?"

"Kau harus membawanya ke sebuah restoran yang ada di dalam mall," kata Gerald dengan yakin.

"Apa? Di tempat ramai? Kau yakin? Itu tidak mungkin Gerald," seru Justin dengan wajah heran.

"Iya karena memang pembeli aku adalah orang penting. Dia juga ingin semuanya berjalan dengan normal. Dia hanya ingin terkesan dia telah memesan sebuah jam padamu,"

"Baiklah aku akan atur itu,"

"Kalau begitu aku akan mengirim detailnya ke nomermu. Kalau begitu pergilah sekarang. Karena pembeli itu sudah menunggu," ucap Gerald dengan tegas.

"Baik bos," Justin dengan cepat menyimpan kotak itu ke dalam tasnya.

Ia seger keluar dari jalan itu. Sepeda melaju kembali bahkan saat lampu merah ia tetap melaju. Bus hampir saja menabraknya. Untung ia mengendarai dengan cepat.

"Ini dia sepedamu David! Terimakasih banyak!" teriak Justin dengan keras.

"Kau harus membayarnya!" Seru David dengan keras.

Justin yang mendengar itu kini dengan cepat pergi ke jalan lain. Melewati jalan kecil dengan berjalan cepat. Sebisa mungkin ia sampai di tempat tujuan.

Ponselnya kini berbunyi. Ia segera menuju ke toilet umum. Membaca pesan dengan detail. Mencermati setiap kalimat yang ada. Saat telah paham. Pria dengan mata hazel itu kini bergegas menuju ke tempat pertemuan dengan pembeli.

Terlihat restoran yang megah. Orang yang ada di situ pastilah orang orang kaya. Justin memikirkan cara bagaimana ia bisa masuk ke dalam. Akhirnya ia pergi ke toilet lalu merubah gayanya lebih keren lagi. Rambutnya sengaja di acak acak. Wajahnya memasang wajah sombong. Sementara itu ia melepas jaketnya dan menaruhnya di pundak. Bersikap benar benar seperti seorang model. Ia juga mengelap sepatunya dengan bersih menggunakan air.

"Oke baiklah! Aku siap berpita pura menjadi orang kaya!" ucapnya dengan percaya diri.

Ia masuk ke dalam dengan langkah kaki yang tak pernah putus asa. Melihat oranamen restoran yang begitu mewah membuat hatinya takjub. Semuanya berlapis emas. Sebenarnya ia ingin sekali menganga. Tapi ia berusaha untuk sesantai mungkin karena ia sedang bersikap menjadi orang kaya.

Part 34

"Oke baiklah, sepertinya

pembelinya ada di sebelah sana," kata Justin di dalam hatinya.

Ia melihat seorang yang berjas tapi dengan tas hitam kecil yang ada di meja. Itu adalah kode yang di kirim oleh Gerald.

"Ya Ampun!" seru pelayan wanita dengan kaget.

"Maaf, maafkan aku. Aku akan membantumu," ucap Justin dengan khawatir sekali. Kali ini ia benar benar melakukan kesalahan.

Semua yang ada di lantai itu berupa pecahan gelas.

"Aku bisa kena marah sama bosku," ucap gadis itu dengan wajah sedih.

"Sial! Aku harus bagaimana? Aku tidak punya uang untuk membayar kerugian ini," kata Justin di hatinya dengan cemas.

"Biarkan saja, nanti aku akan mengatakan ini pada bosmu," ucap seorang pria yang tiba tiba datang. Ya dia adalah pembeli barang yang di bawa oleh Justin.

"Terimakasih banyak tuan," pelayan wanita itu membungkuk sopan sambil pergi.

"Mari ikut denganku," kata pria terhormat itu kepada Justin.

Segera saja Justin mengikuti pria itu dari belakang.

"Syukurlah kali ini aku selamat," ucap Justin sambil mengelus dadanya.

Mereka berdua duduk dan saling berhadapan.

"Maafkan aku tuan. Ini benar benar salahku," ucap Justin dengan membungkuk dan menampilkan wajah bersalah.

"Tidak masalah. Baiklah, langsung saja. Apa kau adalah suruhan dari Gerald?" tanya pria itu.

"Ya benar sekali tuan, nama anda adalah Deevano, benar begitu?" tanya Justin dengan serius.

"Ya benar, saya adalah Deevano. Dan kau Justin. Benar?"

Justin kini mengangguk dan segera memberikan sebuah kotak berisi barang terlarang.

"Ini adalah barang paling bagus untuk pemula. Jangan lupa untuk pesan kembali. Semuanya pasti akan baik baik saja," kata Justin dengan ramah.

Deevano segera menaruh kotak hitam itu ke dalam tasnya.

"Oke baiklah. Tapi ngomong ngomong ini adalah pertama kalinya aku mengonsumsi barang terlarang itu. Sebenarnya aku sudah bingung lagi harus bagaimana. Tapi aku penasaran dan ya sungguh aku merasa pusing dengan semuanya. Kau tahu? Keluarga? Aku bahkan tidak merasakan bahwa aku mempunyai keluarga," kata Deevano dengan wajah bersedih.

Justin hanya mendengarnya saja. Sebenarnya ia sangat bosan dengan cerita itu. Karena mungkin ap yang dialami devanoo pasti lebih parah dari Justin.

"Sial, aku malas sekali harus mendengarkan curhatan orang ini," ucap Justin di dalam hatinya.

"Istriku sibuk terus bekerja. Sementara aku juga sibuk. Kau hanya mempunyai satu orang anak. Ya begitulah. Entah kenapa semuanya membosankan. Jadi aku mencoba memesan barang ini. Apa kau pernah mengonsumsinya? Bagaimana rasanya?"

Justin mengerutkan dahi mendengar itu.

"A-aku juga tidak tahu. Karena aku tidak pernah mengonsumsi barang itu. Baiklah kalau begitu mana uangnya?" tanya Justin dengan cepat.

"Aku kira kau sudah banyak mengonsumsi barang itu. Baiklah, ini uangnya," kata Deevano memberikan amplop coklat.

"Aku akan menghitung uangnya," ucap Justin dengan cepat. Ia cepat sekali menghitung uang itu. Karena sudah terbiasa.

"Baiklah ini sudah benar. Aku harap kau membeli barang ini lagi. Karena aku jamin. Pelayananku adalah yang terbaik. Terimakasih banyak pak. Saya pergi dulu," ucap Justin dengan terburu buru.

"Maaf karen aku akan ada yang harus di kirim lagi," kata Justin berbohong.

"Baiklah terimakasih banyak," ucap Deevano lalu kini Justin pergi.

"Akhirnya aku bisa mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Aku akan seger membawa nenek ke rumah sakit," ucap Justin dengan wajah berbinar.

Sampai di rumahnya. Pemuda dengan ransel di punggungnya itu seger masuk ke dalam kamar sang nenek.

"Tenanglah nek, kau pasti akan sembuh. Aku akan membawamu ke rumah sakit," ucap Justin tersenyum manis sambil mengelus punggung tangan neneknya.

"Justin, kemarilah," kata kakek yang ada di pintu kamar.

Justin menengok dan melihat kakek. Ia seger berdiri dan mendekat kepada sang kakek.

"Ada apa kek?"

Sang kakek menarik lengan Justin dengan cepat menuju ke dapur.

"Apa kau yakin akan membawa nenek ke rumah sakit? Kau punya uang?" tanya kakek dengan serius.

"Tentu saja aku punya uang. Aku Selama ini bekerja menjadi seorang pelayan di cafe. Setiap malam aku selalu bekerja keras. Kau tahu itu kek?"

"Ya sudah kalau begitu kau tabung saja uangmu. Lagi pula percuma saja. Pasti ketika masuk rumah sakit akan membutuhkan lebih banyak uang lagi. Uangmu akan habis untuk nenek, Sepertinya juga umur nenek memang sudah saatnya," kata Jonathan sang kakek.

Justin segera saja memukul wajah sang kakek.

"Kalau kau berani berkata seperti itu. Aku akan memukulmu lagi kek," ucap Justin dengan penuh amarah.

Jonathan membersihkan darah di sudut bibirnya.

"Dasar cucu bodoh!"

"Kau yang bodoh kek. Bukankah kau mengatakan cinta kepada nenek? Kenapa saat nenek sakit kau malah seperti ini?" tanya Justin berteriak. Membuat ruangan sangat mencekam.

Jonathan hanya menunduk. Ia sebenarnya sudah lelah. Putus adalah yang sekarang ia hadapi.

"Terserah kau saja Justin," ucap kakek dengan pergi meninggalkan justin. Ia menuju ke halaman belakang. Memotong kayu untuk perapian. Terlihat sekali wajahnya sangat suntuk.

"Ada apa Justin?" tanya sang nenek dengan lirih.

"Kenapa ada ribut ribut?"

"Semuanya baik baik saja nek," Justin mengelus kening sang nenek dengan lembut.

Saat malam hari Justin tidur di sofa yang sengaja ia taruh di dalam kamar sang nenek. Barbara adalah seorang nenek yang begitu menyayangi Justin. sehingga saat Barbara sakit, Justin melakukan apapun untuk Barbara.

"Ya ampun nek, kau kenapa?" Tanya Justin dengan khawatir.

Hembusan nafas Barbara terlihat sulit.

"Aku sesak nafas," ucap barbara dengan memegangi dadanya.

Justin terlihat bingung sekali.

"Tolong bawa aku ke rumah sakit. aku tidak kuat lagi," Barbara terlihat begitu lemah. Wajah keriputnya sangat kasihan.

"Ba-baiklah nek," Justin segera membangunkan Jonathan yang ada di ruang tengah sementara televisi masih menyala. Tangan Justin dengan sigap mematikan televisi itu.

"Kakek bangunlah, aku akan membawa nenek ke Rumah sakit sekarang juga," ucap Justin dengan keras.

"Apa kau serius? " Kakek bangun dengan cepat.

Kini mereka membawa Barbara ke rumah sakit. Mereka sangat cemas sekali melihat kondisi Barbara.

"Kau harus kuat nek. Aku akan selalu ada di sampingmu," ucap Justin dengan wajah sedih.

Kini sang nenek segera di bawa ke dalam ruangan. Dokter mengatakan jika harus di pindah ke ruangan khusus dan itu membutuhkan banyak uang.

"Langsung saja bawa nenekku ke tempat terbaik di rumah sakit ini! Aku akan membayarnya berapapun yang kalian mau!" Kata Justin dengan tegas. Membuat orang orang menatapnya.

Dengan cepat kini sang nenek di bawa ke ruangan khusus. Tetapi petugas rumah sakit masih saja memperdebatkan jika Justin tidak punya banyak uang.

Sampai Justin kini melihat dari jendela bahwa sang nenek sedang sekarat. Segara saja Justin meminta dengan cepat petugas kesehata untuk masuk ke dalam ruangan.

"Cepat selamatkan nenekku!" ucap Justin dengan lantang.

Ia melihat sang nenek yang sedang berjuang menahan rasa sakit. Sementara beberapa petugas berusaha menyelamatkan nyawa Barbara.

"Bertahanlah nek," tenggorokan Justin seakan tercekik. Ia sangat sedih sekali.