"SENIOR!!"
"NINAAA!!"
Terdengar teriakan dua orang yang tiba-tiba saja berlari ke arahku dengan terburu-buru.
Aku mengingat kedua orang ini. Dua orang wanita yang ada di hadapanku saat ini adalah dua wanita yang sama yang kemarin aku tolong. Seorang gadis dengan rambut pendek berwarna hijau dan seorang gadis pirang dengan gaya rambut ponytail.
"Terima kasih buat yang kemarin malam-nina!"
Salah satu dari mereka yang berambut hijau berterima kasih padaku untuk ke sekian kalinya.
"Semua berkat buff dari senior, kami berhasil mengarahkan para bandit dengan sangat mudah!"
Gadis lainnya dengan rambut ponytail berkata dengan mata penuh dengan bintang.
Serius, apa mereka harus se-heboh ini?
Aku pikir aku hanya memberi mereka sihir buff rendah pada mereka. Aku hanya meningkatan streght, speed dan defence mereka saja, itu adalah buff normal yang biasa di berikan oleh priest atau priestess.
"Syukurlah kalau kalian dapat mengalahkan para bandit itu." Aku berkata dengan senyuman yang sedikit di paksakan.
"Sesampainya di Donpapa, kami akan traktir Senior manakan apa saja-nina!" Si rambut hijau berkata.
"Ah, tidak usah. Lagi pula sudah pekerjaan seorang priestess membantu orang yang membutuhkan."
"Tapi kami pengen balas budi, jadi biarkan kami memberikan sesuatu-nina!" Si rambut hijau terus bersikeras.
"Kalau begitu antarkan saya dan para penumpang lainnya sampai di desa Donpapa dengan selamat!"
"Eh? Kami serius-nina!" Si rambut hijau masih tidak mau kalah.
"Saya juga serius!" Aku tersenyum paksa karena ingin mereka untuk cepat meninggalkanku sendiri.
"Saya mengerti! Ayo kita bicarakan ini nanti!" Si rambut pirang yang terlihat lebih dewasa mengerti dengan keadaanku dan mulai meyakinkan temannya untuk membiarkanku sendiri.
"Kalau begitu saya permisi." Aku ingin sesegera mungkin untuk mengambil sarapan dan kembali melanjutkan penelitianku tentang gulungan yang di tinggalkan nenek waktu itu.
"Sebentar-nina!" Wanita berambut hijau kembali memanggilku. "...Maaf kalau Nina meremehkan Senior kemarin... Nina..." Dia berkata dengan ekspresi sedih dan dia menunduk menghindari tatapan mataku.
Sepertinya dia merasa bersalah dengan yang dia katakan kemarin malam. Dia menganggapku tidak berguna sama seperti pahlawan Ramos dan para orang-orang dari Ibukota lainnya. Memang dalam pertarungan satu lawan satu aku mungkin tidak diunggulkan, tapi aku sangat baik dalam memberi support. Kedua gadis ini juga sepertinya terkesan dengan yang aku lakukan pada mereka.
Waktu bersama dengan Ramos, bahkan sejak pertama kali bertualang Ramos selalu komplain karena aku tidak bisa mengalahkan monster sendiri. Padahal aku sangat mahir mencari tanaman herbal yang membuat party kita tidak kekurangan uang saku.
Setelah mengobrol sedikit dengan mereka, kedua gadis itupun kembali berkumpul dengan teman-teman mereka untuk kembali mengawal kereta yang aku tumpangi.
"Baiklah, ayo kita lanjutkan meneliti gulungan ini!" aku meyakinkan diriku sendiri.
Setengah jam kemudian kereta kuda kembali berjalan.
Aku duduk di dalam kereta tepat di hadapan sepasang nenek dan kakek. Mereka tampak sangat rukun dan mesra walaupun umur mereka sudah lanjut.
"Nona, maaf kalau lancang. Apa urusan nona pergi ke desa kecil seperti Donpapa?" Si nenek bertanya.
"Ah, saya pergi untuk meneliti sesuatu."
"Oh, jadi anda seorang peniliti?" Sang Kakek bertanya kembali. "Apa yang anda teliti di sana?"
"Ah, hanya penilitian tentang ruruntuhan di dekat desa."
"Ah, reruntuhan itu! Orang tua saya bilang tempat itu sangat terkutuk, jadi jarang ada warga desa yang datang ke sana." Nenek.
"Oh, Aku jadi ingat kalau dulu sekali pahlawan muda datang ke reruntuhan itu dan kemudian kembali pulang dengan wajah pucat." Kakek.
Kakek itu menyinggung pahlawan muda, tapi kemungkinan yang dia maksud bukanlah Ramos. Karena di Kerajaan Celestial ini ada enam pahlawan lain yang melindungi kerajaan ini sama seperti Ramos. Jadi itu kemungkinan salah satu dari mereka.
"Heh? Memang ada monster kuat di sana?"
"Saya tidak tahu, tapi melihat ekspresi pahlawan, sepertinya tempat itu memiliki penjaga yang mengerikan."
Haah, aku mencium masalah. Sepertinya aku harus menggunkan Teknik Penyamaranku.
"Tidak perlu khawatir, aku punya kemampuan untuk menyembunyikan diriku sendiri." Kataku untuk menenangkan mereka.
"Kalau begitu, kalau nona tidak keberatan terimalah pemberian dari kami." Sang kakek menunjukanku sebuah botol Wine.
"Apa ini?"
"Ini adalah produk unggulan kami."
"A-ah... Terima kasih." Aku menerimanya.
Berapa jam kemudian, akhirnya aku sampai di desa Donpapa.
"Akhirnya aku tiba!"
Setelah berteriak seperti itu, hal pertama yang ku lakukan adalah pergi ke penginapan untuk menyimpan barang-barangku. Setelah itu aku pergi ke Kantor Guild petualang terdekat untuk melapor kalau aku akan melakukan penelitian di Reruntuhan Donpapa.
"Oh, kamu mau melakukan penelitian reruntuhan Donpapa?" Seorang resepsionis perempuan berambut perak bertanya.
"Ya."
"Maafkan aku tapi, Lily, apa yang sebenarnya kamu cari di tempat itu?" Seorang pria berbadan besar dengan rambut buzzcut bertanya khawatir.
Kedua orang ini adalah kenalanku yang aku ceritakan sebelumnya. Walaupun aku bilang mereka kenalanku, kenyataan aku hanya mengenal mereka saja. Selain nama dan fakta kalau mereka sudah menikah, aku tidak tahu apapun tentang mereka berdua. Tapi aku pikir mereka bukan orang yang jahat.
"Hanya sesuatu tentang teknologi sihir kuno dan lain-lain. Maaf, saya tidak bisa menjelaskannya karena proyek ini tergolong rahasia. Nanti akan saya ceritakan kalau penelitian saya sudah selesai." Aku mencoba untuk membohongi mereka.
Teknologi Sihir Kuno? Apa itu? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku katakan.
"Apa kamu tidak takut?"
"Tenang saja, saya bisa menggunakan sihir penyamaran. Jadi aman!" Jawabku penuh percaya diri.
"Aku tahu kamu kemungkinan bisa melakukan itu, tapi apa kamu yakin akan pergi sendirian?"
"Ya."
Mereka berdua saling bertatapan dengan ekspresi khawatir. Sepertinya mereka mengkhawatirkanku yang akan pergi ke tempat berbahaya itu sendirian. Mau bagaimana lagi, malahan akan jadi masalah kalau aku datang dengan orang yang lebih kuat dariku. Level kesulitannya akan menjadi lebih tinggi dan aku semakin sulit untuk menggunakan sihir.
Bagaimanapun reruntuhan Donpapa termasuk dalam Dungeon Unik yang level kesulitannya dapat berubah berdasarkan rata-rata level orang yang ada di dalam reruntuhan itu. Dengan tetap menjaga level monster lebih rendah dariku, penyamaranku akan lebih ampuh mengelabui para monster.
"Kalau begitu aku mengerti... Tapi pastikan kamu pulang dengan selamat!" Akhirnya Si bapak ketua guild menyerah.
"Terima kasih!"
Setelah aku mendapatkan surat izin untuk pergi keluar dari desa aku langsung berlari menuju reruntuhan itu.
Sesampaiya di reruntuhan, akupun langsung melihat peta yang ada di dalam gulungan sebelumnya. Dengan sihir penyamaran yang aktif, aku langsung menjelajahi reruntuhan.
Seperti yang ku duga, aku bisa dengan mudah melewati para monster tengkorak penjaga reruntuhan itu tanpa diketahui. Sekitar lima belas menit berjalan di lorong reruntuhan yang hampir ambruk ini dan akhirnya aku sampai di depan pintu dengan gambar mata yang terpahat di pintu tersebut.
"Sepertinya ini tempatnya."
Di dalam pintu itu aku melihat ruangan yang cukup besar dan di ujung ruangan aku bisa melihat ada sebuah kolam kecil. Perlahan aku berjalan ke tengah-tengah ruangan tersebut.
Aku melihat ada gambar yang sama seperti yang ada di dalam gulungan sihir pada lantai ruangan itu.
"Baiklah, ayo kita coba!"
Cara pemanggilan mahluk dari dunia lain cukup mudah, syaratnya hanya satu; Jobmu harus Summoner. Selain itu ritual ini membutuhkan darah segar dari summoner untuk di jadikan persembahan awal untuk memanggil mahluk.
Aku menyayat pergelangan tanganku dan darah mengucur cukup deras. Sampai saat aku pikir jumlah darah sudah cukup, akupun menggunakan sihir heal untuk menutup lukaku kembali.
"Baiklah saatnya mengucapkan Mantra!"
Sekarang pertunjukan utama di mulai!
Aku meletakan tanganku di ujung gambar lingkaran yang telah aku lumuri dengan darahku. Perlahan aku menutup mataku dan mulai mengalirkan orb dalam soulku menuju ke telapak tanganku.
"Dengan Kekuatan Sang Dewi, Saya Lilyana Nevertari, dengan ini memanggil kalian dari ujung semesta. Dengan darah suci yang mengalir dalam tubuh ini, saya memanggil kalian! Teknik Terlarang : Otherworldly Summoning!"
Zing!
Gambar di lantai itu menyala saat aku mengalirkan Soul-ku. Semakin banyak aku mengalirkan soul milikku maka cahaya itu semakin terang.
Aku jadi mendapatkan ide gila!
'Bagaimana kalau aku mengalirkan seluruh Soul-ku?'
AKAN AKU COBA!
ZRIIING!
Cahaya semakin lebih terang hingga aku harus menutup mataku. Keringat dingin mulai mengucur membasuhi seluruh wajah dan tubuhku. Seperti yang kuduga, ini sangatlah melelahkan.
Lima menit kemudian akhirnya aku merasa kalau orbs di dalam soul milikku sudah terkuras habis. Dengan nafas yang terengah-engah aku mengakhiri ritual ini.
Dengan badan yang penuh peluh dan hampir tidak bisa ku gerakan, aku membuka mataku perlahan dan aku melihat ada seseorang di hadapanku. Seorang perempuan berkulit kecoklatan dengan rambur berwarna merah seperti darah.
Siapa itu?
Dewi?
Ah, itu sepertinya mahluk yang ku panggil dari dunia lain.
"A-aku berhasil..."