Adapun ajaran akhlak tasawuf tentang ini, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary tdah menulis dalam Kalam Hikmahnya yang ke-19, yaitu:
"Jangan anda tuntut (mohon) dari Allah, bahwa Ia mengduarkan anda dari sesuatu hal (ketentuan) supaya Ia memakai anda pada hal yang lain. Maka jikalau Ia menghendaki anda, sungguh Ia memakai anda tanpa mengeluarkan dari hal semula."
Pengertian Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa bila kita telah ditetapkan Allah s.w.t. pada sesuatu hal, apakah sifatnya duniawi seperti berdagang, bekerja di pabrik-pabrik, bertani dan lain sebagainya; atau agamawi seperti belajar ilmu agama. Kemudian hal keadaan yang telah dikurniakan Allah Ta'ala kepada kita itu, tidak sesuai dengan maksud kita, karena menurut anggapan kita bahwa hal keadaan itu menghalang-halangi kepada ibadat dan lain-lain. Dalam hal ini, kita tidak boleh ada tujuan untuk keluar dari hal keadaan di atas, dan lantas menentang hukum waktu sebagai yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. Tetapi kita dianjurkan supaya tetap istiqamah pada ketentuan-ketentuan yang telah dikurniakan Allah Ta'ala kepada kita.
Kita dianjurkan demikian karena ada tiga pandangan yang tak dapat tidak harus kita fikirkan sedalam-dalamnya:
[A] Hendaklah kita menyerahkan diri kita kepada Allah s.w.t. pada segala kehendak yang dikehendaki oleh Nya. Dengan demikian maka hati tenang dan kita tidak capai memikirkan segala sesuatu di luar ketentuan yang telah diberikan Allah s.w.t. kepada kita. Jasmaniah kita tenang dan tidak capai, juga jiwa kita tidak gelisah dari segala macam perubahan-perubahan dunia dan kesukaran-kesukaran mengatur segala sesuatu yang kita hadapi. Karena itu semakin mendalam tawakkal kita kepada Allah dan penyerahan kita kepada yang Maha Kuasa, maka segala kesulitan di dalam hidup dan kehidupan ini, Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala dapat kiranya kita atasi.
[B] Kita harus melaksanakan hak 'ubudiyah atau hak kehambaan kita kepada Allah dengan jalan ridha pada segala ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaranNya. Kita selaku hamba Allah yang kebetulan ditentukan Allah sebagai pedagang misalnya, ketentuan Allah ini harus kita terima dengan ridha, yakni kita senang menerimanya, dan kita jalankan pekerjaan kita dengan ajaran-ajaran agama demi melaksanakan hak kehambaan kita kepadaNya.
[C] Istiqamah pada ketentuan yang diberikan oleh Allah kepada kita, adalah menjaga diri kita supaya kita tidak memikirkan hal yang lain di luar apa yang sedang kita hadapi. Karena apabila kita tidak istiqamah dan lantas menghendaki ketentuan lain dari ketentuan yang telah diberikan Allah kepada kita, maka andainya jika Allah memberikan ketentuan lain dari yang telah kita kehendaki, jasmaniah kita tidak sihat atau jiwa kita tidak tenteram. Jadi kita tetap saja dengan istiqamah pada apa yang telah diberikan Allah Ta'ala kepada kita, asal saja tidak bertentangan dengan ajaran agamaNya demi kesihatan dan keselamatan jiwa kita.
Hal keadaan di atas dapat dilihat pada contoh kejadian yang telah terjadi pada seorang laki-laki zaman dahulu. Dia memohon kepada Allah s.w.t. dengan permohonan jikalau sesungguhnya aku meninggalkan semua pekerjaan dan diberikan kepadaku setiap hari dua buah roti, maka aku akan dapat mdepaskan diriku dari kecapaian dan keletihan pekerjaan-pekerjaan, dan tentulah aku akan menjurus dalam mengerjakan amal ibadah semata-mata.
Kemudian tiba-tiba dia ditahan oleh Polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Maka di dalam penjara itu kepada dia diberikan setiap hari dua buah roti. Sebulan dua bulan ia dalam penjara, ia pun berfikir tentang keadaan selanjutnya, tiba-tiba kemudian ia mendengar suara yang tersembunyi dalam penjara itu berkata: "Sesungguhnya engkau telah memohon kepada Kami supaya diberikan setiap hari dua buah roti, tetapi engkau tidak memohon kepada Kami kesihatan, karena itu permohonanmu Kami perkenankan sesuai dengan apa yang kamu mohonkan." Setelah mendengar suara itu ia pun taubat pada Allah, memohon keampunanNya. Tiba-tiba dengan takdir Allah, pintu penjara dibuka dan dia dikeluarkan dari dalamnya. Dari kejadian ini kita ambil pengertian, bahwa kita hendaknya berlaku adab dan sopan santun kepada Allah s.w.t. Jangan kita bermohon kepada Allah supaya Allah mengeluarkan kita dari sesuatu yang telah ditentukanNya pada kita untuk supaya Allah menjadikan kita pada sesuatu ketentuan yang lain.
Hal keadaan ini tidak dibolchkan apabila ketentuan yang telah diberikan Allah kepada kita sesuai dengan ajaran agama kita. Karena itu kita harus bersabar pada apa yang telah diberikan Allah Ta'ala pada kita. Karena apabila kita tidak sabar dan Tuhan mengabulkan apa yang kita kehendaki, karena menurut kehendak kita pada tercapai cita-cita kita itu kita boleh kaya dan tenang, tetapi rupanya kita lebih celaka dan mendapat kesukaran di sana-sini, bahkan boleh mengganggu kesihatan fisik kita dan ketenteraman jiwa kita, tentulah hal keadaan ini tidak kita kehendaki.
2. Apabila hal keadaan kita pada apa yang kita hadapi di dalam hidup dan kehidupan kita, tidak sesuai dengan ajaran agama kita, agama Islam yang suci murni, maka wajib atas kita keluar dengan cepat dari hal keadaan yang bertentangan dengan agama kita, di samping bermohon kepada Allah s.w.t. supaya usaha kita itu berhasil dan kita betul-bctul dikeluarkan oleh Allah dengan izinNya dari ketentuan yang tidak baik itu sesuai dengan keridhaanNya.
Dalam hal ini pada hakikatnya kita tidak menentang hukum waktu tetapi kita menjalankan perintah Allah pada menjauhkan laranganNya bahkan terhindar pula sama sekali segala sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama kita, tetapi jangan lupa bermohon pada Allah supaya Allah mengeluarkan kita dari hal-hal yang tidak baik, dan masuk pada hal-hal yang tidak baik, dan masuk pada hal-hal yang baik. Kita tidak boleh mendikte Allah, tetapi kita harus adab kepadaNya dengan mendahulukan keridhaanNya atas kehendak kita sebagai hambaNya. Dengan demikian kemungkinan besar Allah s.w.t. akan memberikan jalan keluar yang baik menurut kehendakNya, dan kita tetap pada ketentuan Allah yang telah diberikan pada kita sesuai dengan keridhaanNya dan tidak menyalahi ajaran agamaNya. Sedangkan di samping itu segala maksud dan cita-cita kita yang baik disampaikan pula olehNya.
Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Inilah maksudnya dari beberapa syair sufi sebagai berikut:
Hendaklah anda pada sesuatu yang dituntut (oleh Allah pada anda) tanpa memohon yang lain, karena itu ridhalah dengan hukum Allah dan lazimilah adab sopan santun (kepadaNya).
Dan jika hawa tabiat yang telah mendirikan anda pada pekerjaan yang bertentangan dengan syarat agama.
Maka cepat-cepatlah keluar, jangan anda menunda-nundanya, dan potonglah dengan pedang kemauan yang kuat seluruh dinding (yang menghambatnya).
3. Apabila kita menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dengan menerima secara ikhlas dan ridha pada ketentuan yang telah diberikan olehNya, kepada kita; lnsya Allah Dia akan memberikan faedah-faedah yang terkumpul padanya dan juga nikmat, di mana kita berbahagia karenanya.
Apabila kita berada di maqam asbab, yakni keadaan di mana kita harus berusaha dalam menghadapi hidup dan kehidupan, maka di samping status ini, kita pun diberikan pula oleh Allah s.w.t. nikmat tajrid, yakni kurnia Allah yang diberikan semata-mata olehNya tanpa usaha.
Demikian pula sebaliknya, yaitu apabila kita diletakkan Allah di maqam tajrid, yakni pada keadaan di mana pada umumnya segala sesuatu dimudahkan Allah kepada kita tanpa memikirkan usaha-usaha pada memperolehnya, tetapi rupanya di samping nikmat yang telah Tuhan berikan itu, Allah s.w.t. memudahkan pula inaqam asbab pada kita; hal keadaan ini tidak lain adalah laksana bunga-bunga hiasan saja di dalam hidup dan kehidupan kita secara duniawi ini.
Contoh pertama dapat kita lihat, yaitu beberapa banyak orang-orang kaya dengan hasil usahanya sehingga ia kaya-raya tetapi kekayaannya tidak menyibukkan dirinya sehingga ia tidak jauh dari agama Allah. Waktunya selalu lapang dalam ibadah dan menjalankan ajaran agama di samping usahanya tidak macet, karena dia terus memimpin usahanya sehingga maju sedemikian rupa. Ini adalah contoh orang yang telah ditetapkan Allah di maqam asbab, tetapi diberikan pula nikmat tajrid.
Mengenai ini ada satu riwayat tentang seorang alim sufi yang bernama Sahl bin Abdullah Tastury r. a. Beliau berkata: "Tatkala mereka menyerahkan saya bekerja di suatu kantor, maka saya pun bekerja sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan yang telah diserahkan kepada saya. Dalam saya mengerjakan tugas terjadilah kontradiksi antara hati dan pekerjaan saya. Apabila hati saya muraqabah kepada Allah s.w.t. (melihat Allah dalam maqam ihsan), maka terjadilah kesalahan-kesalahan pada pekerjaan saya. Dan jika saya menjuruskan perhatian saya pada pekerjaan, maka sia-sialah hati saya (karena lupa pada Allah s.w.t.). Kemudian saya bermohon kepada Allah s.w.t. supaya Allah mengumpulkan antara keduanya pada diri saya, yakni hati tidak lalai pada Allah sedangkan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian Allah memperkenankan permohonan saya dan lantas terkumpullah keduanya.
Adapun orang yang berada di maqam tajrid, tetapi dikurniakan pula oleh Allah nikmat asbab sebagai bunga dalam hidupnya di dunia, misalnya ialah: berapa banyak kita melihat orang-orang alim yang saleh dan mengerjakan ajaran agama Allah semata-mata ikhlas kepada Allah s.w.t. Banyak orang-orang alim atau kiyai-kiyai besar misalnya, tetapi yang betul-betul kiyai mereka tidak berusaha seperti orang-orang berusaha, mereka tidak berdagang sebagai pedagang, tidak bertani sebagai petani, tidak sibuk mencari nafkah dalam hidupnya, tetapi mereka dikayakan Allah s.w.t. sehingga mempunyai harta sebagai pedagang besar dan sebagai orang kaya-raya. Pada lahirnya tidak ada asbab yang dikerjakannya selain mengajar dan menyebarluaskan ajaran agama Allah kepada ummat manusia. Mereka tidak meminta upah atas pekerjaannya, mereka tidak mencari dunia dengan perjuangannya dan mereka tidak mencari megah dengan jihad dakwah agamanya selain untuk agama Allah agar ummat manusia terpetunjuk kepada jalanNya. Inilah usaha mereka yang kita lihat secara lahir, tetapi karena keikhlasan mereka yang betul-betul kepada Allah s.w.t., maka segala sesuatu dimudahkan Allah, sehingga melebihi dari ukuran lahiriahnya.
Maka kedua macam manusia di atas adalah hamba-hamba Allah yang selalu dalam pimpinanNya, sehingga mereka tidak ada maksud dan keinginan kepada hal-hal lain selain hanya cukup baginya ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan olehNya kepada hamba-hambaNya itu. Inilah orang-orang di mana Allah sendiri yang memberikan jalan keluar dari kesukaran yang telah ditentukan Allah kepadanya, oleh karena Allah telah memberikan kelapangan kepada hamba-hambaNya itu.
Kesimpulan:
Apa yang telah ditentukan Allah s.w.t. atas kita, asal sesuai dengan ajaran agama kita, apakah sifatnya dunia atau agama maka patuhilah itu. Dan jangan ada ragu-ragu dalam hati, seolah-olah yang lain itu adalah lebih baik dan lebih sempurna. Apabila ragu-ragu bahkan memutuskan bahwa yang lain adalah lebih baik, berarti kita mendikte Allah s.w.t. dan ini adalah tidak sopan dan biadab kepada Tuhan yang Maha Bijaksana. tetapi apabila keadaan kita itu tidak sejalan dengan ajaran agama, maka wajib kita keluar daripadanya di samping bermohon pada Allah supaya Allah mengeluarkan dan memindahkan kita pada ketentuan-ketentuan yang baik.
Tetap sajalah menjaga dan memelihara ketentuan Allah yang tidak bertentangan dengan agama. Apabila hal ini kita jaga dengan baik, dan kita memelihara dengan sebaik-baiknya sambil bertawakkal dan ikhlas yang sempurna pada Allah s.w.t., maka segala kesempitan-kesempitan yang kita hadapi di dalamnya, Insya Allah Tuhan yang Maha Bijaksana akan memberikan jalan keluar dari kesempitan yang kita hadapi tanpa mengeluarkan kita dari ketentuan yang telah ditentukan olehNya pada kita.
Mudah-mudahan ajaran yang baik ini diizinkan oleh Allah s.w.t. pada kita untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, sehingga kita betul-betul menjadi hambaNya yang beradab dan sopan kepada Allah s.w.t. Tuhan kita yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Amin.