Chereads / AL HIKAM / Chapter 26 - Kebahagiaan Yang Hakiki Adalah Tawakkal dan Kembali Kepada Allah

Chapter 26 - Kebahagiaan Yang Hakiki Adalah Tawakkal dan Kembali Kepada Allah

Apabila Kalam Hikmah yang lalu menegaskan pada kita, bahwa dunia ini tidak sunyi dari kekeruhan-kekeruhan, tidak sunyi dari segala sesuatu di mana pada umumnya tidak sejalan dengan kehendak kita, kemauan dan keinginan kita, tetapi kita selaku mahkluk Allah yang dijadikan olehNya mempunyai akal dan fikiran, mempunyai hati dan perasaan dan juga mempunyai cita-cita dan maksud-rnaksud suci yang dipandang baik oleh akal dan perasaan kita.

Bagaimanakah kita akan sampai kepada tujuan dan cita-cita, tercapai dengan segera, di mana dengannya kita merasa bahagia; untuk mengetahui jalannya, yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-25 sebagai berikut:

"Tidak akan terhenti sesuatu tujuan (apabila) anda menuntutnya (menghasilkannya) dengan Tuhan anda. Dan tidak akan mudah suatu tujuan jiika) anda mencarinya dengan diri anda."

Kalam Hikmah ini mengandung makna-makna sebagai berikut:

*1. Segala cita-cita yang tercita dalam hati, maksudnya cita-cita yang baik, tidak akan sampai tanpa ada usaha. Berusaha untuk menghasilkan cita-cita itu apabila kita ingin supaya berhasil dengan mudah hendaklah di samping usaha itu kita harns berpegang kepada Allah s.w.t. Yakni hati kita tidak lupa kepadaNya, mudah-mudahan Dia mengizinkan tercapainya maksud dan tujuan kita itu.

Tetapi apabila kita mencapai cita-cita itu dengan semata-mata berpegang kepada kepandaian kita, kesungguhan dan ketekunan kita, yakni hati kita lupa dan lalai kepada Allah s.w.t. Maka yakinlah, bahwa akan timbul di sana-sini kesulitan-kesulitan, kemacetan-kemacetan dan kesukaran-kesukaran. Dalam hal ini sama saja, tidak ada perbedaan tentang maksud dan cita-cita, apakah sifatnya keagamaan atau keduniawian yang membawa kepada kebaikan.

*2. Arti mengejar cita-cita dengan Allah Ta'ala ialah, menyandarkan diri kita kepadaNya, tegasnya menyerahkan segala sesuatunya ada Dia demi untuk mudah mencapai maksud dan tujuan. Atau dengan kata lain, demi terlaksananya apa yang dicita-citakan. Untuk itu tak dapat tidak harus ada pada kita tiga syarat:

1. (Attafwiidhufil muraadi).

Yakni menyerahkan kepada Allah maksud dan tujuan atau cita-cita yang kita tekadkan. Serahkanlah kepada Allah maksud dan tujuan itu, apakah baik di sisi Allah atau tidak. Jika baik padaNya semoga disampaikan olehNya dan jika tidak maka tidak. Hendaklah kita lepaskan diri kita dan hati kita dalam menentukan pilihan dan kita serahkan kepada Allah, meskipun kita berusaha untuk mencapai tujuan yang kita maksudkan.

2. (Attawakkulu fit tahshiili).

Tawakkal clan menyerah kepada Allah bagaimana menghasilkan maksud dan cita-cita. Meskipun kita berusaha dengan tenaga dan jalan-jalan yang kita hadapi, tetapi hati kita menyerah kepada Allah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana sebaiknya mencapai maksud dan tujuan kita itu. Sebab kita tidak tahu, mungkin jalan-jalan yang sedang kita hadapi itu tidak membawa hasil untuk mencapai tujuan dan cita-cita. Kegagalan adalah suatu kerugian, karena kegagalan tidak kita kehendaki. Berhasil kepada tujuan, itulah yang kita maksudkan. Tetapi pada hakikatnya kita masih belum tahu jalan apakah yang sebaik-baiknya untuk kita mencapai tujuan dan cita-cita itu. Karena itu kita harus bertawakkal kepada Allah, supaya Allah memberi petunjuk kepada kita jalan yang diridhaiNya demi untuk sampai kita kepada-tujuan dan cita-cita.

Dalam hal ini kita teringat kepada wasiat Luqman Al-Hakim kepada puteranya.

Luqman berkata:

"Dan dari keimanan kepada Allah Azzawajalla adanya tawakkal kepada Allah, karena sesungguhnya bertawakkal kepada Allah membawa cinta Allah pada hambaNya. Dan sesungguhnya menyerahkan diri kepada Allah adalah datang dari petunjukNya. Dan dengan petunjuk Allah itu bersesuaian (si hamba) dengan keridhaan Allah Ta'ala berarti membawa si hamba itu dengan pasti kepada kemuliaan yang dikurniakan Allah." (Qutul-Quluub Fii-Mu'aamatil Mahbubi Wawashfi Thariiqil Muriidi llaa MaqaamitTauhiid, oleh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin Athiyyah Al-Haritsi AI-Makki, juz II hal 4 percetakan Musthafa Al‑Halaby Mesir).

Wasiat Luqman ini menerangkan kepada kita dengan jelas, bahwa pokok utama: Allah s.w.t. mencintai seseorang hambaNya apabila si hamba itu bertawakkal kepadaNya. Menyerah diri kepadaNya berarti hidayat dan petunjuk daripadaNya. Apabila Allah s.w.t. telah memberi petunjuk pada kita, maka kita akan tawakkal kepadaNya. Kalaulah Allah Ta'ala mencintai kita, berarti Dia telah meridhai kita, dan keridhaan Allah adalah pangkal utama pada hamba untuk mencapai kemuliaan.

3. (Al-Istiqqaamatu fit-tawajjuhi)

Betul dan tetap dengan kontinyu pada menghadap hati kepada lah dalam setiap gerak-gerik kita, tindak-tanduk kita dan apa pun akan kita perbuat, lebih-lebih dalam mengerjakan amal ibadat.

Lidah, hati dan perbuatan jasmaniah kita adalah sejalan. Tegasnya ingat kepada Allah di samping hati kita mengikuti apa yang sedang kita baca, serta perbuatan yang sedang kita kerjakan.

Apabila tiga syarat telah ada pada kita, maka pastilah maksud kita, tujuan kita dan cita-cita kita diperhatikan Allah s.w.t. Apakah tujuan dan cita-cita kita itu berhasil atau tidak. Karena pada hakikatnya bukanlah maksud kita itu untuk memperoleh tujuan dan cita-cita, tetapi pada hakikatnya untuk meredakan kepanasan gerak berhajat pada sesuatu. Kepanasan gerak itu atau hajat yang kuat pada sesuatu itu akan hilang di samping tawakkal kepada Allah s.w.t. Sebab akhir daripada tawakkal itu adalah ridha hati kita pada apa yang ditakdirkan Allah atas kita, apakah sifatnya positif atau negatif. Atau dengan kata lain, apakah sifatnya wujud atau ada, ataukah sifatnya 'adam atau tidak ada.

Apabila aqidah dan kepercayaan kita sudah merasakan demikian itu, maka hilanglah kegelisahan dan kesusahan, keraguan dan kejengkelan, jika maksud yang kita tuju tidak disampaikan oleh Allah s.w.t. Sebab tidak disampaikan Allah sesuatu maksud yang kita kehendaki, berarti cita-cita kita sudah sampai. Yakni kita sudah mengetahui, bahwa usaha kita selama ini belum diizinkan Allah s.w.t. Dan kita diperbolehkan lagi menurut hukum untuk berusaha kepada cita-cita itu. Dan jika kita berusaha juga, tetapi belum disampaikan oleh Allah juga, maka itu adalah satu tanda besar bahwa kita belum diizinkan olehNya dalam mencapai cita-cita itu.

*3. Mengejar sesuatu maksud, tujuan dan cita-cita, jangan sekali-kali kita berpegang kepada kekuatan kita dan daya kemampuan kita. Apabila kita berpegang seperti ini, maka akan menimbulkan tiga kejadian pada diri kita:

1) Kita telah berkeinginan untuk tercapainya cita-cita, sedangkan Allah kita lupakan.

2) Perasaan kita merasakan bahwa usaha-usaha kitalah yang menyampaikan pada sesuatu maksud dan tujuan. Ini pun sebagai tanda juga bahwa kita tidak bertawakkal kepada Allah s.w.t.

3) Tidak ada taqwa dan istiqamah dalam berjuang untuk mencapai cita-cita adalah sebagai tanda juga bahwa kita mengemukakan dan mendahulukan nafsu dan keinginan kita daripada berserah diri kepada Allah s.w.t. Seandainya kita sampai juga kepada yang kita cita-citakan, tetapi kita tidak tawakkal, taqwa dan istiqamah kepada Allah s.w.t., maka cita-cita yang kita peroleh itu juga tidak akan memberi manfaat pada kita. Karena itu kita banyak melihat orang yang bercita-cita jadi kaya-raya, maka setelah kekayaan itu diperolehnya, dia tidak mendapatkan hasil atau manfaat dari kekayaannya itu. Misalnya karena badannya selalu sakit-sakit, tidak boleh makan nasi dan lain-lain. 

Maka tentu tidak ada faedah yang besar buat dirinya dari kekayaannya itu selain hanya sekedar melihat dan memiliki kekayaan itu semata-mata.

*4. Kalaulah demikian maka tepatlah seperti apa yang telah dikatakan oleh seorang ahli tasawuf bernama Amir bin Abdullah.

Beliau berkata: "Setelah aku membaca tiga ayat dalam Kitab Suci Al-Quran (membaca dengan faham yang dalam dan pengertiannya yang hakiki), maka dengan sebab arti yang terpenting dari tiga ayat itu aku mendapat pertolongan pada memecahkan problema-problema yang aku hadapi. Tiga ayat itu ialah:

(1) Firman Allah Ta'ala:

"Jika Allah menimpakan kemudharatan atas anda, tiada yang dapat membuangnya selain Dia (Allah s.w.t.). Dan jika Allah hendak mendatangkan kebajikan buat anda, tiada pula yang dapat menolak kurniaNya itu. Ia memberikan kebajikan terhadap siapa yang dikehendakinya di antara hamba-hambaNya. Dan Dia Pengampun lagi Penyayang." (Yunus: 107)

Dari ayat ini aku berkata kepada diriku, demikian Amir bin Abdullah, jika Tuhan menghendaki memelaratkan aku, maka tidak ada seorang pun (dari makhluk-makhlukNya) yang dapat menyelamatkan daku. Dan jika Allah memberikan kurniaNya kepadaku, maka tiada pula orang lain yang dapat menghambatku (untuk tidak menerima).

(2) Firman Allah Ta'ala:

"Maka kamu (sekalian) ingatlah kepadaKu, supaya Aku mengingatmu. Dan berterimakasihlah kepadaKu dan jangan kamu menyangkal nikmatKu." (Al-Baqarah: 152)

Karena ayat ini maka aku tidak lupa mengingat Allah dan hilanglah kesukaran-kesukaran, sebab Allah tidak lupa mengingat hambaNya yang selalu ingat kepadaNya.

(3) Firman Allah Ta'ala:

"Tidak ada sesuatu yang merangkak di bumi melainkan rezekiNya ditanggung Allah dan diketahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Segala yang tersebut itu termaktub di dalam Kitab yang nyata." (Hud: 6)

Ayat ini mendorong aku untuk bersumpah kepada Allah s.w.t. bahwa semenjak aku membaca ayat ini, aku tidak merasa susah lagi dari rezekiku sebab telah dijamin oleh Allah Ta'ala. Dengan demikian aku merasa lega karenanya.

Kita teringat kepada seorang laki-laki yang datang setiap pagi meminta-minta ke rumah Saiyidina Umar bin Al-Khaththab r.a. Setelah sekian kalinya ia meminta kepada Umar, maka pada suatu pagi ia datang lagi karena maksud meminta. Umar berkata kepadanya: Saudara! Apakah anda mengharapkan sesuatu itu kepada Umar atau kepada Allah? Pergilah anda dari sini dan pelajarilah Al-Quran, sebab Al-Quran dapat mengayakan anda (mencukupi anda) tanpa datang mengemis setiap pagi ke pintu-pintu rumah orang. Laki-laki itu pun pergi dan tidak muncul-muncul lagi dalam waktu yang lama. Sehingga Umar merasa kehilangan karenanya. Umar bertanya ke sana-sini tentang laki-laki itu, maka ditunjukkan oranglah di suatu tempat. Umar pergi ke sana dan menemukan laki-laki itu sedang tekun mengerjakan ibadatnya dan menjauhkan dirinya dari manusia. Saiyidina Umar berkata kepadanya:

Sesungguhnya aku merasa kehilangan saudara, sehingga selama ini aku rindu untuk dapat bertemu dengan anda, kenapakah anda meninggalkan kami dan tidak muncul-muncul lagi?

Laki-laki itu menjawab: Bahwasanya aku setelah membaca Al-Quran rupanya dengan itulah aku tidak memerlukan Umar dan keluarganya (dalam mengharapkan sesuatu). Umar berkata kepadanya: Mudah-mudahan anda selalu dirahmati Allah s.w.t. Maka apakah yang anda dapati dalam Al-Quran itu? Laki-laki itu menjawab: Saya telah mendapatkan di dalam Kitab Suci Al-Quran firman Allah s.w.t. dalam surat Adz-Dzaariyat, ayat 22:

"Dan di langit itulah (sebab) rezekimu (yakni hujan), dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu (pahala atau siksa)." (Adz-Dzaariyat: 22)

Karena ayat ini, aku berkata pada diriku sendiri: Rezekiku di langit, sedang aku mencarinya di dunia. Mendengar itu, Umar menangis dan apa yang dikatakan laki-laki tadi merupakan pelajaran baginya. Setelah kejadian itu, maka Umar sering datang pada laki-laki itu mendengarkan pendapat yang bermanfaat daripadanya.

Dari kejadian ini, maka tepat dan benarlah wasiat Nabi kita Muhammad s.a.w. kepada lbnu Abbas:

"Apabila anda bermohon, maka bermohonlah kepada Allah. Dan apabila anda minta pertolongan, maka mintalah kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa segala makhluk seandainya bersusah-payah mereka untuk membantu anda dengan sesuatu yang tidak dituliskan Allah untuk anda, pasti mereka tidak akan sanggup atas demikian. Dan seandainya jikalau sekalian makhluk ingin memudharatkan anda dengan sesuatu di mana tidak dituliskan Allah buat anda, pasti juga mereka tidak akan sanggup. Segala buku telah terlipat dan segala pena telah kering."

Demikian mendalamnya wasiat Nabi kita Muhammad s.a.w. kepada Ibnu Abbas. Karena itu maka teranglah di dalam menghadapi sesuatu itu di mana kita jangan lupa kepada Allah s.w.t. moga-moga maksud kita yang baik disampaikan olehNya.

Kesimpulan:

1. Apabila kita bercita-cita tentang sesuatu dan berjuang untuk mencapai cita-cita itu, maka berusahalah dengan tekun dan sabar dengan tidak mdupakan Allah s.w.t. Dengan demikian Insya Allah cita-cita kita akan disampaikan olehNya. Adakalanya Tuhan memperkenankan apa yang kita cita-citakan, maka bahagialah kita. Dan adakala Allah tidak mengizinkan sesuatu yang kita cita-citakan itu karena tidak baik menu rut Allah s.w.t., maka tidak disampaikan cita-cita kita. Meskipun demikian berarti pada hakikatnya Allah telah memperkenankan juga maksud dan tujuan kita. Sebab getaran kehendak dalam menghadapi sesuatu itu telah diridhakan Allah, oleh karena sesuatu yang kita maksudkan itu tidak baik menurutNya.

2. Jangan sekali-kali kita berpegang kepada kepandaian kita, kepintaran dan daya kita, sebab semuanya ini adalah dari Allah s.w.t. Apabila semuanya ini telah tersangkut dalam hati kita, yakni kita tidak menyerahkan segala sesuatu itu kepada Allah, maka timbullah kemacetan di sana-sini dan sulitlah kita untuk mencapai cita-cita itu. Kalaupun disampaikan juga oleh Allah s.w.t., maka keberkatannya tidak ada. Badan kita letih pada menghasilkannya tetapi manfaatnya sangat sedikit ataupun tidak ada sama sekali.

Oleh karena itu jangan lupa berdoa kepada Allah s.w.t. seperti tersebut dalam firmanNya dalam Al-Quran:

"Katakanlah: Hai Tuhanku! Masukkanlah aku pada tempat yang benar dan keluarkanlah aku pada tempat yang benar pula. Jadikanlah bagiku dari sisiMu kekuasaan yang dapat memberikan pertolongan." (Al-Isra': 80)

Bacalah doa ini dalam menghadapi sesuatu demi berhasilnya maksud dan cita-cita kita disampaikan Allah s.w.t. Dan mudah-mudahan pula ajaran Kalam Hikmah ini akan menjadi kompas dan pedoman kita dalam hidup dan kehidupan kita di dunia ini.