Karena Hasan menawarkan untuk mandi di kamarnya, Haris tidak menolak. Tidak ada gunanya menolak. Tapi untuk ketenangan hatinya, Haris mengunci pintu dari dalam.
Saat keluar, Haris sudah dalam keadaan bersih dan memakai celana lain. Begitu juga dengan dapur, dengan piring bersusun rapi.
Keadaan ruangan yang gelap, membuat wakil direktur itu melangkah perlahan. Tujuannya adalah Hasan yang duduk di ruang tamu menghadap televisi. Layarnya menyala tapi dalam keadaan tanpa suara, padahal yang dilihat adalah siaran berita malam. Bukan film laga dengan subtitle.
"Kenapa nggak dikeraskan suaranya?" tanya Haris sambil duduk di sebelah pemuda itu.
"Saya belajar membaca gerakan mulut," jawab Hasan dengan suara pelan.
Haris menoleh ke arah pria yang lebih tinggi darinya.
"Bercanda," lanjut Hasan sambil tetap menatap layar tanpa ekspresi.
Duduk sambil menatap siaran berita yang tidak terlalu Haris mengerti, membuat suasana hatinya jadi sentimen. Terlebih karena kegelapan di sekeliling, seolah hanya mereka berdua sebagai penghuni ruang dan waktu.
Dalam kesunyian yang tenang, Pertanyaan Ika yang diucapkan sambil bercanda tadi muncul di benak Haris.
Setahu dia, Hasan tidak hanya memiliki mobil, tapi juga mega-fro dan apartemen yang mereka tempati sekarang. Rasanya tidak mungkin kalau karyawan biasa bisa memiliki semua itu hanya dalam kurun waktu tiga tahun bekerja. Kecuali jika Hasan berasal dari keluarga kaya dan mendapat semua itu sebagai bagian keluarga.
"Tapi kamu nggak korup uang perusahaan, 'kan?" tanya Haris.
Saat Hasan hanya meliriknya dengan ekspresi kosong, Haris menambahkan, "Hanya memastikan. Kalau ada apa-apa, sebagai atasanmu, aku yang kena duluan."
"Yang pasti bukan uang hasil korupsi atau suap," jawab Hasan kembali ke televisi.
Haris pun mengangguk-angguk mendengarnya.
Jika diingat-ingat lagi, hanya ada sedikit hal yang Haris tahu tentang sekretarisnya itu. Dan semuanya hanyalah hal-hal yang dia ketahui sejak mereka hidup bersama.
Hasan tidak pernah menceritakan tentang dirinya sendiri secara khusus, atau keluarganya. Apa yang sering dia lakukan saat luang atau semacamnya.
Haris hanya sibuk dengan dirinya sendiri atau Niar hingga tidak pernah punya waktu untuk pemuda itu.
Yang Haris tahu, Hasan sangat cekatan dalam pekerjaannya. Selain itu, dia punya badan yang bagus dan atletis.
Apa dia diam-diam berolah raga di dalam kamar seperti angkat barbel dan push-up?
Dan setelah terjadi kontak langsung, ukuran Hasan di bawah sana juga cukup besar. Ralat: sangat besar. Haris masih tidak percaya benda sebesar itu bisa masuk ke dalam tubuhnya dan..
Kadal!!! Kenapa jadi mikirin k*ntolnya Hasan!!
Haris menoleh. Dia hendak mengalihkan perhatian dengan mengajak pemuda itu bicara.
"Hei, Hasan.."
Namun, si pemilik nama sudah menutup mata dengan nafas teratur.
Duda itu pun kembali bersandar di sofa dan melanjutkan melihat siaran yang masih tanpa suara. Tidak lama, dengkuran halusnya berdesir di sebelah Hasan.
..
Niar bangun sendirian pagi itu. Dia tahu kalau ayahnya pasti tidur lagi di tempat Om Hasan.
Gadis kecil itu segera keluar kamar. Dia sudah kebelet pipis.
Ketika mengetuk pintu berkali-kali dan memanggil ayahnya dan om Hasan, tak satu pun dari mereka menyahut. Gadis kecil itu lalu memberanikan diri membuka pintu kamar.
Disana, ayahnya sedang tertidur nyenyak di atas kasur dengan mulut separuh terbuka. Niar lalu menepuk tangan ayahnya.
"Yah... Ayah..." panggil Niar. "Niar mau pipis.."
Haris membuka mata perlahan. Dia menyambut gadis kesayangannya dengan senyum.
"Mau pipis?" tanya Haris. Gadis itu mengangguk. Saat itulah Haris menyadari dia berada di kamar Hasan. Sedangkan si pemilik tidak terlihat. "Ayo."
Haris menggandeng tangan Niar, menuju kamar mereka. Sekalian memandikan putrinya, barulah Haris membersihkan diri.
"Ayah mau nyiapin sarapan. Niar mau ikut atau disini?"
Gadis itu berjalan mendekat dengan senyum lebar. Hati Haris berbunga-bunga melihat rasa sayang tanpa syarat yang terpancar di mata Niar.
"Oke, tapi nanti Niar bantu ayah, ya," pintanya.
"Iya, Yah," jawab Niar dengan mata berbinar.
Menyiapkan sarapan pagi berdua, terasa sangat menyenangkan. Meski Haris harus berhati-hati memilihkan tugas agar putrinya tidak sampai terluka. Untungnya makanan kemarin masih ada, sehingga duda itu hanya tinggal menumis sayur untuk pelengkap.
Haris meraih ponsel setelah sarapan siap. Sejak tadi dia tidak melihat Hasan dimanapun. Saat mencoba menghubungi, suara ponselnya terdengar dari meja ruang tamu. Selain ponsel, kunci kendaraan dan dompet juga ditinggal dirumah.
Karena nasi Niar sudah tidak terlalu panas, Haris pun melanjutkan sarapan berdua dengan gadis itu. Dia biasakan untuk tidak menyalakan televisi maupun alat elektronik lain termasuk smartphone. Haris berharap Niar bisa menikmati saat makan, satu dari sedikit kegiatan yang bisa mereka lakukan bersama.
Baru saja ayah dan anak itu selesai saat pintu depan terbuka. Hasan muncul dengan pakaian training dan sepatu olahraga.
Namun yang mencuri perhatian Haris adalah rambutnya yang basah. Titik-titik keringat menetes dari ujung rambut. Sebagian mengenai wajah sebelum mengalir cepat melewati leher lalu sampai di kaos. Kaos yang basah dan menjadi ketat, menunjukkan tubuh berotot yang membuat kaum adam iri.
"Habis olah raga apa?" tanya Haris penasaran.
"Cuma lari biasa. Hai, Niar." Hasan berlalu sambil mengusap rambut bocah itu.
Niar hanya mengikuti Hasan dengan gerakan matanya.
"Aku kira kamu nge-gym," sahut Haris. Tidak mungkin hanya berlari saja bisa membentuk otot di lengan dan perut sampai seperti itu.
"Hmm." Hasan menuju dapur dan langsung mengambil minuman. Dia berhenti setelah menegak 2 gelas berturut-turut. "Biasanya pulang kantor."
Seketika Haris merasa tidak enak.
"Saya rencana mengajak Pak Haris dan Niar juga untuk selanjutnya," lanjut Hasan yang kini berjalan ke meja makan.
Meski ada jarak sekitar 2 meter di antara mereka, aroma musk dari tubuh pemuda itu tercium oleh Haris.
"Apa Niar tidak terlalu kecil untuk nge-gym?" Baru kali ini terpikir olehnya, kegiatan untuk bocah itu selain masuk TK.
Hasan mengangkat sebelah alisnya. "Tidak ada istilah terlalu kecil untuk pola hidup sehat."
Pemuda itu tertawa kecil sambil berjalan ke arah kamar.
"Apa kamu mau sayurnya aku panaskan lagi?" tanya Haris setengah berteriak.
"Tidak usah. Biarkan saja, nanti aku bereskan setelah sarapan," sahut Hasan sebelum pintu tertutup sempurna.
Haris kembali merasa telah menjadi orang tua yang buruk karena tidak tahu apa saja pilihan yang tersedia untuk Niar. Jaman sudah banyak berubah dibanding saat dia masih kecil.
Dari cerita karyawan yang sudah punya anak, ada banyak pilihan kelas yang bisa dipilih. Yang umum seperti renang, bermain musik, bela diri dan bersepatu roda.
Yang terpenting tentu saja pendapat Niar. "Niar ikut, ya, kalau ayah olah raga nanti?"
"Ya iya, Niar ikut. Niar sama siapa di rumah?" putrinya balik bertanya. Seolah sudah jelas dan paham benar dengan keadaan mereka. 😑
"Hahahha..bener. Pinter anak ayah," puji Haris sambil menangisi kebodohannya dalam hati.
..
Agar tidak bosan di rumah, Haris mengajak Niar berjalan-jalan di area taman apartemen. Hasan yang baru akan sarapan, menolak ikut. Dia ada rencana lain, tapi kalau Haris butuh sesuatu, agar segera meneleponnya.
"Aku hanya jalan-jalan di taman, nggak akan ada keadaan darurat," tepis Haris sambil membuka pintu depan.
Dari petugas security, Haris tahu kalau selain taman, ada juga kolam renang, fasilitas kebugaran, kecantikan, penunjang pendidikan, dan kesehatan. Kompleks apartemen mereka juga memiliki sarana ibadah dari semua agama.
Rasa ingin tahu muncul dalam hati Haris. Dia penasaran apa saja yang dilakukan orang-orang di tempat-tempat yang asing baginya itu. Namun, dia tidak yakin kalau kaki Niar bisa dibawa berjalan berkeliling kompleks.
Haris akhirnya memutuskan mereka hanya bermain di taman saja. Setidaknya untuk saat ini. Melihat gadis kecilnya bermain, sudah cukup memuaskan hatinya.
Saat Niar mau bermain dengan anak seusianya, Haris tidak bisa menahan senyum di wajah. Niar memang tidak banyak bicara, tapi tampak jelas bagi Haris kalau putrinya bisa membawa diri dengan baik.
Tangannya merogoh kantong untuk mengambil ponsel. Dia ingin memotret wajah Niar yang penuh kepolosan masa kecil. Hanya ada sedikit foto Niar yang Haris punya. Namun, saat itu dia baru ingat kalau tidak membawa ponsel.
Hmm, ternyata ponsel tidak hanya untuk keadaan darurat saja.
.
.