Menjelang makan siang, muncul pesan di layar komputer Haris.
QS AlHasani : Bapak mau makan siang di kantor atau di luar?
Pertanyaan itu membingungkan Haris. Kenapa makan diluar? Padahal jelas-jelas tadi pagi Hasan menyiapkan bekal.
Haris M. Wojo : Di kantor
QS AlHasani : Baik
Haris tidak lagi memikirkan hal itu sampai waktunya makan siang tiba.
"Akhirnya, ayo, Nis," ajak Ika. "Pak Haris juga ikut?"
"Hm? Oh, aku sudah membawa bekal," jawab Haris.
"Kamu, San?" tanya Ika lagi.
"Aku juga membawa bekal," jawabnya kalem sambil mengeluarkan kotak makan.
"Enaknya, ada yang masakkan. Aku dan istriku sama-sama kerja, jarang sempat masak," sambung Budi yang berjalan duluan.
"Ayo, Nis, keburu rame di kantin nanti," seru Ika.
Nisa yang duduk di sebelah meja Hasan, berjalan santai menyusul keduanya. Saat itulah dia melihat wakil direktur mereka mengeluarkan kotak makan siang.
"Eh, isi bekalnya kembaran sama Hasan," celetuknya ketika Haris membuka tutup box.
Haris hanya menatap ke arah Nisa dan sedikit menaikkan alisnya. "Oya?"
"Nisaaa!!!" Panggil Ika lagi.
Nisa tidak mengatakan apa-apa lagi dan bergegas berjalan menyusul Ika.
Setelah ruangan itu kosong, barulah Haris menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya.
"Saya kira Pak Haris ingat," ujar Hasan sambil nyengir. Dia tampak semakin menyebalkan dengan sendok yang masih melekat di mulutnya.
Sengaja..Dia pasti sengaja!
Haris merasa wajahnya memanas tapi tidak ingin menunjukkan perasaan sebenarnya. Bertindak berlebihan hanya akan membuat Hasan tersenyum makin lebar dan berlanjut dengan keusilan lainnya. Ketika dia melirik lagi, pemuda berkulit sawo matang itu kembali menahan tawa.
..
Berada di lantai 7, membuat ruangan kerja mereka terkena sinar matahari langsung. Meski sudah sore, Haris bisa merasakan hawa panas di luar sana. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana gerahnya jika ruangan mereka tidak dilengkapi AC.
Tepat jam 3, alarm di komputer Haris berbunyi.
"Baiklah, apa ada yang mau lembur hari ini?" tanya Haris keras-keras.
"Uwaaah! Pak Haris kali, yang lembur!" sahut Ika yang cenderung ceplas-ceplos.
"Saya balik besok senin aja, Pak," jawab Budi sambil tertawa kecil diikuti yang lainnya.
"Oke. Hati-hati di jalan. Sampai ketemu besok Senin." Haris membereskan mejanya dengan senyum kecil. Hari ini dia akan punya waktu lebih banyak bersama dengan Niar. Terlebih lagi karena Hasan berkumpul dengan yang lainnya.
Duda itu pun bergegas, tidak mau membuat Hasan menunggu dirinya terlalu lama.
.
"Niar, duduk sama Ayah, ya?" tanya Haris saat mereka berjalan bergandengan menuju mobil.
"Niar mau duduk sendiri," tolak bocah itu.
"Tapi Ayah kangen sama Niar. Niar nggak kangen Ayah?" rayu pria itu.
"Nggak," jawab Niar tegas dengan kejujuran yang menyakitkan hati Haris.
"Kalau Ayah hilang gimana, Niar nggak kangen, nanti?" Haris kembali berusaha merayu dengan menyedihkan.
Kali ini bocah itu memeluk kakinya. "Ayah jangan hilang."
Senang karena akhirnya bisa memenangkan hati putrinya, Haris puas bisa duduk sambil memangku Niar.
Melihat keakraban ayah dan anak itu, Hasan merasa tenang.
"Pasang sabuknya," kata Hasan sebelum memasukkan gigi dan menginjak pedal gas.
"Pak, nanti mampir ke warung ayam sebentar."
"Oke."
Mobil yang mereka naiki berhenti di depan warung. Hasan masuk dan saat keluar menenteng banyak barang.
"Banyak banget beli ayamnya," komentar Haris saat aroma ayam bakar dan goreng memenuhi seisi mobil, bersama dengan aroma-aroma lain.
"Iya, buat kumpul-kumpul nanti," jawab Hasan.
Rasa penasaran Haris langsung hilang.
Selain warung tadi, mereka juga berhenti di beberapa tempat lain. Satu demi satu tas plastik, hingga bagian bagasi dan bangku belakang penuh.
"Sepertinya aku kebanyakan beli," gumam Hasan sambil mengusap dagunya.
.
Di parkiran apartemen...
"Pak, tolong bantu bawa masuk barangnya. Ada sayuran juga buat sarapan besok."
Haris yang baru keluar mobil, mengangguk kecil. Dalam hati dia bersyukur bisa memasak, meski tidak terlalu lezat, dia ingin Niar memakan makanan yang sehat.
Duda itu terkejut karena selain sayuran, juga ada frozen food dan minuman soda. Seolah belanja untuk keperluan mereka selama seminggu.
Begitu sudah masuk ke dalam, Haris berseru pada pemuda pemilik apartemen. "Hasan, aku mandi dulu. Sekalian mandiin Niar."
"Oke, Pak," sahut Hasan.
Untuk menyembunyikan kekecewaan karena tidak diajak ke acara kongkow yang sepertinya meriah, dengan berbagai macam makanan, Haris menutup pintu kamar Niar. Dia sedikit merasa buruk karena menjadikan anaknya sebagai alasan.
"Maaf, ya, Nak," gumam Haris sambil membantu anaknya melepas pakaian.
"Nanti kalau Niar sudah sekolah, mau naik sepeda motor, digonceng ayah?"
"Nggak naik mobilnya Om Hasan?"
Haris tertawa kecil untuk menutupi helaan nafas panjangnya. "Nggak, Ayah sudah pinjem uang banyak ke Om Hasan. Ayah nggak mau ngerepotin Om Hasan lagi."
"Niar bantu kerja juga, Yah."
Duda itu mengangguk senang. "Boleh, boleh. Tapi sekarang mandi dulu, ya."
..
Setelah selesai memandikan Niar, giliran Haris yang membersihkan diri. Meski dia meminta Niar menunggunya di dalam kamar sampai Haris selesai, duda itu tetap bergegas. Dia takut sesuatu terjadi dalam sekian menit Niar tidak diawasi siapapun.
Pria itu menarik nafas lega saat melihat Niar duduk di dekat kasur. Dia sedang mewarnai di meja belajar kecil. Matanya fokus pada gambar dan pensil warna.
Haris hendak bertanya pada gadis berusia 5 tahun itu ketika pintu kamarnya diketuk.
Saat pintu dibuka, wajah Hasan tampak sedikit lelah dengan keringat bercucuran di dahi. Kemeja yang dia gunakan juga transparan karena basah, menunjukkan otot di lengan dan perut.
Bagaimana bisa, dalam keadaan seperti itu, Hasan tetap terlihat tampan. Sungguh aneh.
"Pak, saya mandi dulu," ujarnya sambil melirik ke dalam kamar. Lalu mata Hasan kembali menatap Haris lekat-lekat. Ada kilatan aneh dalam pandangannya, membuat bulu kuduk Haris meremang.
"Kalau begitu cepatlah mandi." Tangan Haris mendorong tubuh pemuda itu menjauh.
Hasan membiarkan dirinya didorong. Namun dia lalu menangkap telapak Haris dan perlahan-lahan memasukkan jari Haris ke dalam mulutnya. Sensasi basah dan licin dari lidah Hasan terasa aneh di ujung jari Haris.
"Aku ingin melihat saat wajah Pak Haris kena muncratan semenku," bisik Hasan dengan nada rendah yang seksi dan menggetarkan organ dalam diri Haris.
"Hentikan. Jangan sekarang," balas Haris yang menarik perlahan jarinya dari mulut kotor Hasan. Lalu secepat kilat membanting pintu di depan wajah pemuda itu.
Terdengar langkah kaki Hasan menjauh, disusul bunyi buka tutup pintu kamar pemuda itu.
Duda itu kembali menghela nafas panjang. Haris takut kalau pandangan mata Hasan dapat membuatnya berubah pikiran.
Meski Haris lebih senang kalau Hasan tidak jadi pergi nongkrong, dan menemaninya di rumah. Tapi saat ini Niar sedang terjaga, dan Haris tidak punya hati meninggalkan Niar sendirian untuk mengejar kepuasan diri.
Malah, sebisa mungkin dia ingin jadi lebih dekat dengan Niar.
Ding Dong🎶
"Niar mewarnai apa?" tanya Haris sambil duduk di dekat bocah itu.
"Pesawat, Yah," jawab gadis itu singkat.
"Ini apa?" tanya Haris lagi pada bentukan berwarna warni di sekitar 'pesawat'.
Ding Dong🎶
"Itu bintang. Pesawatnya terbang malam hari."
Haris kagum sekaligus geli dengan jawaban anaknya. "Tapi kalau malam, adanya bulan, bukan matahari."
Ding Dong🎶
Niar menghentikan mewarnanya, lalu mendongakkan kepala ke arah Haris. "Yah," panggilnya.
"Hmm?" Haris balik bertanya.
"Ada tamu," ujar Niar. "Bel rumahnya bunyi."
Haris mendengar suara melodi itu, tapi tidak terlintas sama sekali di benaknya akan ada yang bertamu. Selama tinggal di kontrakan, tidak ada yang mampir ke rumahnya.
Duda itu pun bergegas ke depan dan membuka pintu. Saat itu barulah dia tersadar, harusnya mengecek dulu siapa yang datang lewat lubang kecil, sebelum asal membuka.
Untung yang berdiri disana adalah rekan-rekan kerja seruangan..nya...?
"Halo, Pak Haris. Kami boleh masuk, nggak?" tanya Ika saat Haris hanya melongo di depan pintu.
"Oh, iya, silahkan, silahkan," jawab Haris. Dia masih berdiri dengan kebingungan saat satu per satu dari mereka masuk.
"Maaf, baru sempat nengokin, Pak. Kami baru tahu kalau kontrakan sebelumnya kebakaran," ujar Nisa.
"Iya, Pak. Masak kami tahu dari HRD," sahut Ika.
"Ah, itu..." Haris sengaja tidak memberi tahu. Dia tidak merasa nyaman saat orang lain melihatnya dengan rasa kasihan.
"Kalian seperti tidak tahu saja," sahut Hasan yang keluar dari kamar mandi dengan kemeja lengan pendek dan celana panjang. Haris jadi sungkan karena hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.
"Pak Haris banyak yang harus diurusi. Buat apa laporan ke kalian tiap kali ada sesuatu." Hasan membawa gelas dan beberapa botol minuman.
"Hasan, tolong temani mereka, aku ganti baju dulu," bisik Haris sebelum ngacir ke dalam kamar.
Hasan hanya tersenyum kecil. "Budi, di dapur ada piring camilan, tolong bantu bawa kesini," perintahnya.
Budi menggerutu saat berdiri dan berjalan ke arah dapur.
"Aku baru tahu kalau kamu juga tinggal disini, San," pancing Nisa. Matanya menatap tajam ke arah pemuda berkulit sawo matang itu.
.
.