Haris bersyukur karena letak apartemen Hasan dekat dengan tempat kerja dibanding kos mewahnya. Sekretarisnya itu bahkan memakai mobil agar bisa berkendara bertiga dengan aman. Padahal sudah jadi hal lumrah jika naik motor boncengan tiga, selama Niar memakai helm dan duduk di tengah.
Meski keuangannya sedang sulit, Haris berusaha untuk tidak membebani Hasan. Dia juga sangat-sangat bersyukur karena Niar cenderung introvert dan tidak membuat masalah.
"Pak Haris belum mandi?" tanya Hasan saat memasuki area makan. Rambutnya basah, membuat pemuda jangkung itu terlihat segar.
"Sebentar lagi, aku mau menyortir pakaian dari laundry dulu."
Hasan menoleh ke arah Niar yang duduk tidak jauh dari ayahnya. Di depannya ada piring dengan isi yang sudah tinggal separuh. Sementara atasannya itu melakukan pekerjaan seolah semuanya harus selesai hari ini juga.
Pemuda jangkung itu duduk di sofa, tidak jauh dari tumpukan pakaian yang berbeda pemilik. "Sudah ada rencana mau pilih TK yang mana?"
"Belum. Aku belum lihat brosurnya," jawab Haris lalu berdiri dengan pakaian Niar di tangan, menuju kamarnya.
Hanya berdua dengan Niar, perhatian Hasan beralih pada bocah itu.
"Niar, kenapa mau sekolah?"
"Biar pinter, Om."
"Memangnya kalau sudah pinter, mau jadi apa?"
"Niar mau bantu ayah cari uang."
Hasan tidak menduga jawaban itu. Saat dia kecil, anak seusianya kebanyakan menjawab 'pingin jadi dokter'.
"Terus, uangnya buat apa kalau sudah banyak?" Hasan makin penasaran dengan jawaban bocah itu.
Tapi Niar tidak menjawab. Hasan bahkan mencoba memancing Niar beberapa kali, namun gagal.
"Niar, kalau makan jangan ngomong. Ayo, cepat habiskan," instruksi Haris yang berjalan mendekat untuk mengambil pakaiannya lalu kembali ke kamar.
...
Kali ini Haris memastikan dirinya tidak ikut terlelap saat menemani Niar tidur. Dia masih harus melihat-lihat brosur dari penitipan.
Di ruang tamu, televisi menyala dengan suara pelan. Hasan memperbaiki postur duduk saat Haris bergabung di sebelahnya.
"Sampai berapa budget untuk sekolah Niar?"
"Aku siapkan sekitar 3. Yang paling murah 7 juta, diatasnya, banyak," jawab Haris dengan senyum kecut di wajah. "Untungnya bisa dicicil."
"Tapi, Pak, anda tidak berencana tidur pakai kemeja itu 'kan?" Rasanya aneh saat orang yang biasanya perhatian dengan hal-hal sepele, malah melewatkan hal seperti itu.
Mulut Haris yang langsung terkunci rapat, membuat Hasan makin penasaran. Apa mungkin, tidak ada baju ganti? Tidak, pakaian dari laundry baru diambil. Harusnya ada baju bersih. Kecuali...
"Apa mau hemat biaya laundry?" tebak Hasan tepat sasaran. Wajah duda itu sedikit berubah, pandangan matanya menjauh dari Hasan.
"Kenapa memusingkan hal-hal kecil seperti biaya laundry? Kalau Pak Haris tidak mau menerima cuma-cuma, Pak Haris bisa membayar nanti saat kondisi keuangan Bapak sudah lebih stabil."
Dari raut wajah Haris, Hasan sudah tahu kalau atasannya itu akan sulit dibujuk.
"Saat Pak Haris harusnya istirahat, Bapak malah tetap terjaga dan khawatir dengan hal kecil."
"Mungkin buat kamu, biaya laundry itu hal kecil, Hasan. Tapi tidak buat aku saat ini. Sekali laundry habis 60rb, seminggu 2 kali, sebulan sudah habis hampir 500rb untuk laundry. Belum kalau beli makan di luar, biaya listrik, transportasi!" sela Haris dengan berapi-api.
Suara Haris lalu turun perlahan saat ingat kalau Niar sedang tidur. "Belum uang sekolah, biaya penitipan, dan seragam..."
"Bapak tahu apa jawaban Niar waktu saya tanya cita-citanya kelak?" Hasan berganti strategi dan membawa Haris pada sudut pandang lain. "Dia ingin bantu ayahnya cari uang. Dia bahkan tidak tahu untuk apa semua uang itu."
"Di desa mungkin ada kakek, nenek, dan tetangganya, tapi disini Niar cuma punya Pak Haris," ujar Hasan dengan suara selembut mungkin. Dia juga meraih tangan pria itu untuk menenangkannya.
"Cobalah untuk lebih rileks, Niar tidak akan tumbuh jadi gadis bejat hanya karena bersekolah di tempat yang lebih murah. Selama Niar mampu dan mau berusaha, saya yakin dia bisa masuk sekolah dasar atau universitas yang bagus."
Rasa tegang dan beban tanggung jawab yang Haris sepelekan, tanpa dia sadari terus bertumpuk hari demi hari. Terlebih saat rumah kontraknya terbakar dan ibunya butuh biaya besar untuk operasi. Menyebabkan rasa frustasi dan kelelahan yang berkepanjangan.
"Saya masih punya uang banyak di rekening, kalau Pak Haris mau pinjam," Hasan menawarkan diri. Dia lalu menambahkan, "Selama jumlahnya masuk akal."
Bisakah semudah itu? Tanya Haris dalam hati.
"Kamu minta tidur denganku saat aku menumpang di kos-kosan. Aku takut kamu akan meminta lebih." Salah satu sudut bibir Haris terangkat, berusaha mengimbangi candaan serius Hasan.
"Bolehkah? Apa boleh saya minta lebih?" Mata Hasan melebar, senang mendengarnya. Dia menggeser duduknya hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari duda itu.
Tangan Haris terangkat, mencegah Hasan beringsut lebih dekat lagi. "Tidak. Lupakan. Membayar utang dengan tidur bersama membuatku merasa seperti pelacur."
"Aww...tapi saya tidak menganggap begitu, Pak." Tanpa ragu, Hasan melingkarkan tangannya di pundak dan pinggang Haris.
"Pak Haris tetap bayar utang seperti biasa, tidak ada hubungannya dengan tidur bersama. Jadi, bukan PSK," rayu Hasan yang mengecup pipi Haris saat pria itu lengah.
"Bagaimana kalau aku kabur setelah meminjam uangmu?" tanya Haris yang masih ragu dengan ketulusan Hasan.
Hasan ingin berkata kalau dia punya foto dan video saat mereka sedang bergelut di atas ranjang tapi yakin kalau hal itu akan memperkeruh keadaan. Sebagai gantinya, dia berkata, "Orang yang akan kabur tidak akan pusing tentang membayar utang."
Hasan lalu berdiri dan menarik tangan Haris. "Bagaimana kalau Pak Haris mandi dulu, ganti baju, lalu saya pijat biar rileks."
"Jangan bilang kalau Pak Haris juga tidak mau mandi biar hemat uang sabun?" goda Hasan.
"Ugh..hentikan, Hasan," gerutu Haris yang merasa malu.
Tapi Hasan tidak berhenti menarik Haris masuk ke kamarnya.
"Aku bisa mandi di kamarku sendiri," protes duda yang bertubuh lebih pendek itu dengan alis bertaut.
"Dan membangunkan Niar? Tsk tsk... Tidur itu penting buat pertumbuhan, Pak." omel Hasan. Dia bahkan ikut melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
"Aku bisa mandi sendiri, kamu tunggu diluar," usir Haris yang wajahnya memanas dengan sikap usil Hasan.
"Saya cuma memastikan Pak Haris tidak memakai lagi pakaian hari ini," sanggah Hasan yang menyilangkan tangan di dada. Seringaiannya yang lebar membuat Haris makin kesal dengan sekretarisnya itu.
Pemuda bertubuh jangkung itu lalu memegang pundak Haris. "Kalau perlu, saya bisa bantu melepaskan baju," bisiknya dengan suara yang bergema di seluruh ruangan.
"Sudah kubilang aku bisa sendiri!" seru Haris yang menendang Hasan keluar. Disusul dengan baju kotor yang jatuh di atas kepalanya.
...
Selama membersihkan badan, Haris memikirkan kata-kata Hasan. Kucuran air hangat dari shower turut membantu moodnya jadi lebih baik.
Sejak berpisah dengan ibunya Niar, Haris hampir selalu memfokuskan pikirannya hanya ke pekerjaan. Hanya sesekali saja bertemu dengan anaknya saat akhir pekan atau libur panjang. Tanpa seseorang yang benar-benar dekat yang dianggapnya sahabat untuk bertukar pikiran. Dia merasa canggung berbagi masalah pribadi dengan rekan kerja.
Jika hari itu Haris tidak mengalami kesialan berturut-turut di kantor, dia tidak yakin hubungannya dengan Hasan akan seperti sekarang.
Dia harus berterimakasih pada pemuda itu saat keluar nanti. Kalau bukan karena Hasan menyadari tentang Niar, dia tidak tahu butuh berapa lama hingga menyadari kekhawatirannya yang menular pada Niar.
Begitu selesai memutar kran shower, Haris berbalik dan baru menyadari jika dia tidak membawa handuk atau baju ganti. Pakaian yang tadi dia kenakan sudah dia lempar ke arah Hasan.
Tidak akan terjadi apa-apa kalau dia keluar begitu saja 'kan? tanya Haris dalam hati.
"Achuu!!"
.
.