Haris menoleh pada gadis kecil yang berdiri di depan pintu sambil mengucek mata.
"Niar, kamu belum tidur?" tanya ayah gadis itu.
"Hmm, aku kebelet, Yah.." ujarnya pelan.
Duda itu melirik ke arah Hasan sambil menggandeng tangan kecil anaknya. "Aku tidurkan Niar dulu."
Hasan hanya melambaikan tangan sebelum menuju kamarnya. Di dalam, kasur dan bantalnya sudah dipasangi seprei. Lemari dan rak sudah dilap bersih, kamarnya tidak lagi pengap dan bau debu seperti pertama kali memasuki rumah.
Beberapa kardus berisi pakaian masih tertumpuk rapi dekat pintu, tapi Hasan hanya mengambil seperlunya saja. Dia berencana melanjutkan menata barang besok sepulang kerja.
Setelah membantu Niar di kamar mandi, Haris menidurkan kembali bocah itu. Entah karena lelah atau karena sudah larut, matanya ikut terpejam saat berbaring di sebelah Niar.
Hasan yang curiga, hanya tersenyum kecil ketika kecurigaannya terbukti. Pria berkulit eksotis itu hanya bisa kembali ke kamarnya setelah memastikan pintu depan terkunci dan tidak ada kompor yang menyala.
...
Haris kembali melanjutkan berbenah pagi itu. Dia sungkan jika tidak melakukan apapun selagi Hasan membeli sarapan untuk mereka.
"Niar, Nenek sepertinya masih lama baru sembuh. Niar mau sekolah disini, sama Ayah?"
Bocah itu sedang memainkan boneka ketika mengangkat kepalanya. "Iya, Yah! Niar mau!"
Niar langsung berdiri dan mendekat dengan senyum lebar di wajahnya. "Kapan Niar mulai sekolah, Yah? Nanti?"
"Nanti Ayah tanya ke Miss dulu, sekolah yang dekat sini dan dekat kantor Ayah," ujar Haris, berharap penjelasannya bisa dimengerti bocah 5 tahun itu.
"Yay! Niar mau sekolah!" teriaknya girang.
Pintu depan terbuka, dan Hasan muncul dengan beberapa tas plastik.
"Saya bingung mau beli apa, kelihatan enak semua."
"Terimakasih. Letakkan saja di meja, akan aku ambilkan piring. Kamu bersiap-siaplah." Haris sadar pentingnya memberi contoh yang baik di depan Niar.
Ketika menata piring dan mengeluarkan isi tas kresek satu per satu, Haris langsung mengembalikan isinya. Ternyata Hasan tidak hanya membeli makanan dan jajan. Ada satu tas plastik hitam berisi alat kontrasepsi dan lubrikan, juga beberapa vitamin.
"Apa itu, Yah?" tanya Niar.
"Ini punya Om Hasan. Ayo, Niar habiskan juga sayurnya, sudah Ayah potong kecil-kecil." Setelah mengalihkan perhatian Niar, dia lalu berjalan ke kamar Hasan.
Karena tidak dijawab saat mengetuk pintu, Haris memutar knob pintu, dan terbuka. Dia lalu mencari tempat yang aman untuk menyimpan belanjaan Hasan.
Haris tidak ingin jika Niar menemukan barang-barang itu. Meski dia sudah berulang kali bilang pada anaknya untuk selalu minta ijin dulu sebelum masuk kamar, Niar hanyalah bocah. Bocah yang biasanya punya rasa penasaran tinggi dan kadang bandel meski sudah diajari dan nasehati.
Duda itu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka dan Hasan muncul dengan memakai boxer dan rambut yang basah.
"Hati-hati dengan barangmu," tegur Haris sambil mengangkat tas tadi. "Jangan sampai Niar menemukannya."
Saat Haris hendak beranjak pergi, Hasan menarik tangan pria itu lalu menangkap bibirnya. Ada aroma citrus yang kuat saat lidah mereka saling meliuk dalam rongga mulut. Pemuda yang lebih tinggi itu baru melepas pegangannya waktu Haris mendorong dada bidang yang masih basah.
"Baik, Pak," bisik Hasan dengan senyum kemenangan.
Haris bergegas keluar sambil melap mulut. Kalau Hasan terus bertindak liar begini, dia khawatir Niar akan...
Akan...
Ah, entahlah! Ciuman Hasan membuat pikirannya korslet!
...
Mereka berangkat lebih pagi karena Haris ingin mendiskusikan tentang sekolah Niar dengan Miss yang bekerja di penitipan. Namun teriakan anak-anak, beberapa bahkan menangis kencang karena tidak mau ditinggal, berbaur dengan wajah para guru yang kerepotan, membuat Haris mengurungkan niat.
Dia pun mengirim pesan singkat pada guru kelas tempat Niar, dalam perjalanan ke kantor.
"Maaf, tadi malam aku ketiduran," ujar Haris yang kembali menguap.
"Mau mampir beli kopi dulu?"
"Tidak. Nanti aku minum yang disediakan kantor saja," jawab Haris kembali menguap.
Saat akan menguap lagi, Haris mencoba menahannya tapi gagal. Hasan hanya memperhatikan saja dari tempatnya di belakang kemudi.
Begitu sampai di kantor, Haris langsung menuju pantry dan membuat kopi instan. Pagi ini ada jadwal rapat dan dia harus fokus ke pekerjaan yang sudah di depan mata.
Dia kembali mereview laporan penjualan bulan lalu, bulan-bulan sebelumnya, serta bulan berjalan. Haris membuat catatan tentang produk-produk yang perlu dapat perhatian khusus.
"Pak, sebentar lagi jam 9," ujar Hasan.
Haris mendongakkan kepala lalu merapikan dokumen-dokumen yang diperlukan. "Iya, terima kasih. Tolong cari tahu, hari ini Pak Bangun masuk atau tidak."
"Baik, Pak," jawab Hasan yang ikut keluar ruangan bersama atasannya.
"Niar ada rencana sekolah disini, Pak?" tanya pemuda itu saat mereka berjalan ke lantai 8 lewat tangga.
"Iya. Neneknya masih pemulihan setelah operasi. Mungkin perlu waktu lebih lama karena faktor usia dan Niar sedang masa aktif, jadi-" Haris lalu menoleh pada pemuda di sampingnya. "Maaf, Niar lebih lama tinggal disini dan jadi merepotkan."
"Hmm, memang repot." Hasan mengangguk setuju. "Tapi aku yakin Pak Haris bisa membayar biaya yang sesuai."
Hasan sengaja meletakkan tangannya di punggung bagian bawah Haris, agar duda itu tahu jelas apa yang dia maksud.
"Saya ke ruangan Pak Bangun dulu," pamit Hasan yang berbelok ke lorong lain.
Haris berjalan ke lorong yang berbeda sambil berusaha menenangkan hati. Akan tampak aneh kalau dia masuk ke ruang rapat dengan senyum lebar dan overly excited.
Usiamu sudah 35, Haris. Sadar diri, sadar diri- gumam Haris sambil membuka pintu ruangan dimana kepala departemen lain sudah duduk.
"Selamat siang. Kalau sudah komplit, langsung saya mulai."
...
Saat Hasan balik ke ruangan kerjanya di lantai 7, Ika menggeser kursi.
"San, katanya rumah pak Haris kebakaran.." bisiknya.
Hasan menatap Ika sebentar, menimbang seberapa banyak info yang bisa dia bagi ke orang lain. Dia tidak tahu dengan Haris, tapi Hasan lebih suka orang bertanya langsung padanya.
"Rumah kontrakan," koreksi Hasan. "Kenapa?"
"Kita mau sambangi, San. Bantu dikit-dikit," sahut Budi yang ikut nimbrung.
Hasan tidak segera menjawab. Dia salut dengan niat baik rekan seruangan dan yakin kalau atasan mereka berpikiran sama.
"Kita urunan 50-an. Kalo dikumpulin kan lumayan," sahut Ika sambil menengadahkan telapak ke arah Hasan.
"Kamu tahu alamat barunya dimana?" tanya Budi lagi.
"Tentu saja," jawab Hasan sambil mengeluarkan pecahan 100 ribu. "Kapan rencana mau sambang?"
...
Sepulang kerja, saat menjemput Niar, Haris dipersilahkan masuk ke dalam.
"Maaf, Miss. Saya baru bisa kesini pulang kerja," ujar Haris sambil duduk di kursi yang disediakan.
"Tidak apa, Pak. Sudah tugas kami membantu orangtua yang sulit merawat anak karena harus bekerja. Tentang chat yang Pak Haris kirim, ini ada beberapa brosur TK dekat lokasi Bapak sekarang. Ada banyak pilihan." Wanita itu menunjukkan brosur yang berisi informasi TK, termasuk biaya pendaftaran dan lainnya.
"Kalau yang ini, meski agak mahal, tapi full-day school. Jadi Pak Haris tidak perlu bolak-balik dari TK ke penitipan," lanjut wanita itu lagi.
Haris tersenyum pada sang guru yang jauh lebih muda. "Terima kasih banyak, Miss. Nanti saya tanyakan Niar mau yang mana."
"Tentu saja, Pak. Terima kasih kembali."
Ketika Haris keluar dari ruang konsultasi dengan menggandeng tangan Niar, Hasan langsung mematikan rokoknya. Bocah itu lalu bersembunyi di belakang Haris.
"Hai," sapa Hasan.
"Maaf, jadi menunggu."
Hasan ingin menyentil dahi Haris karena minta maaf untuk hal-hal yang tidak penting. Tapi dia menahan diri sebab mata Niar tengah mengawasi gerakannya.
"Bagaimana makan malam nanti? Mau belanja atau beli jadi?" tanya Hasan. Tangannya dengan lihai memanuver mobil keluar dari parkiran, ke jalanan sore yang macet.
"Kalau Chinese food, bagaimana?" Haris balik bertanya. "Malam ini Capcay, lalu besok pagi tahu tempe goreng pakai sambel kecap."
"Hmm, lapar begini apa saja terdengar enak," sahut Hasan.
Niar tidak mengatakan apa-apa, tapi suara perutnya ikut andil dalam pembicaraan. Sontak saja Haris dan Hasan tertawa dibuatnya.
.
.