Haris hanya bisa menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi padanya. Termasuk jantungnya yang mendadak berdebar menunggu Hasan kembali dari mengantar Niar.
Dia pikir dirinya tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain selain bagaimana caranya agar lebih hemat. Lagipula, Niar selalu ada bersama mereka selain saat di kantor. Hasratnya seolah menghilang setelah perceraian yang menyakitkan dengan ibunya Niar.
Tapi satu malam dengan Hasan mengubah banyak hal dalam diri Haris. Mungkin hubungan mereka murni hanya hubungan fisik, tanpa ada perasaan yang terlibat. Satu kali itu, dan kini Haris ingin melakukannya lagi dengan sekretarisnya. Di usianya sekarang, dia malu mengakui tubuhnya menginginkan Hasan.
Bukankah biasanya orang tidak suka kalau atasan mereka yang berusia 10 tahun lebih tua, memegang lengan mereka meski tidak sengaja. Haris juga tidak ada lain untuk mengkonfirmasi apakah Hasan keberatan dengan dirinya atau tidak?
Haris berpikir jika Hasan hanya ingin melakukannya hanya sekali itu saja. Karena setelah malam itu, Hasan tidak menunjukkan tanda apa-apa sama sekali.Tapi yang dilakukannya pagi ini dengan menarik Haris dan meraba dadanya...
Saking malunya, Haris ingin mengunci pintu dan selamanya tidak usah bertemu Hasan lagi.
Tapi pintu tetap terbuka saat hati Haris belum siap. Pandangan Hasan yang terarah padanya, membuat Haris hanya bisa menelan ludah.
"Hei, kenapa cepat sekali?" tanya Haris dengan suara pelan untuk menutupi perasaannya. Jantungnya yang mulai tenang, kini berdebar makin kencang seiring dengan langkah kaki Hasan yang kian mendekat.
Laki-laki berkulit sawo matang itu tidak mengatakan apa-apa. Dia tengah menunggu seandainya Haris akan berubah pikiran. Tapi atasannya itu masih duduk disana dengan celana pendek dan kaos milik Hasan. Wajahnya terlihat gelisah, seperti kelinci kecil yang tersesat.
Hasan bukanlah pria primitif yang suka memaksa partnernya. Jadi dia duduk dan melingkarkan tangannya di pinggang Haris. Hasan juga mendekatkan wajahnya hingga dia bisa mendengar setiap deru nafas atasannya itu.
"Apa kita akan melakukannya disini?" tanya Hasan dengan suaranya yang besar dan dalam.
"Sepertinya pagi ini ada jadwal kunjungan," jawab Haris sambil mengelus-elus paha Hasan. Paha yang liat di kaki yang panjang. Menurutnya, Hasan punya kaki yang bagus, apa karena badannya lebih tinggi?
Senyum Hasan melebar. Dia pun berbisik sambil menggeser giginya di ujung telinga Haris. "Siap, Pak. Akan saya selesaikan dengan tuntas segera."
Tangan Hasan lalu bergerak cepat melucuti pakaian atasannya. Haris yang gelagapan dan tidak menduganya, sebentar saja sudah tidak memakai apa-apa.
"Hei, Hasan!" protes Haris. Pria yang lebih tua itu wajah dan lehernya sampai memerah karena malu.
"Tenang saja, Pak," ujar Hasan sambil melepas kancing kemeja satu per satu. Setelah selesai, gantian dia membuka pengait dan resleting celananya. Tangan pria itu juga menarik tubuh Haris mendekat.
Hingga tidak ada jarak diantara mereka, Hasan menangkap mulut Haris dalam ciuman yang dalam.
Sementara itu, tangannya menyelinap, mengeluarkan bagian tubuhnya yang sesak dan minta diperhatikan.
"Berapa kali aku lihat, punyamu tetap saja besar," puji Haris.
Pertama kali melakukannya dengan Hasan, pikiran Haris sangat kacau. Yang penting dia sudah melakukan bagiannya dengan memuaskan hasrat Hasan.
Namun, melakukannya saat ini di dalam kamar tempat mereka bertiga tinggal, ada sensasi yang berbeda. Mungkin karena sinar matahari yang lebih terang dibanding cahaya lampu saat itu. Atau karena saat ini dia sudah tahu bagaimana nikmatnya memeluk Hasan dan mencapai kenikmatan bersama-sama.
Tiba-tiba Hasan tertawa kecil.
"Apa..Pak Haris hanya akan melihat saja?" tanya pria yang lebih muda itu. Pipinya sedikit terangkat akibat senyum di wajahnya yang tampan.
Haris hanya tersenyum balik untuk menutupi rasa malu, sudah ketahuan melihat tanpa berkedip.
"Jangan terlalu lama menggoda saya, Pak," ujar Hasan. Tangannya yang besar menarik senjata milik Haris lalu mengadunya dengan miliknya sendiri.
"Katanya Pak Haris nggak mau telat," bisik Hasan sambil terus memompa dengan kuat.
Kepala Haris seperti disumpal kapas tiap kali Hasan mengocok milik mereka. Dia lalu menyandarkan kepala di pundak Hasan dan menjulurkan tangannya, menutupi tangan Hasan. Perlahan, tangan Haris mengikuti tempo cepat yang dibuat oleh pemuda itu.
Tidak pernah sekalipun dalam benak Haris terpikir untuk menyentuh kemaluan Hasan, apalagi mengocoknya bersama seperti ini. Apa rasanya nikmat karena Hasan lihai melakukannya? Atau karena dia melakukan hal ini dengan Hasan?
"Tekan lebih kuat, Pak," bisik Hasan. Suaranya terengah-engah di telinga Haris.
Haris pun melakukan seperti apa yang diminta pemuda itu. Menekan organ mereka yang sudah licin dan mengeluarkan cairan bening precum beraroma maskulin.
Ketika Haris tengah berusaha memompa sebaik mungkin dari atas ke bawah, Hasan memindah tangan kanannya. Jari-jarinya yang lebih besar itu lalu memainkan bagian kepala, menggosok dan menekan dan membawa Haris pada kenikmatan yang lebih tinggi.
"Hasan, aku..hampir keluar," ujar Haris, nafasnya pendek-pendek dengan pelepasan sudah di depan mata. Dia pun menekan dan mengocok dengan lebih cepat.
"Hmm, lepaskan, Pak. Seperti saat Pak Haris menembakku lewat belakang," perintah Hasan.
Perintah yang membuat Haris kembali mengingat sensasi yang membuatnya melayang dan hanya merasakan kenikmatan di seluruh tubuhnya.
Mereka berdua pun melepaskan muatan mereka hampir bersamaan, dengan memberikan tekanan yang paling kuat lewat jari-jari mereka yang basah dan saling bertautan. Aliran listrik menjalar dari ujung organ lelaki mereka hingga ke ubun-ubun, dan ke ujung jari kaki hingga ikut mengejan.
Untuk sesaat, ada kedamaian dalam dunia kecil antara Hasan dan Haris. Diantara nafas mereka yang menyatu dengan aroma mask. Aroma dari cairan putih yang muncrat dan membasahi tangan dan dada telanjang keduanya.
"Saya mandi dulu," ujar Hasan sambil mengecup pipi Haris. Haris diam saja melihat saat Hasan berjalan ke luar kamar.
Pria itu lalu menghembuskan nafas panjang. Minimal seprei harus diganti secepatnya. Dia tidak bisa membiarkan Niar tidur di atas kasur setelah apa yang dia dan Hasan lakukan disini. Kesadarannya sebagai orang tua tidak mengijinkan.
...
Haris bersyukur pekerjaan mereka hari itu berjalan lancar. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan ke tempat penitipan.
"Pak, setelah menjemput Niar nanti, saya mau ke suatu tempat."
"Iya, tentu saja," sahut Haris. "Kamu pasti ada keperluan sendiri."
Hasan melirik ke arah pria yang duduk di sebelahnya. Ekspresinya tidak menunjukkan apapun, perkataannya tulus dari hati.
Hmm, mungkin terlalu awal bagi Pak Haris untuk merasa posesif akan dirinya, pikir Hasan sambil membelokkan kemudi.
"Ayah!" panggil Niar dengan gembira melihat Haris.
"Seharian ini anak ayah main apa saja?" tanya Haris sambil mengangkat Niar dalam gendongannya.
"Ayah, aku pengen belajar juga. Kapan Niar sekolah lagi?"
Hasan melihat Haris yang tampak kesulitan menjawab pertanyaan anaknya.
"Niar sudah kelas berapa?" sela Hasan, memancing perhatian gadis kecil itu.
"TK kecil. Habis itu TK besar," jawabnya malu-malu.
"Nanti ayah tanya kakek sama nenek, ya," jawab Haris berusaha membuat anaknya mengerti.
"Nggak mau, Niar mau sekolah!" gadis itu bersikeras.
"Apa masih ada, ya, sekolah yang buka sore begini?" Hasan bergumam dengan suara keras agar didengar Niar.
Haris jadi mendapat ide bagus. "Besok ayah juga tanya Miss di penitipan, sekolah yang cocok buat Niar."
Gadis itu lalu mengangguk dan membuat kedua pria itu lega.
Haris berharap besok Niar lupa akan permintaannya barusan. Tapi terlepas dari itu, memang ada baiknya Niar segera melanjutkan pelajaran. Duda itu berharap ada sekolah disini yang mau menerima siswi pindahan sementara. Karena dia tidak tahu sampai kapan Niar akan tinggal bersamanya.
.
.