Chapter 6 - 6. Niar (2)

Hasan mengikuti Haris dari belakang saat mereka berjalan memasuki gang kecil menuju sebuah rumah bercat hijau. Hari masih siang tapi mendung yang tebal dan udara yang agak berkabut, membuat suasana lebih gelap dari seharusnya.

Atasannya itu baru saja mengetuk pintu saat gerimis kecil mulai turun.

Haris mengetuk pintu sambil memanggil nama pemilik rumah beberapa kali.

Lik! Lik Hudi!

Pintu dibuka seorang wanita berkerudung.

Dik Haris. Masuk dulu, Niar lagi main sama Eka.

Haris menoleh pada Hasan. Kamu ikut masuk?

Hasan menggeleng, saya tunggu disini saja. Dia lalu mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyalakan api.

Haris lalu masuk rumah mengikuti wanita itu. Dia melihat anak gadisnya, Niar, sedang bermain balok dengan anak seumuran.

"Niar," panggil Haris.

Gadis kecil itu menoleh dan langsung berdiri. "Ayah!" Teriaknya senang.

Haris berlutut sambil merentangkan kedua tangan, sebentar saja, Niar sudah berlari masuk ke pelukannya.

"Niar sudah mandi?" Anak itu mengangguk

"Sudah makan?" Niar mengangguk lagi.

"Niar mau ikut ayah? Kakek sama nenek di rumah sakit."

"Aku mau main sama eka..."

"Iya, nanti kalau nenek sudah sembuh, Niar main sama eka, ya. Sekarang main sama ayah dulu. Niar nggak mau main sama ayah?"

"Mau..." jawabnya pelan.

Haris merasa lega. Dia sedikit takut anaknya lebih memilih teman mainnya daripada ayahnya sendiri. Bukannya tidak mungkin karena mereka lebih sering bicara lewat video call daripada bertemu langsung.

Duda itu berterima kasih pada wanita tadi lalu berpamitan. Kali ini mereka menuju rumah di sebelahnya. Hasan langsung mematikan rokok yang baru dia hisap beberapa kali saat melihat anak kecil di samping Haris.

"Aku kemasi barang-barang Niar dulu. Kamu mau teh panas atau kopi?"

"Tidak usah, saya permisi mau ke belakang."

"Oh, iya, sebelah sini."

Hasan melepas sepatunya dan memasuki rumah yang berbau kayu dan lembab. Kamar mandi dengan penerangan seadanya dan lantai plester hitam yang licin. Tidak heran kalau orang tua Haris akan terpeleset, lumut sangat mudah tumbuh kalau tidak dibersihkan rutin.

Saat dia selesai dengan urusan pribadinya, Hasan menunggu di ruang tamu. Kursi dengan bantalan kempes dan sudah ditambal sana-sini. Memang bukan tempatnya dia mempertanyakan keuangan Haris, tapi gajinya cukup besar untuk membiayai keluarganya hidup lebih dari ini. Kecuali dia ada pengeluaran lain...

"Niar, kenalan dulu dengan Om Hasan," kata-kata Haris membuyarkan lamunan pemuda itu.

Hasan berlutut agar matanya sejajar dengan anak yang bergandengan dengan Haris itu.

"Halo, Niar. Apa kabar?" Sapa Hasan sambil mengulurkan tangan.

Niar hanya memegang tangan Hasan sebentar lalu bersembunyi di belakang kaki ayahnya.

"Kita naik mobil Om Hasan. Nanti duduk yang tenang, ya, biar nggak mabuk."

Ketiganya berlari kecil menembus gerimis yang masih turun dan buru-buru masuk ke dalam mobil.

"Ada lagi?" tanya Hasan. "Mumpung masih disini."

"Nggak," jawab Haris singkat.

Haris sedikit khawatir anaknya akan banyak tingkah di dalam mobil, untungnya gadis kecil itu sebentar saja sudah tidur di bangku belakang. Mereka pun kembali melaju ke arah Surabaya, diiringi musik mellow yang sesuai dengan suasana hati Haris.

"Mobilmu bagus," ujar Haris saat mereka melewati gerbang tol terakhir.

Haris merasa sungkan sendiri saat Hasan tidak mengatakan apapun selama perjalanan. Meski dia risih dengan pendekatan yang dilakukan sekretarisnya, suasana seperti ini juga tidak membuatnya nyaman.

"Terima kasih," sahut pemuda jangkung itu singkat.

Ketika Hasan kembali diam, Haris mencari-cari lagi topik untuk dibicarakan.

"Kamar kosmu juga bagus. Berapa sewanya sebulan?"

"Nggak sampai 2 juta," jawab Hasan.

Haris membuang pandangan ke luar jendela, membandingkan dengan rumah kontraknya yang tidak sampai 500 ribu sebulan. Duda itu lalu menoleh ke belakang, memastikan Niar benar-benar tertidur.

"Niar..." panggil Haris pelan.

Bocah itu tidak menjawab.

Haris menghembuskan nafas lega. Dia juga sesekali melap tangannya yang sedikit basah.

"Hasan," panggil Haris.

"Hn?" sahut pemuda yang mengemudi di sebelahnya itu.

"Biarkan aku mentraktir makan malam," ujar Haris. Dia lalu buru-buru menambahkan, untuk memperjelas. "Aku nggak bisa memberi lebih dari itu."

Hasan tidak menjawab. Dia tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Haris juga tidak mengatakan apapun sepanjang sisa perjalanan.

.

Haris yang tertidur, mulai tersadar waktu mendengar suara sirine mobil pemadam. Dia menguap dan meregangkan kaki dan tangan.

"Hmm... Jam berapa sekarang?" tanya Haris sambil melihat ke luar jendela. Hari masih terang tapi sinar matahari sudah tidak terlalu menyengat.

"Setengah empat. Sebentar lagi sampai, tapi jalannya macet," ujar Hasan.

Saat mengedipkan mata, Haris melihat jalanan menuju rumahnya yang familiar. Dia langsung duduk tegak dan mengecek putrinya di bangku belakang. Anaknya itu sudah bangun, dan duduk diam sambil memeluk tas.

"Aneh, biasanya disini nggak macet," celetuk Haris sambil mencoba melongok ke depan.

"Katanya di depan ada kebakaran," sahut Hasan.

"Kebakaran..." gumam Haris. Pantas saja dari tadi terdengar suara sirine yang tidak berhenti. Perasaannya jadi tidak enak, tapi duda itu berusaha berpikir positif.

"Hasan, aku turun disini saja. Sepertinya, macetnya bakal lama."

Hasan menatap kecewa pada pria itu. Padahal dia berharap bisa makan malam bersama hari ini juga. Dia lalu melirik gadis kecil yang duduk di belakang. Mungkin bukan sekarang, tapi pemuda itu yakin kesempatannya akan segera datang.

"Baiklah. Pak Haris hubungi saja kalau ada sesuatu," ujar Hasan sambil mencari tempat untuk menepi.

"Sekecil apapun itu, telepon saya, ya," ulang Hasan saat duda dan anaknya itu sudah turun dari mobil.

Haris mengangguk. Dia sudah merepotkan laki-laki itu seharian ini. Sebisa mungkin, dia tidak ingin minta tolong lagi padanya. Apalagi Haris tahu kalau Hasan berniat mendekati dirinya.

Duda beranak satu itu sudah sibuk dengan urusan kantor. Kali ini dia pun harus mengurus putri kecilnya sendiri. Ditambah biaya-biaya lain yang harus dia tanggung, Haris tidak punya waktu untuk hal lain.

Berpacaran... Hah! Memikirkannya saja pun tidak.

Bapak dan anak itu berjalan ke arah rumah kontrakan yang makin dekat. Kekhawatiran Haris makin besar karena kerumunan makin banyak. Hingga mereka sampai di lokasi yang tadinya adalah rumah kontrakannya.

Rumah yang baik-baik saja saat dia tinggal pagi ini.

"A...apa yang..." Tubuh Haris terasa lemas melihat bangunan yang sudah menghitam dan basah bekas pergumulan api dan air.

Matanya lalu menangkap sosok yang dia kenal. Orang yang tinggal di seberang rumahnya.

"Pak Yunus, Pak! Pak Yunus!"

Yunus menoleh dan mendekati Haris.

"Pak Yunus, ini kok bisa kebakaran, Pak..."

"Awalnya rumah sebelah sampeyan, Pak, yang kebakar. Katanya korsleting listrik," kata Yunus. Matanya menatap iba ke arah pria itu.

"Coba Pak Haris lihat lagi, barangkali masih ada barang yang bisa dipakai." Yunus berusaha menyemangati tetangganya itu.

Haris lalu meminta bantuan ibu-ibu tetangga untuk menjaga Niar sementara Haris masuk ke rumah yang setengah hangus dari luar itu.

Di dalam rumah, harapan kecil Haris harus pupus. Kebanyakan barang elektronik rusak karena api, atau kena air pemadam. Haris akhirnya hanya membawa barang berharga seperlunya saja. Dia bahkan tidak tahu motornya masih bisa dipakai atau tidak. Sisanya dia sortir besok saat mengambil ijin cuti.

Sambil berjalan keluar, Haris tahu dirinya harus memutuskan dengan cepat. Bisa saja dirinya menginap di hotel malam ini dan baru mencari kos besok.

Haris lalu menyusul ke tempat Niar. Anaknya itu sedang duduk di teras dengan tas mereka di dekatnya. Haris teringat kalau sejak semalam, Niar harus ikut bolak-balik menemani kakek neneknya ke dokter dan rumah sakit. Hatinya tidak tega kalau putrinya itu harus riwa riwi lagi setelah perjalanan dari Malang ke Surabaya.

Untung Hasan menawari mobilnya, jika tidak, Niar harus terpapar angin dan gerimis yang sempat turun tadi siang. Pria itu mengeluarkan ponsel dan mencari dari daftar nama, orang yang sekiranya bisa dia mintai tolong saat ini.

Ada banyak nama disana, klien dan kenalan dari perusahaan lain, rekan satu ruangan, orang dari departemen lain.. tidak ada yang benar-benar dekat untuk bisa dia mintai tolong dalam urusan pribadi. Mereka mungkin tidak keberatan kalau Haris membawa Niar ke kantor beberapa hari saja.

Tapi tinggal dan menumpang di rumah mereka...

Haris akhirnya menelepon Hasan. Jika sekretarisnya itu menolak, dia bisa beralasan kalau Hasan yang memintanya menelepon jika ada sesuatu. Lagipula, ini bukan saatnya jaim atau gengsi.

Rrrrr...rrrrr

-"Halo, Pak?"

"Hasan...," panggil Haris yang menghela nafas panjang sambil mengacak-acak rambut. "Apa bisa kalau malam ini aku dan Niar numpang di kosmu?"

.

.

.