Hasan yang membawa berkas ke bagian HRD, berhenti saat mendengar nama Haris disebut.
"Sayang banget.. padahal kalau aku bisa satu ruangan sama dia aku bakalan senang tiap hari."
"Sudah nyerah deh, karena nantinya kamu akan kerja bareng Pak Haris."
"Apa nggak bisa kalau Hasan pindah ke departemen kita?"
"Sayang sekali aku merasa nyaman di tempatku sekarang," sahut Hasan sambil tersenyum extra manis pada dua karyawati tersebut. Dia membuat isyarat uang dengan jari.
"Tapi di departemen kita lebih banyak ceweknya, Hasan. Yakin kamu nggak tertarik?" Wanita itu tetap tidak mau menyerah.
Hasan tertawa kecil sambil mengulurkan tangan dan menyentuh ujung rambut wanita itu. "Kalau aku pindah di departemen QC, nanti aku nggak konsen kerja."
Dalam sekejap, wajah gadis itu memerah hingga ke telinga. Temannya yang mendengar ikut bengong melihat Hasan yang berjalan kembali ke ruangan tempat wakil direktur bekerja.
Biasanya Hasan tidak terlalu menanggapi rayuan dan godaan yang diarahkan padanya. Namun hari ini berbeda karena hatinya sedang bahagia.
Sumber kebahagiaannya itu sedang duduk di belakang meja besar dengan tumpukan dokumen yang lebih banyak dari biasanya. Perasaannya sedikit down melihat beban kerja yang dihadapi Haris. Tapi Hasan berpikir positif, dia bisa menemani atasannya lembur.
Ini masih tidak seberapa dibandingkan dulu.
...
"Pak Haris, apa ada yang bisa kami bantu?" tanya Ika yang berdiri di sebelah mejanya.
Haris mengangkat wajah lalu mengedipkan matanya yang lelah beberapa kali. Dia melihat dari jendela ruangan, warna langit yang mulai memerah.
"Tidak ada, kamu pulanglah dulu," ujar Haris. Saat melirik ke jam dinding, sudah jam 4 lebih 10 menit. Mereka harusnya sudah pulang setengah jam lalu.
"Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak! Sampai ketemu besok!" Sahut Ika dengan ceria.
"Iya, hati-hati."
Setelah Ika berpamitan, rekan-rekan seruangannya yang lain menyusul pulang.
"Iya, sampai jumpa besok. Jangan telat lagi, Budi!" Ujar Haris membalas salam mereka.
Duda itu lalu meregangkan tangan dan punggungnya yang kaku. Dia sudah bekerja tanpa henti sejak makan siang. Haris lalu berdiri untuk menyalakan lampu ruangan. Saat itu dia menyadari kalau ada satu orang lagi yang masih tinggal selain dirinya.
"Kamu nggak pulang?" tanya Haris.
"Nanti saja, Pak. Nanggung, sedikit lagi selesai."
Haris jadi berpikir dua kali untuk melanjutkan lemburnya atau tidak. Dia tidak ingin kejadian kemarin terulang. Jantungnya sudah terlalu tua untuk berjumpalitan seperti roller coaster.
"Baiklah, tapi awas kalau kamu macam-macam seperti kemarin," ancam Haris.
Hasan tersenyum lebar meski bibirnya nyeri, memamerkan deretan gigi putih yang seperti bintang iklan pasta gigi. "Kenapa bapak berpikir begitu? Apa bapak mau kita melakukannya lagi?"
"Gila, kamu!" umpat Haris yang kembali ke kursinya dan berlindung di balik dokumen, layar komputer, dan entah apa lagi. Untuk berjaga-jaga dia juga menyiapkan beberapa pulpen yang ujungnya tajam.
Hasan menggelengkan kepala melihat tingkah wakil direktur mereka yang menggemaskan itu.
Selama 2 jam berikutnya Hasan dan Haris fokus pada pekerjaan masing-masing. Hingga perut Haris tidak tahan lagi dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang cukup keras. Untungnya Hasan tidak mendengar atau dia akan semakin malu.
"Kamu mau lembur sampai jam berapa, Hasan?"
Pria berkulit sawo matang itu mengangkat kepala, "Ini sudah selesai, Pak. Kalau bapak kalau Bapak?"
"Aku juga sudah selesai."
"Kebetulan, mau makan malam bersama?" ajak Hasan.
"Tidak aku mau pulang saja. Lagi pula malam minggu begini pasti banyak tempat makan yang ramai."
"Saya tahu tempat makan yang enak dan tidak terlalu ramai," paksa Hasan. Saat hari masih tidak tertarik dia menambahkan, "Saya yang traktir Pak."
Kali ini Haris tidak menolak. Orang bodoh mana yang menolak kesempatan makan gratis. Keluar dari kantor, mereka menaiki motor masing-masing ke tempat tujuan.
Haris baru merasa aneh saat mereka berhenti dan memasuki pelataran parkir sebuah kos-kosan mewah.
"Kamu mau ganti baju dulu?" Tanya Haris tanya Haris.
"Sudah ayo masuk dulu, Pak."
Kali ini Haris tidak bergeming, "Nggak jadi, aku pulang saja."
Hasan menarik tangan Apri menghentikan langkah pria itu. "Saya janji nggak akan macam-macam. Biar saya masak sesuatu untuk Bapak. Sebagai permintaan maaf atas kelakuan saya kemarin."
Haris mengumpat dalam hati. Dia tidak menyangka dirinya akan sebodoh ini hanya karena janji makan gratis. Pria itu menganggukkan kepala. "Baiklah tapi kamu janji ya."
Hasan yang senang mendengar itu tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Matanya berbinar saat melihat wakil direktur itu bersedia mengikuti ajakannya. "Iya Pak saya janji."
Mereka naik ke lantai 3 di mana kamar Hasan berada. Hari sedikit terkejut melihat ruangan yang tidak hanya luas tapi sudah seperti apartemen mini, lengkap dengan dapur kecil dan ruang tamu.
"Silakan duduk di mana saja yang Bapak suka," ujar Hasan. "Saya mau cuci muka dulu."
Haris memilih duduk di sofa kecil di ruang tamu. Dia mengira-ngira berapa harga sewa kamar untuk sebulan. Mungkin gajinya habis untuk sewa kos semewah ini.
"Bapak mau makan apa? Saya ada bahan untuk membuat ayam geprek, chicken Alfredo dan ayam kecap."
Haris berpikir sebentar sebelum menjawab, "Yang lebih cepat matang saja."
"Baiklah."
Di luar dugaan, Hasan sangat lihai dengan tangannya. Sebentar dia masih mencuci ayam, sebentar lagi dia sudah menghaluskan bumbu. Tidak lama sudah tercium bau harum yang memenuhi ruangan. Haris yang tidak bisa duduk diam berjalan mendekat Karena penasaran.
"Kamu jadi masak apa?"
"Ayam rica-rica dan sambal matah," jawab Hasan sambil menambahkan garam.
"Nggak terlalu pedas, 'kan?"
Hasan tersenyum, mata hitamnya itu sesekali terarah pada Haris. "Tenang, Pak. Saya tahu Pak Haris tidak bisa makan terlalu pedas."
Haris senang mendengarnya tapi dia juga jadi lebih waspada. Untuk sesaat dia lupa apa yang bisa diperbuat oleh pemuda di depannya itu.
Untungnya makanan segera matang. Dan tidak ada hal aneh yang terjadi selama mereka makan. Mereka bahkan mengobrol biasa seperti rekan pada umumnya.
Sudah lama hari tidak merasa rileks dan nyaman seperti saat itu. Pekerjaannya selama ini membuat dia jarang bisa berkumpul dengan keluarga, apalagi teman-temannya.
"Bagaimana, Pak apakah masakan saya enak?" Tanya Hasan sambil menuangkan teh dingin ke dalam gelas Haris.
Haris mengangguk. "Enak, kamu belajar di mana?"
"Saya belajar sendiri. Sejak kecil saya sudah suka masak. Syukurlah kalau bapak suka."
Dalam hati Hasan berkata 'kalau bapak mengizinkan akan saya masakan setiap hari.'
"Saya...." Pria yang lebih muda itu memberanikan diri memulai percakapan. "Saya minta maaf karena membuat Bapak tidak nyaman kemarin. Biasanya juga saya bisa menahan diri."
Harus menghela nafas panjang. "Akan lebih baik kalau kita lupakan saja kejadian kemarin."
"Maaf tapi kalau itu saya tidak bisa," tolak Hasan tegas.
Haris mendongak ke arah pemuda yang lebih tinggi darinya itu meskipun mereka sedang duduk. "Apa maksudmu?"
"Sebenarnya saya sudah lama menyukai Bapak." Hasan memastikan mata mereka bertemu untuk menyampaikan ketulusannya. "Saya ingin Bapak berpacaran dengan saya."
"Hah haha... Kamu sudah tidak waras ya?"
Hasan sudah membayangkan kalau tidak akan mudah mendapatkan hati Haris, tapi tetap saja hatinya tidak terima saat ditolak.
Giliran Hasan yang tertawa sebelum menjawab, "Hahaha.. Apa yang membuat Pak Haris berani menertawakan perasaan saya?"
Haris terdiam mendengarnya. Yang dikatakan Hasan memang benar, tapi dia tidak ada waktu untuk mendengarkan orang lain. Dia juga tidak mau memberi peluang atau harapan.
"Maaf, kamu jadi tersinggung. Terserah bagaimana perasaanmu, aku tidak mau tahu dan tidak akan ikut campur. Jadi, aku harap kamu juga menghargai saat aku menolak dengan baik-baik."
Hasan mengamati pria di depannya. Selama ini orang yang dia kencani sangat berbeda dari sosok Haris. Pemuda itu sendiri sedang mencari tahu apa yang membuat dirinya begitu tertarik pada wakil direktur didepannya ini.
Usia mereka terpaut jauh. Secara visual pun, Haris bukan pria yang tampan, macho, manis ataupun androgynous. Tampang rata-rata dengan selera berpakaian buruk, dan sedikit gila kerja. Pada situasi biasa, Hasan tidak akan sekalipun melirik Haris sebagai teman, apalagi untuk menjalin hubungan.
Saat tengah memikirkan anomali perasaannya, ponsel Haris berdering.
"Permisi, aku angkat dulu teleponnya," ujar Haris lalu berdiri dan berjalan menjauh.
Hasan menyilangkan tangan sembari mengamati Haris yang tengah memunggunginya. Nada bicaranya lembut dan penuh perhatian. Dia bisa menebak dengan siapa lelaki yang lebih tua itu berbicara.
"Iya, nanti kalau sudah dirumah, ayah telepon balik. Iya, iya.. iya, sayang.. muach." Haris mengakhiri panggilannya dan kembali duduk di depan Hasan.
"Kalau boleh tahu," pancing Hasan. "Kenapa Pak Haris menolak saya? Saya bisa jadi pasangan yang ideal buat Bapak."
Haris menghembuskan nafas panjang lalu mengacak-acak rambutnya. "Aku tidak cari pasangan. Aku tidak mau punya pasangan. Aku mau fokus membesarkan Niar."
"Tapi Niar diasuh orang tua Pak Haris," balas Hasan.
Haris yang tidak ingin mengatakan apa-apa lagi, mengambil tas ranselnya lalu berdiri. Dia sudah cukup banyak menghabiskan waktu disini. Waktu yang bisa dia gunakan untuk berbicara dengan Niar.
Hasan ikut berdiri dan mengikuti atasannya di kantor itu. Saat Haris membuka pintu kamar, Hasan balik mendorong pintu hingga tertutup dan memerangkap Haris.
"Apa masalahnya ada pada uang?" tanya Hasan tepat di sebelah telinga Haris. "Aku punya cukup banyak untuk membiayai kencan kita."
Haris berbalik dan mendorong tubuh Hasan menjauh. Ketika pria yang lebih muda itu tidak bergerak, Haris makin kesal pada dirinya, pada Hasan, dan keadaan.
"Berapa kali aku harus bilang sampai kamu paham kalau aku.. tidak.. mau.. berkencan.. dengan.. siapapun.. titik..," telunjuknya menekan-nekan dada Hasan.
"Baiklah..." Hasan mengangkat kedua tangan. Sadar dia tidak akan mendapat apa-apa saat ini dengan memaksakan kehendaknya. "Kalau berteman, apa boleh?"
"Tidak!" Jawab Haris dengan ketus, membuka pintu lalu membantingnya di depan wajah Hasan.
Pria itu tertawa kecil sambil mengusap wajah. Bahkan sikap menyebalkan Pak Haris jadi menggemaskan di matanya. Dia sempat kesulitan menahan diri agar tidak menggigit, ketika Pak Haris tidak sadar menggembungkan pipinya karena marah.
Hasan jadi tidak sabar menunggu datangnya hari esok.
.
.
.
A/n:
Hai, Makasih sudah baca. Semoga tingkah Hasan dan Haris bisa menghibur Kakak semua.
Sampai ketemu lagi di bab berikutnya 💕