"Yo, Riku, apa kau ingin ikut ke karaoke sama kami?" ajak teman sekelasku.
"Maaf, hari ini aku ada keperluan, kalian pergilah sendiri," balasku sambil menyatukan kedua tanganku meminta maaf kepada mereka.
"Begitu. Yah, kau bisa ikut jika kau bisa saja nanti. Kalau begitu kami pergi dulu, berhati-hatilah di jalan," ujar teman sekelasku dan mereka semua langsung pergi meninggalkanku.
"Yah, kalian juga, bersenang-senanglah."
Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum melihat mereka yang semakin jauh. Tapi, begitu aku berbalik badan untuk pergi juga, aku langsung menghapus semua senyuman itu dari wajahku.
"Ya ampun, ini benar-benar capek untuk terus tersenyum palsu," gumamku sambil menghela nafas lelah. "Tapi, aku tetap harus melakukannya atau Shina akan mengkhawatirkanku dan menyalahkan dirinya sendiri," lanjutku menguatkan diriku sendiri untuk tidak terus mengeluh.
Setelah itu, aku kembali berjalan, hari ini aku berniat untuk mengunjungi Shina yang sampai sekarang masih dirawat di dalam rumah sakit.
Sudah 5 tahun semenjak aku kehilangan kedua orang tuaku dan sekarang aku duduk di kelas 3 SMP, sedangkan Shina seharusnya sekarang berada di kelas 1 SMP. Tapi, karena tubuhnya yang terus melemah, dia tidak bisa bersekolah seperti anak pada umumnya dan hanya bisa terus tinggal di rumah sakit.
Memerlukan prosedur yang sangat merepotkan untuk bisa membawa Shina keluar, karena itu dia selalu terlihat kesepian ketika berada di sana.
Jujur saja, jika bisa aku ingin terus bersamanya dan menemaninya. Tapi, Shina melarangku dan terus mendesakku untuk pergi ke sekolah, jadi aku terpaksa harus bersekolah. Padahal sudah kubilang kalau aku sudah mempelajari semua pelajaran yang mereka ajarkan saat aku masih kecil, jadi tidak ada gunanya belajar lagi
Bahkan jika sekarang aku mencoba mendaftar di unirversitas dan mengikuti ujian tesnya, aku bisa dengan mudah mendapatkan nilai yang terbaik. Tapi, Shina tidak menginginkan hal itu, dia tetap bersikeras menyuruhku untuk pergi sekolah. Dia bilang aku harus membuat teman dan sekolah merupakan tempat yang tepat.
Karena aku tidak ingin mengecewakannya, aku terpaksa harus berpura-pura menjadi orang yang asik hanya untuk berteman, sekalipun aku tidak ada niat untuk berteman dengan mereka semua.
Ya ampun, ini benar-benar merepotkan.
"Permisi." Aku berjalan ke tempat resepsionis dan menyapanya dengan sopan. Resepsionis wanita itu menyadariku dan dia melihatku dengan tatapan yang hangat.
"Iya, apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Aku ingin menjenguk adik perempuanku, namanya Shinomiya Shina," jawabku langsung.
Ngomong-ngomong, setelah diadopsi oleh keluarga Shinomiya, nama keluarga kami juga berubah. Sebelumnya nama belakang kami Harutora, tapi sekarang sudah diganti jadi Shinomiya. Aku tidak menyesal, justru berkat itu, kami diperlakukan dengan VIP di dalam rumah sakit ini, karena mereka tidak bisa membiarkan keluarga dari orang kaya seperti itu merasa kecewa dengan pelayanan yang mereka miliki.
Aku benar-benar berutang banyak kepada keluarga Shinomiya. Aku tidak tau lagi bagaimana caranya untuk berterimakasih kepada mereka.
"Baiklah, tolong isi dulu data-data dan keperluan anda di sini," ucap resepsionis itu sambil memberikan selembar kertas formulir dan pena.
Aku mengisinya sesuai dengan yang tentara di sana dan memberikannya kembali.
"Terima kasih. Tolong tunggu sebentar, akan ada seorang suster yang akan mengatarkan anda ke kamarnya Shina-sama," lanjut resepsionis itu sambil menundukkan tubuhnya dengan sopan dan langsung menelpon seseorang.
Padahal mereka tidak perlu melakukannya sampai sejauh ini. Meskipun aku juga bersyukur mereka memperlakukan kami dengan baik di sini. Tapi, itu selalu membuatku repot setiap kali ada orang yang tau kalau aku adalah anak dari Pemimpin Shinomiya Groub, mereka langsung berbicara denganku dan mencoba untuk menjilatku.
Itu menyebalkan untuk mengusir orang-orang seperti itu tanpa harus menodai nama dari keluarga Shinomiya.
"Riku-sama, maaf membuat anda menunggu."
Selagi aku memikirkan hal itu, seseorang datang menjemputku, tapi dia bukan seorang suster, tapi seorang wanita dengan pakaian pelayan.
"Maya-san, terima kasih atas kerja kerasnya," ucapku dan berjalan ke arahnya.
"Tidak perlu bersikap formal kepada saya, Riku-sama. Saya di sini atas perintah dari Gorou-sama untuk merawat Shina-sama dengan baik, jadi ini sudah menjadi kewajiban saya," balas Maya sambil menundukkan kepalanya.
Dia adalah salah satu dari pelayan yang dikirim ke sini untuk merawat Shina. Khususnya dia bertugas untuk membantu keperluan Shina seperti buang air kecil, membuat makanan, dan lain-lainnya.
Ada juga pelayan lain yang dikirim ke sini, tapi Shina menolak semuanya, karena dia tidak terbiasa dengan itu semua. Awalnya juga dia menolak untuk diberi pelayan, tapi aku memaksanya untuk mengambil setidaknya satu orang, karena aku tidak ingin dia kenapa-kenapa. Karena itulah, hanya ada Maya di sini.
Maya adalah seorang wanita dewasa yang cantik, dengan tubuh yang kencang. Dia memiliki rambut hitam lurus yang diikat secara ponytail dan kulit putih yang bersih. Selain itu, kudengar dia juga mempelajari beberapa seni bela diri dan memiliki sejarah yang panjang dengan keluarga Shinomiya.
Jadi aku bisa mempercayai untuk menjaga Shina. Hanya saja dia orangnya sangat kaku, sehingga aku tidak tau apa yang sebenarnya dia pikirkan.
"Baiklah, tolong ikuti saya, Riku-sama. Saya akan mengantarkan anda ke tempat Shina-smaa berada," ujar Maya dan aku mengikutinya tanpa mengatakan apapun.
Di sana kami menaiki sebuah lift dan menuju ke lantai paling atas gedung rumah sakit ini, yaitu lantai 17 yang khusus hanya untuk orang kaya. Tapi, saat ini lantai itu disewa semua oleh keluarga Shinomiya, jadi hanya ada kamar Shina di sana.
Sebenarnya ini terlalu berlebihan, tapi aku tidak bisa menolak niat baik mereka.
Keluarga Shinomiya benar-benar memperlakukan kami dengan sangat baik, istri dari Gorou juga menyambut kami berdua dengan hangat. Mereka adalah orang yang baik.
Hanya saja, jika ditanya apakah ada yang masalah, itu adalah anak perempuan mereka.
Gorou memiliki seorang anak tunggal yang seumuran denganku, namanya adalah Shinomiya Akane. Aku sering melihatnya ketika berada di kediaman, tapi kami tidak pernah mengobrol satu sama lain, paling banyak cuma bertegur sapa.
Aku tidak tau kenapa, tapi sepertinya Akane sangat membenciku.
Saat kupikir mungkin itu karena dia tidak suka ada anak orang lain yang masuk ke dalam keluarganya, ternyata dia membuat hubungan yang akrab dengan adikku, hanya ketika bersamaku saja dia bertingkah dingin.
Aku benar-benar tidak tau isi pikiran gadis itu.
Ketika aku menghela nafas dengan lelah, akhirnya kami sampai juga di depan pintu kamar rawat yang ditempati oleh Shina. Saat itu juga, aku melirik ke arah Maya yang berdiri di belakangku.
Dia mengerti apa maksudku dan segera pergi setelah membungkuk sekali.
Setelah itu, aku mulai mengatur penampilanku, begitu aku sudah puas dengan bentuk senyuman yang kumiliki, aku langsung mengetuk pintu kamar itu.
"Shina, ini aku!" panggilku.
Saat itu juga, aku mendengar suara adikku dari dalam kamar.
"Onii-sama?!" Dia terdengar kaget, tapi aku tidak terlalu memperdulikannya.
"Aku masuk," ujarku dan tanpa pikir panjang langsung membuka pintu kamarnya.
"Tu-Tunggu! Onii-sama, kumohon tunggu sebentar! Shina masih—" teriak Shina dengan panik, tapi dia langsung diam membeku ketika dia melihatku yang sudah masuk.
"Jadi, apa yang kau lakukan kali ini?" tanyaku, saat aku melihat anak itu yang diam seperti patung ketika dia mencoba untuk melepaskan pita yang mengikat rambutnya dengan gaya twintail.
Di sana, aku juga melihat sebuah buku komik yang selalu kubelikan untuknya, itu terbuka di bagian ketika seorang protagonis memuji gaya rambut heroinenya yang twintail.
Tampaknya dia mencoba untuk menirunya.
Wajah Shina mulai memerah, dia benar-benar sangat malu sampai-sampai keluar asap yang mengepul dari kepalanya.
"Jangan khawatir, lagipula kau sekarang sedang dimasa pubertas, jadi aku tau kenapa kau juga mulai tertarik untuk—"
"Berisik, diamlah! Dasar Onii-sama bodoh!" potong Shina sambil melempar sebuah bantal ke wajahku sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku sendiri.
"Ya ampun, kau tidak perlu sampai semarah itu, kan?" Aku menangkap bantal itu dan menaruhnya kembali di atas kasur.
"Shina tidak mau tau lagi! Shina saat ini tidak ingin berbicara denganmu!" ujar adikku sambil menggembungkan pipinya dengan cemberut.
Aku mendesah singkat, kemudian berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
"Kau tau, jika kau mengatakan itu dengan gaya rambut seperti itu, kau hanya akan menjadi semakin imut. Apa kau mencoba untuk menjadi adik yang tsundere?" ucapku sambil tertawa kecil.
"Te-Terserah Shina, kan?!" Mungkin baru sadar kalau dia masih belum melepaskan ikatan rambutnya, pipinya memerah dan dia dengan buru-buru melepaskan pitanya.
"Padahal itu tadi sangat imut, kenapa kau lepas?" ucapku menggodanya lagi.
"I-Itu bukan urusan Onii-sama, kan?! Sudah berhentilah menggoda Shina, apa yang sebenarnya Onii-sama inginkan?!" teriak Shina dengan wajahnya yang masih memerah. Aku menertawakannya dan dia memukulku.
Seperti itu, waktu terus berlalu ketika kami berbicara dan bercanda.
Mungkin, hanya pada saat ini sajalah, aku bisa mengekspresikan perasaanku dengan jujur tanpa ada kebohongan apapun. Bagiku, Shina adalah satu-satunya penyemangat hidup yang kumiliki untuk bisa melewati hari-hari yang melelahkan ini.
Aku bersumpah aku pasti akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia.
Tapi, aku sendiri juga sadar…
Bahwa hari-hari seperti ini tidak akan bertahan lama. Tubuh Shina semakin lama menjadi semakin lemah dan sampai sekarang masih belum ada pengobatan untuk menyembuhkannya.
"Uhuk! Uhuk!"
"Shina?!" seruku dengan panik ketika melihat Shina yang tiba-tiba terbatuk-batuk, aku mengernyit.
"Tidak, Shina baik-baik saja, Onii-sama. Ini hanya batuk biasa. Selain itu, tolong ceritakan lagi tentang game yang tadi Onii-sama ceritakan. Apa yang terjadi dengan sang Putri setelah itu?" balas Shina dengan senyuman lembut dan secara diam-dima dia menyembunyikan kain yang dia pakai untuk batuk sebelumnya dariku.
Di sana, meskipun hanya sekilas, aku melihat bercak darah. Tapi, aku berusaha untuk tutup mata dan tidak membahasnya, karena tampaknya Shina juga tidak ingin aku mengkhawatirkannya. Jadi, masih dalam senyumanku, aku terus berkata.
"Yah, sebenarnya aku juga belum menamatkan gamenya, jadi aku tidak tau bagaimana kelanjutan dari cerita mereka," ucapku.
Mendengar itu, Shina terlihat kecewa. "Kenapa Onii-sama tidak melanjutkannya?!" tanyanya dengan kesal, karena cerita yang kuceritakan berakhir menggantung di adegan yang paling menarik.
"Ya ampun, kau tidak perlu sesedih itu juga. Baiklah, bagaimana kalau kita memainkan gamenya sama-sama nanti? Di sini juga ada TV, jadi aku hanya perlu membawa gamenya saja."
"Benarkah?!"
"Tentu, aku berjanji, dan juga, besok aku akan membelikanmu novel yang kau sukai, bukankah besok volume baru dari novel itu akan rilis?"
"Eh, benarkah?! Onii-sama, janji ya?! Janji ya?! Shina akan menunggu Onii-sama! Jadi Onii-sama harus benar-benar menepati janjinya atau Shina akan marah besar!"
Shina terlihat sangat bahagia, dia tampak sangat tidak sabar menunggunya. Itu membuatku senang juga ketika dia tersenyum dengan sangat lebar seperti ini. Sebisa mungkin aku ingin membuat dia melupakan rasa sakitnya sebentar saja.
"Ya yah, bukankah sudah kubilang aku janji, kau tidak perlu sampai sesemangat itu juga. Astaga, kau benar-benar adik yang merepotkan," ujarku yang sedikit kewalahan dengan tingkah adikku.
Setelah itu, aku menenangkannya dengan mengelus kepalanya, dia terlihat begitu sangat bahagia ketika aku melakukannya.
Tampaknya besok aku harus membatalkan semua jadwalku. Yah, jika itu untuk kebahagiaan Shina, kurasa aku tidak punya pilihan lain.
Besok sebelum pergi ke sini aku akan mampir ke toko buku untuk membelikannya novel yang dia sukai dan juga beberapa novel yang mungkin akan di sukai. Karena Shina tidak bisa keluar dari rumah sakit, satu-satunya kesenangan yang dia miliki hanyalah membaca novel dan komik semisalnya aku tidak berada bersamanya.
Terkadang kami juga main game bersama.
Itu adalah hari-hari yang sangat menyenangkan.
Tapi—
Sepertinya dunia ini masih belum cukup untuk merebut apa yang kumiliki lagi.
**************
"Hah! Hah! Hah!"
Aku berlari, aku berlari dan terus berlari tanpa memperdulikan semuanya, seakan-akan seluruh hidupku dikerahkan hanya untuk berlari.
Itulah adalah waktu di mana seharusnya aku berjanji kepada Shina untuk bermain game bersama-sama dan membelikannya novel yang dia sukai. Itu seharusnya menjadi hari yang bahagia di mana kami seharian bermain bersama.
Itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan di mana aku bisa melihat Shina tersenyum.
Itu seharusnya menjadi hari yang damai di mana kami akan bercanda lagi seperti biasa.
Itu seharusnya menjadi hari yang sangat-sangat penting di mana aku berjanji untuk menemaninya bermain game.
Tapi…
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?—
—Kenapa kau malah pergi meninggalkanku?
"Shina?!"
'Brak!'
Aku berlari dengan secepat mungkin menuju lantai 17 ini tanpa naik Lift dan kemudian membuka pintu kamar rawat Shina dengan keras. Kemudian, aku langsung pergi menuju kasur Shina, di sana semua orang juga telah berkumpul.
Berdiri mengelilingi Shina, ada Gorou, istrinya, Akane, Maya, dan juga dokter yang selalu memeriksa tubuh Shina secara rutin.
Saat mereka melihatku, wajah mereka terlihat sangat pahit dan mereka segera pergi dari ruangan untuk memberikan waktuku hanya berdua bersama Shina saat ini, di mana tubuhnya sekarang benar-benar sangat lemah. Gorou menepuk pundakku dan mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, karena saat ini telingaku terus berdengung keras.
Mungkin itu efek karena aku terus berlari, tapi aku tidak memperdulikannya. Aku, dengan tubuh yang gemetar, berjalan dan duduk di sebelah Shina sambil menahan semua air mata yang ingin menetes. Melihat gadis itu yang terbaring lemah di atas kasur, aku dengan lembut menggenggam tangan darinya yang sudah sangat dingin.
"Apa itu Onii-sama…?" tanyanya dengan suara yang lirih dan nafas yang berat.
Aku meringis, dadaku menjadi semakin sesak. "Yah, ini aku, Shina," jawabku dan menggenggam tangan anak itu dengan lebih erat.
Shina tersenyum ketika dia tau jika itu adalah aku.
"Onii-sama, apa kau ingit dengan janji kita? Hari ini kita akan bermain game bersama, kan?" ujarnya dengan senyuman yang lembut.
"Yah, tentu saja, bagaimana mungkin aku melupakan janji yang kubuat denganmu. Aku juga membawakan novel yang kau suka," balasku dengan suara yang gemetar, sembari berusaha keras menahan air mataku.
"Onii-sama, hari ini kita akan bermain game seharian penuh, kan?"
"Yah, tentu saja, kita akan bersama terus hari ini."
Tidak, kumohon, jangan katakan itu.
"Onii-sama, apakah sekarang kau sudah memainkan gamenya?"
"Tidak, ini aku baru mau memulainya, jadi kau tidak perlu khawatir."
Kumohon, Shina, tolong jangan tinggalkan kakak.
"Benarkah? Padahal Onii-sama bisa memulainya duluan tanpa perlu menunggu Shina."
"Apa kau bodoh? Bukankah kita sudah berjanji untuk bermain bersama."
Shina, kumohon, tetaplah bersama kakak. Kakak janji akan mencari cara untuk menyelamatkanmu, jadi kumohon bertahanlah sedikit lagi.
"Tapi, entah kenapa hari ini Shina merasa sangat ngantuk, jadi kurasa Shina tidak akan bisa bermain dengan Onii-sama."
"Apa maksudmu itu? Kau tidak boleh tidur, hari ini kita akan bermain game bersama sesuai dengan janji yang kita buat, awas jika kau melanggarnya."
Shina… Kakak mohon…
"Maaf, Onii-sama."
"Khh!"
Mendengar itu, aku menggigit bibirku dengan kuat, dan terus menggenggam erat tangan Shina sambil menundukkan wajahku ke tangannya.
Saat itu juga, air mataku telah menetes. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi, perasaan sesak ini terus menggerogoti hatiku dan menghancurkanku.
Kumohon, Shina, teruslah bersama aku.
Aku berulang kali melantunkan doaku, sembari terus menangis terisak-isak, aku terus berdoa.
Tapi, tampaknya doaku takkan pernah sampai.
Sesaat kemudian, Shina tersenyum lembut.
"Onii-sama, aku mencintaimu."
"Ah?"
Tangannya terjatuh dan Shina akhirnya menutup matanya untuk selama-lamanya.
"… Aah?"
Ketika itu juga—
"AAAAAAAAAAHHHHHHHHHHH—!!!"
—Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berteriak dengan sangat keras.
...
...
...
...
...
...
...
...
[END]