Aku semakin terbenam dalam amarah yang memancar dari lubuk hatiku. Aku memikirkan berapa banyak orang yang pernah aku kecewakan, berapa banyak orang yang sudah gagal aku selamatkan. Aku berpikir dengan menjadi orang kuat, aku bisa menyelamatkan semuanya, ternyata aku terlalu naif.
Semua amarah dan penyesalan yang pernah aku rasakan saat berada di kehidupan sebelumnya akhirnya memunculkan sebuah aura merah pekat yang mengelilingi diriku.
"Selalu....selalu....SELALU!!!...." gumamku dengan penuh emosi.
Memanfaatkan keadaanku yang sedang berada dalam amarah, Rudra berlari sambil melemparkan bola-bola api ke arahku. Namun, semua serangan itu tidak memberikan efek apapun padaku. Ketika sudah cukup dekat denganku, Rudra melancarkan tinju berlapis api padaku. Tetapi, semua serangan itu tidak memberikan luka apapun padaku, semua serangan itu dihalangi oleh aura yang mengelilingi diriku.
Aku menatap Rudra dengan tatapan yang bengis dan haus akan darah, sambil berkata, "bunuh....bunuh...bunuh...".
Sekarang giliranku menyerang, aku menebaskan pedangku dengan membabi buta, menyerang ke segala arah dengan sekuat tenaga.
Rudra mencoba menahannya, tetapi tidak sepenuhnya seranganku dapat ia tahan. Dengan luka di tangan kanannya, ia terus menahan seranganku sambil mundur.
Saat merasa bahwa ia tidak akan menang jika hanya bertahan saja, ia mulai menyerang balik. Kami saling bertukar serangan, aku yang tidak mempedulikan apapun selain mengikuti amarah yang ada di dalam diriku, terus menyerang Rudra, tidak peduli serangan Rudra yang mengenai dan melukai aku. Aku tetap menyerang sampai akhirnya seranganku berhasil memutuskan tangan kanan Rudra, dengan darah bercucuran dari tangan kanannya yang putus, Rudra melompat mundur dan mengeluarkan aura merah yang sama seperti milikku.
"Cukup...kali ini...kau mati...hwaaaa...."
Kami saling bertarung, menahan, dan bertukar serangan. Karena banyak sekali serangan yang kuterima, tubuhku mulai mencapai batasnya.
"Oi, Nian. Kalau begini terus kau akan mati, lo..."
Ucap Himari mencoba mengingatkan aku bahwa tubuhku tidak akan bertahan lama jika terus seperti ini. Namun, terbutakan oleh amarah, aku menghiraukan peringatan darinya. Sampai akhirnya aku menemukan celah untuk menghabisi Rudra.
"TIME STOP!!" Teriakku saat waktu berhenti. Aku mengayunkan pedangku, menebas leher Rudra. Disaat waktu kembali berjalan, kepala Rudra sudah terlepas dari tubuhnya berguling ke tanah. Tubuhnya pun terjatuh ke lantai, dan perlahan menghilang bersamaan dengan mayat para penduduk yang digunakan untuk persembahan.
Aku terduduk dengan tubuh penuh luka dan darah, aku hampir kehilangan kesadaran. Kemudian, muncul sosok seorang anak kecil dengan ayah dan ibunya berdiri di belakangnya, dia melambaikan tangannya kearahku.
"Terimakasih kakak...."
Aku tersenyum, lalu jatuh tak sadarkan diri. Aku terbangun di ruangan milik Himari yang merawatku dengan penuh kasih sayang.
"Apakah aku berhasil mengalahkannya?"
"Iya, kau berhasil," kata Himari sambil mengusap kepala ku dengan lembut.
"Sukurlah...."
"Sekarang bangunlah... temanmu sudah menunggumu."
Setelah mendengar ucapan Himari itu, aku perlahan mulai membuka mata. Aku masih tergeletak di lantai, dengan tenaga yang tersisa aku pun berdiri dan berjalan menuju ke atas keluar dari ruangan bawah tanah. Dengan langkah lemah, aku perlahan berjalan keluar menaiki tangga. Saat sampai di ruangan tahta, Anastasia sudah menungguku disana bersama dengan Lily yang sudah sadar dan terlepas dari kendali pria bertopeng tersebut. Mereka berdua segera berlari dan membawa aku untuk diberikan perawatan.