Perpisahan dituliskan dalam buku-buku
sebagai bab-bab rindu
pertemuan dilahirkan kemudian
dari rahim cinta yang terabaikan
sebagai bagian dari pasal-pasal kerinduan
"Kita berpisah sampai di sini Soca. Aku harus menunaikan tugasku di Gunung Merbabu. Kau pergilah terlebih dahulu ke Pulau Dewata. Aku akan menyusul dan membantumu saat tugasku menjenguk Gunung Merbabu telah usai."
Ratri Geni menatap Raden Soca setelah menurunkan tubuh Sekar Wangi yang masih lemas. Mereka sudah cukup jauh dari Lembah Mandalawangi. Saat ini mereka berada di sisi utara Gunung Pangrango. Raden Soca balas menatap dengan perasaan yang sulit ditafsirkan. Antara bingung dan enggan berpisah.
"Lalu, bagaimana dengan gadis ini Ratri?" Raden Soca berjongkok sambil memeriksa leher dan tarikan nafas Sekar Wangi yang sedang memandangi mereka bergantian dengan tatapan kosong.
"Dia masih sangat lemah. Tidak cukup kuat menerima totokan sekuat ini." Raden Soca mengalirkan hawa sakti ke tubuh Sekar Wangi melalui leher dan pundak gadis itu. Sekar Wangi merasakan hawa hangat merasuk ke aliran darahnya. Tubuhnya yang sangat lemas perlahan-lahan segar kembali.
Ratri Geni memandang semua yang dilakukan Raden Soca dengan pikiran campur aduk. Pemuda putra dari mendiang Raja Lawa Agung ini orang baik. Sangat baik malah. Meskipun keturunan seorang datuk sesat luar biasa yang punya ambisi besar menaklukkan seantero Jawa, namun dia sama sekali tidak seperti ayahandanya. Pemuda itu begitu bersih hatinya. Seorang pemuda pilihan. Tampan, sakti, dan bersahaja. Hmm, Ratri Geni merutuk hatinya yang berani mengeluarkan pujian itu.
"Kita antarkan dia dulu ke tempat orang tua atau siapapun yang terdekat dengannya. Coba kau cari tahu Soca."
Raden Soca mengangguk lemah. Tidak mau membantah. Padahal semestinya Ratri Geni lebih pantas berbicara dengan Sekar Wangi dibanding dirinya. Raden Soca hanya ngeri bila dia membantah, lalu Ratri Geni menggunakan senjata utamanya, kakak seperguruan. Duh!
"Darimana asal kisanak putri? Kemana harus mengantarmu ke orang tua atau sanak saudara?"
Sekar Wangi mengangkat mukanya. Pemuda ini tampan sekali! Tidak kalah dengan Arya Batara. Sekar Wangi terisak lalu berdiri terhuyung-huyung dan nyaris jatuh kalau Raden Soca tidak dengan cepat meraih tubuhnya. Sekar Wangi bukannya berdiri tegak kembali, gadis ini malah menjatuhkan dirinya sehingga jatuh dalam pelukan Raden Soca yang mendadak merah sekali mukanya karena jengah.
Sekar Wangi menyandarkan kepalanya dengan lemah ke dada Raden Soca. Isaknya masih terdengar lirih. Dari mulutnya keluar bisikan lirih.
"Bawalah aku kemana saja Raden. Aku, Sekar Wangi, pasrah kepadamu Raden." Kedua lengan Sekar Wangi bergerak seperti ular melingkari leher Raden Soca yang semakin merah mukanya seperti kepiting rebus.
Ratri Geni awalnya hanya terbelalak dan tertegun. Namun melihat gadis itu malah bertindak berlebihan, gadis ini berkelebat menyambar dan menarik tubuh Raden Soca ke belakang. Terdengar debum lirih saat tubuh Sekar Wangi terjatuh ke tanah. Raden Soca menatap bingung ke arah Ratri Geni yang berdiri di hadapannya dengan pandangan marah.
"A..apa salahku?" Tergagap pemuda Lawa Agung itu bertanya.
Ratri Geni melengos. Merasa sedikit malu. Memang Raden Soca tidak salah. Kenapa dia harus marah-marah kepada pemuda itu. Sekar Wangilah yang bersikap keterlaluan. Untuk menutupi rasa malunya, Ratri Geni bertolak pinggang dengan wajah cemberut. Sebuah desis keluar dari bibirnya yang mengatup.
"Salahmu adalah kau menikmatinya adik seperguruan bodoh!" Ratri Geni menarik lengan Sekar Wangi dan memaksanya berdiri. Sekar Wangi berdiri tegak kembali dan sama sekali tidak berlagak terhuyung-huyung di hadapan Ratri Geni. Hawa sakti yang disalurkan Raden Soca tadi banyak membantunya pulih. Sekar Wangi berkata ketus.
"Apa maumu gadis?! Kau mau membunuhku? Bunuh sajalah! Aku tidak takut!"
Ratri Geni mengangkat alisnya. Apakah gadis ini sudah gila? Bukankah dia tadi menyelamatkannya dari tawanan Lawa Agung? Ratri Geni menghela nafas pendek. Mencoba menyabarkan hati.
"Kau mau diantar kemana Sekar Wangi? Kondisi tubuhmu belum memungkinkan untuk berjalan sendiri. Kami akan mengantarmu hingga ke tempat aman. Setelah itu kami akan pergi dan jangan ganggu dia lagi!"
Sekar Wangi melengak. Gadis ini tertawa mengejek.
"Hahaha, rupanya kau tidak rela jika pemuda tampan itu jatuh dalam pelukanku?! Hahaha."
Ratri Geni memerah mukanya. Gadis kurang ajar!
"Hei! Terserahlah kau mau berkata apa. Sekali lagi aku bertanya kepadamu kau hendak diantar kemana? Kami juga ada urusan yang harus diselesaikan. Tidak bisa berlama-lama mengasuh gadis perengek sepertimu."
Sekar Wangi berkilat matanya. Seandainya tidak ada Ratri Geni dia yakin Raden Soca akan jatuh dalam pelukannya. Dan setelah pemuda itu terikat dengannya, dia akan mempermainkannya seperti kucing terhadap tikus.
"Pergilah Ratri Geni! Aku tidak membutuhkanmu. Aku hanya membutuhkan dia!" Sekar Wangi mengarahkan telunjuk ke arah Raden Soca sambil tersenyum manis. Wajahnya yang cantik, meskipun sembab, sangatlah menarik bagi lelaki manapun. Apalagi gadis itu punya bentuk tubuh yang sangat menarik perhatian kaum lelaki manapun.
Raden Soca maju ke depan. Ditariknya lengan Ratri Geni dengan lembut. Dia tahu gadis ini sudah gatal tangan untuk menghajar Sekar Wangi yang makin kurang ajar.
Memang terjadi perubahan besar pada Sekar Wangi setelah kejadian memilukan yang dilihatnya akibat sikap Pangeran Arya Batara. Hatinya terluka menganga namun segera dijahitnya dengan sebuah tekad. Mulai saat ini dia akan mempermainkan para kaum lelaki dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Dia tidak peduli lagi dengan hati. Dia hanya akan mengejar kepuasan saat kaum lelaki tunduk dan merengek-rengek kepadanya. Raden Soca adalah calon korban pertamanya. Tapi keberadaan Ratri Geni sungguh-sungguh mengganggu.
"Aku mau diantar ke tempat orang tuaku. Tapi aku tidak mau diantar olehmu Ratri Geni! Aku hanya mau diantar oleh Raden Soca. Kau pergilah! Mengganggu saja!"
Sekar Wangi lagi-lagi tersenyum mengejek. Sengaja memancing kemarahan Ratri Geni sampai gadis itu tidak bisa menahan kesabarannya lagi lalu memukulnya. Dia ingin melihat seperti apa sikap Raden Soca.
Ratri Geni membuka mulut hendak mendamprat. Tapi didahului oleh Raden Soca yang berkata dengan sabar.
"Nah, sebutkan kemana aku harus mengantarmu?" Maksud pemuda ini tentu saja adalah saat sudah ada jawaban Sekar Wangi maka dia bersama Ratri Geni akan mengantarnya pulang. Namun Ratri Geni menanggapinya lain. Gadis ini menatap Raden Soca dengan pandangan menuduh dan kecewa.
"Baiklah Soca. Kalau kau memang mau mengantar gadis itu sendirian sesuai kehendaknya, aku tidak akan mencegahmu. Aku pergi!" Tubuh Ratri Geni berkelebat secepat angin dan dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
Sekar Wangi tersenyum. Siasatnya berhasil. Dengan lagak sangat kesakitan gadis ini berjalan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu.
Raden Soca mengerutkan kedua alis matanya. Kaget terhadap sikap Ratri Geni. Sekaligus sedih karena gadis itu tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Dia sama sekali tidak mengerti semua akan berakhir aneh seperti ini baginya.
Melihat Sekar Wangi terhuyung hampir jatuh, Raden Soca melompat tinggi dan menyambar ranting pohon yang kuat dengan ukuran yang tepat. Saat mendarat, tongkat itu dipakainya untuk menyangga tubuh Sekar Wangi. Dia tidak mau bersentuhan dengan gadis yang tiba-tiba menjadi sangat genit itu.
"Pakailah tongkat itu Sekar Wangi. Aku akan mengantarmu tapi aku tidak akan menggendong atau membimbingmu. Ayo kita jalan." Raden Soca memimpin perjalanan sambil meraih ujung tongkat dan mulai menarik Sekar Wangi yang memegangi ujung tongkat lainnya.
Sekar Wangi memaki dalam hati. Calon korban pertamanya ini rupanya bermental kuat. Hmm, kau lihat saja nanti saat aku membuka baju di hadapanmu. Sekar Wangi berjalan tersaruk-saruk mengikuti Raden Soca. Dalam pikirannya sudah berkelebatan berbagai rencana untuk menaklukkan pemuda tampan dan sakti itu hingga jatuh dalam pelukannya.
*