Apa yang kamu dapatkan ketika kamu semakin melangkah jauh, semakin terbang tinggi?
Ketika seseorang mendaki mencapai puncak gunung, apa yang mereka rasakan adalah kekaguman, serta menyadari betapa kecil dan tak berartinya diri mereka di dunia yang luas ini.
Hal yang sama terjadi pada Wu Tiankai, manusia yang kini dikenal sebagai Dewa Bela Diri oleh orang-orang.
Semakin kuat dirinya, semakin dia menyadari bahwa keberadaannya sama sekali tidak berarti.
Dia adalah seorang perintis Jalan Bela Diri, di mana orang-orang berjalan melalui jalan yang telah dibuatnya.
Namun, tidak peduli seberapa jauh dia melangkah di jalan ini, dia tidak dapat menemukan akhir dari ujungnya.
Suatu hari, dia menemui kemacetan.
Tidak peduli seberapa keras dia berusaha, dia tidak bisa menjadi lebih kuat lagi.
Ini adalah batas kekuatan yang mampu ditanggung dunia.
Pada suatu saat, bagaikan mata air di tengah gurun, Dao Surgawi menawarkan pintu jalan untuk dilaluinya.
Apa yang menanti dirinya setelah memasuki pintu itu adalah kekuatan yang luar biasa, kehidupan yang panjang dan abadi.
Namun, tidak ada yang gratis di dunia ini. Setiap tindakan pasti ada konsekuensinya, pasti ada balasannya, pasti ada alasannya.
Benar saja. Sebagai ganti kekuatan yang hampir mahakuasa itu, kebebasannya terebut.
...
"..."
Berdiri di puncak gunung yang melampaui lautan awan adalah seorang pria paruh baya yang tampan dan tampak berkarisma.
Tidak ada fluktuasi energi atau aura apapun yang terpancar darinya, seolah-olah ia hanyalah manusia biasa.
Tidak ini bukan masalah seperti manusia biasa lagi. Itu melampaui konsep biasa, yaitu kondisi di mana dia ada, tetapi tidak ada pada saat bersamaan.
Sebaliknya, keberadaan orang biasa sendiri di puncak gunung ini bukanlah hal yang biasa.
Karena bagaimanapun, gunung itu merupakan gunung pribadi milik sang [Dewa Dunia Bela Diri].
"Sudah waktunya, huh."
Pria paruh baya itu bergumam dengan senyum tipis yang jarang ada di wajahnya.
Wajahnya tampan tiada tanding. Postur dan wibawa yang dia miliki memancarkan keagungan.
Ia berjalan lurus dengan tangan di punggungnya.
"Orang-orang menginginkan kekuatan, mencari keabadian dan mendominasi dunia ...."
Akhirnya, ia berhenti di pinggir tebing yang curam itu.
"Ironisnya, aku, yang telah mencapai segalanya, menginginkan kebebasan semu yang dimiliki makhluk-makhluk fana ...."
Setelah mengatakan ini, dia menghela napas panjang.
Seolah-olah napas ini adalah sumber keberadaannya, tubuhnya perlahan mulai terevaporasi menjadi partikel cahaya, dari ujung kaki ke atas.
Perasaan yang pernah dia rasakan dulu sekali, ketika dirinya menerima tawaran Dao Surgawi, sekali lagi dia rasakan.
Perasaan kebebasan dan kemahakuasaan. Itu adalah perasaan kebebasan sejati di mana kamu bersatu dengan dunia.
Kamu mengetahui segalanya, kamu ada dimana-mana, kamu mampu melakukan segalanya; jenis perasaan itu.
Ini adalah perasaan dari Kemahatahuan, Kemahahadiran dan Kemahakuasaan. Ini adalah tiga sifat keilahian dari kebebasan sejati.
Informasi yang tak terhitung jumlahnya memasuki pikirannya dan mengaburkan kesadarannya hingga membawa ekstasi luar biasa yang jauh melebihi narkoba belaka.
Namun, pada saat yang bersamaan, itu adalah hal yang sangat menakutkan. Karena dalam prosesnya, dia melupakan segalanya.
Namanya, egonya, ingatannya, serta keberadaannya; segala sesuatu tentang dirinya, seolah menghilang dari dunia ini.
Memejamkan matanya, sekali lagi dia bergumam pada dirinya sendiri dengan senyum pahit mencela diri, "Huh, apa yang dari dulu kutakutkan? Apa yang kutakutkan selama ini, ternyata tidaklah seburuk itu ..."
Dan akhirnya, tak ada yang tersisa.
Itu adalah kebebasan sejati yang teramat sangat menakutkan. Mereka yang mencapai kebebasan sejati, bukanlah seorang manusia ...
....
Hari itu, seluruh dunia menjadi gempar karena hilangnya seorang tokoh bersejarah yang membawa umat manusia hingga menjadi ke keadaaan saat ini.
Kekacauan yang lain, mungkin akan terjadi lagi.
Bagaimanapun, selama setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing, ini adalah hal yang tak bisa dihindari.
....
Di ruangan yang gelap dengan minim pencahayaan, seorang anak laki-laki berusia sekitar 15 tahun terbangun dari tidurnya.
Matanya terbuka lebar seolah-olah terkejut, seolah-olah baru saja bermimpi buruk.
Apa yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit yang asing, namun terasa familiar untuk beberapa alasan.
Ketika matanya menyapu pemandangan di sekitar ruangan, bocah itu mengerutkan keningnya dengan kerutan yang dalam.
Diam-diam dia bergumam dengan suara rendah, "Apa yang terjadi di sini? Di mana aku?"
Ketika dia hendak mengingat-ingat, rasa sakit yang tajam menyerang kepalanya—tidak, lebih tepatnya, jiwanya!
Seketika itu juga, fragmen ingatan yang tak terhitung jumlahnya muncul di benaknya, seolah-olah berbagai vidio sedang dimainkan secara acak pada saat bersamaan.
Akhirnya, dia ingat. Dia mengingat identitasnya yang dulu, dan yang sekarang.
Namun, bahkan setelah dia mengingat identitasnya, masih ada satu pertanyaan yang terus mengganjal di pikirannya.
"Tetap saja, apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya dengan suara bingung.
Seperti yang disiratkan di atas, dia memiliki dua identitas.
Yang pertama, adalah kehidupan masa lalunya sebagai Wu Tiankai, [Dewa Dunia Bela Diri].
Dan sekarang, identitasnya adalah sebagai pemuda bernama Wu Yuntian, pangeran pertama Kekaisaran Pedang Malam, yang lumpuh secara harfiah.
Jelas, ini semacam kasus reinkarnasi atau semacamnya.
Memang ada teori dan kepercayaan mengenai reinkarnasi, tetapi tidak ada bukti nyata mengenai itu. Kalaupun ada, itu pastilah orang yang ahli di Hukum Jiwa.
Menghadapi situasinya saat ini, dia tidak bisa menahan diri untuk terus mengerutkan kening.
Bagaimanapun, itu wajar.
Siapapun itu, setelah diangkat menjadi Dewa oleh Surga, jiwa dan tubuh mereka terikat dengan Heavenly Dao (Dao Surgawi). Jadi, sampai hari, yang tidak diketahui kapan tibanya waktu di mana dunia ini hancur, seorang Dewa dapat dikatakan kekal dan abadi.
Namun demikian, meskipun dikatakan kekal dan abadi, bukan berarti mereka tidak bisa 'mati'.
Hanya saja, 'mati'-nya seorang Dewa ini tidak secara harfiah, seperti yang kita tahu.
Setelah memikirkan pertanyaan dasar yang tidak diketahui jawabannya, Wu Tiankai akhirnya menghela napas dan memikirkan situasinya yang sekarang.
"Hmm, nama tubuh ini Wu Yuntian, huh. Hampir menginjak usia 15 tahun. Pangeran Ketiga Kekaisaran Pedang Malam ..."
Wu Tiankai merangkum identitas tubuhnya saat ini.
"Sejak usia muda, tubuhnya sangat lemah. Dan semakin lama tahun-tahun berlalu, fungsi tubuh perlahan memudar."
Kali ini, Wu Tiankai tidak bisa menahan kerutan di dahinya.
"Ayahnya memanggil berbagai tabib dan alkemis dari segala penjuru negeri, tapi tidak bisa menemukan solusinya."
"Akhirnya pada suatu hari, alkemis misterius meresepkan obat yang hanya mampu meredakan gejalanya, tapi tidak untuk akar masalahnya."
Wu Tiankai menyadari kondisi tubuhnya yang lemah, tapi tidak menyangka bahwa kondisinya akan begitu buruk.
Saat ini, kakinya praktis lumpuh, dari pinggang ke bawah, dia tidak bisa merasakan apa-apa.
Sementara itu, tangannya perlahan mulai kehilangan kekuatan dan terasa sangat lemas bahkan untuk mengangkatnya sedikit.