Sudah 2 hari semenjak kepergian Liam. Abel, Athena, dan Ares tetap masuk sekolah, meskipun rasanya agak canggung dan masih ada rasa sedih yang tersisa di diri mereka masing-masing.
Kemarin, Silla baru saja sadar. Mereka terpaksa berbohong dengan berdalih, 'Liam sedang pergi untuk sementara waktu' agar kesehatan gadis itu tidak memburuk. Yah, meskipun pada nyatanya, Liam tidak pergi untuk sementara.
Memang susah untuk membohongi Silla, apalagi kini ia sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi untungnya, mereka berhasil meyakinkan gadis itu.
Seperti biasa, Athena duduk di bangkunya sembari merebahkan kepalanya di atas meja. Kepalanya menghadap ke jendela yang setengah terbuka, membiarkan wajahnya diterpa angin pagi yang sejuk.
Ia menatap ke langit, tersenyum tipis. "Bunda, jagain Liam di sana, ya. Dia masih baru, jadi mungkin bingung sama dunia barunya." Athena terkekeh sendiri.
Tiba-tiba, telinganya terasa dingin dan geli. Athena refleks menoleh. Ia menatap malas pada laki-laki yang baru saja meniup telinganya.
"Apa?"
Sebelum menjawab, laki-laki itu malah duduk di bangku depan Athena sembari menghadap ke arah gadis itu.
"Nggak boleh banyak sedih, makin jelek."
Athena memutar bola matanya, ia kembali menaruh kepalanya di atas meja, seperti awal. Laki-laki tadi tersenyum tipis sembari menatap Athena yang sedang menutup matanya.
"Emang nggak sakit tuh kepala? Sini, tangan gue bisa jadi bantal."
Tidak ada jawaban.
Laki-laki itu menepuk kepala Athena pelan dengan gemas. Athena menepis tangan besar itu dari kepalanya.
"Lo kenapa jadi jahil gini, sih, Bar?"
Bara, laki-laki yang sedari tadi mengganggu Athena itu tersenyum tipis.
"Sifat gue yang gini jarang-jarang, lho, Na. Karena lo tunangan gue."
Athena menghela nafas. Lagi-lagi, ia kembali di ingatkan dengan malam pertunangan itu.
"Waktu itu gue pingsan, dan gue nggak pernah bilang setuju dengan pertunangan itu."
"You are mine."
Athena melirik Bara yang mendadak serius. Hanya sebentar. Setelahnya, ia berdecak pelan dan kembali ke posisi semula.
"Terserah. Yang penting, jangan ganggu gue tidur."
Tanpa Athena ketahui, Bara tersenyum. Entah senyum yang memiliki makna apa. Yah, ia tidak peduli juga.
"Siap bos!"
•°•°•°
"Bel."
Tidak ada sahutan dari gadis yang sedang melamun sembari menatap ke luar jendela itu.
"Pstt, Bel." Laki-laki yang berada di belakang Abel itu kembali memanggil Abel yang sedang melamun, bahkan gadis itu tidak memperdulikan pelajaran yang tengah berlangsung.
Atlas, laki-laki yang sedari tadi memanggil Abel itu memukul Abel pelan menggunakan pulpennya.
Abel tersadar dari lamunannya. Bersamaan dengan itu, guru di depan memanggil Abel.
"Abel! Jawab pertanyaan nomor 2."
Abel yang sedari tadi tidak memperhatikan penjelasan guru matematika wajib itu mendadak bingung sendiri.
Abel menoleh samar ke arah Atlas, sembari berbisik. "Gue nggak paham."
Atlas menggeleng pelan. Sudah ia duga. Atlas menyerahkan bukunya yang sudah berisi catatan-catatan mengenai soal didepan sana.
Abel dengan senang hati menerimanya. Yang penting berusaha dulu.
Guru matematika wajib itu tidak masalah dengan Abel yang menggunakan buku Atlas. Tapi yang menjadi masalah adalah, sudah hampir 10 menit Abel berdiri di depan papan tulis. Dan selama itu, hanya dua baris angka yang baru ia tulis.
Guru itu menggeleng pasrah. Abel menampilkan deretan giginya sembari membentuk jari peace.
"Duduk. Lain kali, jangan melamun di jam pelajaran."
Abel menghela nafas lega. Akhirnya, setelah berusaha memahami soal-soal rumit di depannya, ia bisa duduk, meskipun tidak paham sama sekali dengan cara kerja soal yang baru saja ia kerjakan.
"Maaf, makasih banyak Bu."
Yah, setidaknya ia tidak di hukum.
°•°•°•°•
"Res."
Laki-laki yang sedang menyalin catatan di depan itu mendongak, menatap Athena yang memanggilnya.
"Kantin?"
Ares mengangguk, "Tapi, bisa nunggu bentar?"
Athena mengangguk paham.. "Selesai aja dulu. Gue tungguin." Kata Athena sembari duduk di bangku samping Ares yang sudah kosong.
Athena menopang dagunya menatap Ares yang sedang fokus menulis. Ia tersenyum tipis melihat wajah Ares yang sedang serius. Ia sedikit lega karena hari ini Ares tidak murung seperti hari-hari sebelumnya.
Athena tidak sadar jika ia sedari tadi menatap Ares intens, sehingga membuat Ares menoleh.
"Kenapa, Na?"
Athena terkesiap dan menormalkan wajahnya yang memerah. Ia malu karena terciduk menatap Ares terlalu lama.
"Ng-nggak papa. Cuman ngeliat tulisan lo yang rapiiii banget, rapi dari punya gue." Dalih Athena.
Ares terkekeh pelan melihat Athena yang sedang merona. Entahlah, gadis itu terlihat sangat...lucu?
"A-apa yang lucu?!" kesal Athena setengah malu.
Ares menghentikan tawa pelannya dan menatap Athena dengan senyum tipisnya, "Lo lucu."
"Woi Ares! Lo mau bunuh gue, hah?! Gue baper nih! Tanggung jawab lo!" Jerit batin Athena.
"Cepetan ke kantin! Nanti keburu penuh." Kata Athena, berjalan mendahului Ares menuju pintu kelas.
Ares tersenyum melihat Athena dengan wajah memerahnya. Laki-laki itu menyusul Athena dengan setengah berlari. Ares menggoda Athena dengan bertanya kenapa wajah Athena memerah. Athena beralasan karena cuaca yang sedang panas.
Tanpa kedua orang itu sadari, sedari tadi seorang laki-laki-yang tidak lain Bara- sedang memperhatikan mereka berdua, dari awal. Wajah Bara terlihat sangat tidak bersahabat. "Awas aja lo, Ares." Gumamnya.
Chilo yang berada di sebelahnya menghendikkan bahu acuh. Padahal dirinya dulu sering mengingatkan Bara agar tidak menyesal karena menyia-nyiakan Athena. Chilo yang memang pada dasarnya bodoamat-an itu kembali menulis, meskipun di dalam hatinya ia sudah menduga Bara akan begitu.
"Yah, lagi pula salah sendiri."
°•°•°•
Tiga remaja yang sedang menyantap pesanan mereka itu sama-sama tidak ada yang membuka suara.
Athena yang menyukai ketenangan itu tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan suasana hening ini. Gadis itu menopang dagunya sembari menatap Abel yang berada di depannya. Abel menyantap makanannya sembari melamun, entah memikirkan apa.
"Bel."
Abel refleks mengangkat kepalanya. "Ya?"
"Nanti pulang sekolah mau jalan-jalan bareng?" tanya Athena bosan sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya.
Abel nampak berfikir sejenak. "Boleh."
Athena mengangguk kecil, "Sekalian jenguk Silla."
Wajah Abel kembali murung. Athena yang menyadari itu menghela nafas pelan.
"Jangan terlalu sering murung. Liam pasti nggak suka ngeliat lo yang nggak kayak biasanya."
Abel tersenyum, meskipun agak dipaksakan. "Bener juga."
Athena mengalihkan pandangannya. Abel terlihat kuat meskipun sangat rapuh, di bandingkan dirinya yang hanya bisa mengeluh, padahal kehidupannya sangat-sangat santai.
"Lo hebat, ya."
Abel menatap Athena heran. "Apanya?"
Athena menggeleng pelan, "Nggak papa."
=================♧=============