Setelah sekian lama berkeliling menggunakan mobil Abel, ketiga remaja itu memutuskan untuk berhenti di rumah sakit, berniat menjenguk sekalian menjemput Silla untuk pulang.
Mereka masuk ke ruangan Silla yang tak di kunci. Athena yang sedang menenteng plastik itu langsung mengambil piring dan menaruh seporsi nasi beserta ayam di piring itu. Sedangkan Abel berbincang dengan Silla, guna menghilangkan rasa sepi.
"Makan dulu."
Silla mengangguk dan menyambut sajian yang telah di hidangkan. Gadis itu memakannya dengan lahap.
"Oh iya. Kata dokter, lo hari ini boleh pulang." Kata Abel semangat.
Silla menjadi antusias. "Beneran?"
Abel tersenyum sembari mengangguk.
"Kalo gitu, nanti dia jemput gue, kan?"
Raut wajah Abel terlihat sedikit berubah. Namun, gadis itu kembali menampilkan senyumnya.
"Liam ga bisa jemput. Tapi, kita bakal ngantar lo ke tempat Liam. Gimana?"
Silla nampak berfikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Gue bakal marahin dia karena nggak jenguk gue."
Athena hanya bisa menatap Silla sendu. "Maaf, kami nggak bisa bilang yang sebenarnya secara langsung."
=•°•°•°•°=
"TPU? Ngapain kita ke sini?"
"Maaf, kita ke sini dulu. Gue mau ngajak lo ketemu seseorang." Kata Abel, menguatkan hatinya.
"Seseorang? Di TPU? Siapa?"
"Ikut dulu. Setelah ketemu, lo bakal tau."
Silla mau tak mau mengikuti permintaan ketiga teman kakaknya yang terdengar aneh di telinganya. Jika dia menemui seseorang di TPU, apakah orang itu sudah tidak ada? Tapi siapa?
Abel menuntun mereka ke salah satu makam yang masih terlihat baru. Mereka berempat berhenti di sana. Silla menatap makam itu dengan tatapan tidak percaya.
"Liam." Lirih Silla.
Silla terduduk di samping makam itu. Ia menggeleng pelan. "Pasti salah orang. Dia nggak selemah itu."
"Kak, ini pasti bukan Liam, kan? Nggak lucu tau." Kata Silla sembari menatap Abel.
Abel memalingkan wajahnya yang sedari tadi sudah basah karena air mata. "Maaf."
Silla kembali menggeleng tidak percaya. Ia menatap Athena dan Ares yang berada di sisi yang berlawanan.
"Ini bukan Liam kakak gue, kan? Ini pasti cuman kebetulan karena namanya sama. Kak, Jawab gue!"
Ares menggeleng pelan, sedangkan Athena mendekat ke arah Silla. Gadis itu memeluk Silla yang mulai terisak. Ia menggeleng tidak percaya.
"Kenapa? Kenapa satu-satunya orang yang berharga di hidup gue harus pergi? Kenapa?" lirih Silla.
Athena melepaskan pelukannya dari Silla. Gadis itu menghapus air mata Silla yang mengalir deras. "Maaf, selama ini kami merahasiakannya. Ini salah satu permintaan Liam."
Athena memberikan sebuah kertas kepada Silla. "Dari Liam."
Silla menatap surat itu sebentar, lalu menerimanya. Ia menatap surat di tangannya kosong. "Maaf, bisa biarin gue sendiri dulu?"
Athena mengangguk paham. "Kami tunggu di warung sana." Kata Athena.
Silla mengangguk pelan. Athena mengajak Ares dan Abel untuk meninggalkan Silla yang sedang butuh waktu untuk sendiri.
Silla membuka lembaran yang di lipat itu sehingga terpampang jelas tulisan kakaknya yang tidak terlalu rapi. Ia terkekeh pelan, "Masih bagusan tulisan gue."
Namun, mata dan hatinya tidak bisa berbohong. Dadanya terasa sesak dan membuatnya sedikit kesulitan bernafas. Kenyataan yang sangat buruk.
Silla mengatur pernapasannya secara perlahan. Ia membaca surat itu, surat dari Liam.
Minggu, 28 November 20**
To : Silla
Hai galak
Jangan nangis, makin jelek tau. Gue tau, lo sayangggggggg benget sama gue, makanya Lo nangis, ya kan? Iya dong
"Pede banget lo. Gue nangis sekalipun, bakal tetap cantik." Lirih Silla, meskipun yang menjawab hanya embusan angin.
Semoga mereka ngasih tau tentang gue setelah lo udah mendingan, ya. Kalo nggak, bakal gue gentayangin mereka satu-persatu. Haha
Jangan lupa jaga jantung yang udah gue kasih, ya? Jangan sia-siakan nyawa yang di kasih oleh tuhan. Gue rela, demi lo. Lagian, waktu gue juga sisa sedikit. Dari pada mati sia-sia, mendingan jantung gue buat lo aja. Kalo bisa, hati juga bakal gue kasih. Biar sehati sejantung.
Jangan lupa, jaga kesehatan, makan teratur, ya? Kalo nggak, gue bakal marah, lho.
Ada sesuatu yang mau gue bilang. Mulai sekarang, lo tinggal sama Abel, ya? Gue udah ngomong sama keluarganya. Yah, meskipun tindakan gue ini seenaknya. Tapi, gue nggak mau lo tinggal sama bokap. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Tapi semuanya tergantung lo. Kalo lo nggak setuju, gue gak bisa apa-apa lagi.
Udah panjang banget, ya? Capek nih gue. Makin kesini makin jelek aja tulisan gue. Haha, norak banget pake surat-suratan. Yah, pokoknya jaga kesehatan lo, dan juga jaga jantung gue. Gue bakal selalu hidup di dalam dada lo.
Salam cinta dari : Kakak lo yang paling tampan, Liam Agaskara.
Silla menunduk dalam. Ia menatap bunga yang bertaburan di atas tanah itu sedih. Ia memegang dadanya, di mana jantung barunya berada.
"Kenapa satu-satunya hal berharga di hidup gue harus di ambil? Kenapa?!"
Silla menutup matanya, gadis itu terisak pelan. "Jawab gue, Liam! Kenapa lo cuman diam? Bukannya lo bilang bakal ngasih tau hal yang gue nggak tau? Terus kenapa sekarang lo cuman diam? Mana ocehan lo yang nggak ada hentinya itu?"
"Lo tau? Sebanyak apapun gue ketemu manusia, hanya satu yang bisa ngertiin gue. Cuman lo. Oleh karena itu, jangan tinggalin gue sendiri di sini. Gue mohon, kembali ke sini."
"Gue takut."
°•°•°•
"Bunda, Athena datang."
Gadis yang masih mengenakan seragam lengkap itu berjongkok di depan dua makam yang terlihat sudah tua. Ia tersenyum tipis.
"Ayah, Athena datang."
Athena mengelus batu nisan milik bundanya itu lembut. "Athena gak tau kapan lagi Athena bisa kesini. Mungkin, setelah urusan Alea di raga Athena selesai, Athena bakal tenang dan ketemu kalian."
Gadis yang sedang di kendalikan oleh jiwa aslinya itu tersenyum.
"Tunggu Athena, ya?"
°•°•°•
Dua gadis berbeda usia itu berjalan beriringan memasuki sebuah rumah yang terbilang megah. Silla meremas ujung roknya gugup. Ia takut jika dirinya tidak sesuai ekspektasi keluarga barunya. Iya, keluarga baru.
"Nggak perlu takut. Mereka baik, kok."
Silla menatap kakak barunya ragu. Gadis yang masih duduk di bangku SMP itu mengangguk. Mereka berdua memasuki rumah itu dan langsung di sambut hangat oleh pasutri, yang tentunya akan menjadi orang tua baru Silla, mulai saat ini.
"Kamu cantik banget."
Silla menatap pasutri itu dengan senyum yang sudah terpatri di wajahnya. "Na-nama saya Silla. Salam kenal,"
"Panggil mama aja dan ga usah formal, oke? Karena mulai sekarang kamu anak kami."
Silla mengangguk pelan. "Ma-mama."
Wanita yang sudah kepala tiga itu mencubit pipi Silla gemas. "Imutnya."
Sedangkan laki-laki di belakangnya tersenyum hangat. Ia ikut mendekat ke dua perempuan itu. Ia mengelus kepala Silla lembut.
"Papa sama mama mau pergi ke kota sebelah dulu, ya? Kami bakal usahain buat cepat pulang. Maaf ya, di hari pertama kamu pindah, kami malah pergi."
Silla menggeleng. "Nggak papa. Silla ngerti kok."
Hendrik-Papa baru Silla itu mendekat ke putri sulungnya. Ia menepuk kepala Abel pelan. "Jaga adik kamu, ya?"
Abel mengangkat tangannya dan bergaya hormat. "Siap, Pah!"
"Kalo gitu, mamah sama papah berangkat dulu, ya." Kata Naura-sang mamah.
Silla mengangguk dengan senyum yang mengembang. Ternyata, keluarga barunya sangat baik. Ia kira, ia akan di perlakukan kurang baik karena ia hanya anak angkat. Ternyata ia salah. Padahal, mereka mengangkat dirinya menjadi anak baru kemarin, dan hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Tapi, mereka sangat baik meskipun tidak tau bagaimana sifatnya.
Silla mendadak teringat Liam. Apakah dirinya pantas mendapatkan kebahagiaan ini?
Abel menepuk pundak Silla. "Ayo kita masuk."
Silla tersadar. Ia mengangguk pelan. Mereka berdua memasuki rumah dengan Abel menjadi petunjuk jalan.
"Kak."
Abel berdehem.
"Emangnya, gue pantas dapat kebahagiaan ini?"
Abel berhenti melangkah. Ia berbalik, menatap Silla yang memiliki tinggi sebatas bahunya. "Kamu ngomong apa? Sudah pasti pantas, kan? Kamu terlalu banyak sedih, jadi sudah sewajarnya kamu juga dapat kebahagiaan. Dan lagi, jangan pake gue-lo. Tapi pakai aku-kamu. Tapi kalo mau pake nama juga gapapa, jadi makin imut."
Silla menatap Abel. Ia tersenyum, seakan telah melupakan kejadian kemarin. Yang dimana, orang tuanya tidak peduli mengenai dirinya yang ingin diangkat menjadi anak keluarga ini.
"Benar juga, ya."
===============♤==============