Chereads / Wolfie Hunter / Chapter 6 - Eps. 6 Identitas Erlan

Chapter 6 - Eps. 6 Identitas Erlan

Seusai kuliah, Jenia pun berjalan bersama Erlan keluar dari kampus menuju ke taman bunga yang ada di area kampus, tepatnya di bagian belakang kampus.

Kampus itu sangat besar dan banyak tempat kosong di sana yang dijadikan sebagai taman bunga, kolam, lapangan sepak bola dan lainnya lagi.

"Bukankah itu Jenia? Kenapa dia bersama Erlan?" ucap seorang mahasiswi saat tak sengaja melintasi mereka berdua.

"Aku juga tak tahu. Tapi mereka tidak jadian, bukan?"

"Kurasa tidak. Mana mungkin Erlan mau punya kekasih seperti dia. Apa stok wanita cantik di kampus ini sudah habis?"

"Kapan kalian pernah melihat pria itu jalan sendiri tanpa satu atau beberapa gadis yang mengikutinya. Tidak pernah, bukan?"

Jenia sempat menoleh ke belakang mendengar ucapan mereka.

"Jangan dengarkan atau hiraukan ucapan mereka. Abaikan saja." ucap Erlan seolah bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh Jenia.

Mereka berdua kemudian terus berjalan hingga sampai ke taman bunga.

Di taman bunga, mereka mengobrol ringan sampai 30 menit ke depan.

"Jenia, senang bicara denganmu. Maaf, aku harus kembali karena ada janji dengan temanku." ucap Erlan mengakhiri pertemuan mereka karena melihat seorang pria dari tempat yang jauh dan memberikan kode padanya.

"Ya, Erlan. Aku juga senang bicara denganmu."

Jenia ikut berdiri saat pria itu berpamitan padanya.

"Sampai jumpa. Bolehkah lain waktu aku main ke tempatmu?" tanyanya sebelum pergi dari sana.

Jenia diam sesaat. Ia benar-benar tak menyangka Erlan bicara begitu padanya. Pria itu tiba-tiba saja ingin berkunjung ke rumahnya.

"Ya, datanglah. Aku akan menunggumu." jawabnya dengan malu-malu.

Erlan kemudian pergi duluan. Setelah jauh dari Jenia, maka ia menemui seseorang yang mencarinya, seorang pria tampan.

Mereka berdua tiba-tiba saja menghilang dari sana tanpa sepengetahuan siapapun juga.

Satu minggu berlalu.

Suatu malam Jenia duduk di depan teras di rumah yang dia sewa.

Ia duduk sendiri sembari menatap bunga-bunga yang ia tanam dalam pot.

"Hai, Jenia."

Jenia terkejut sekali dengan suara yang memanggilnya. Hingga ia menoleh ke belakang ke sumber suara tersebut.

"Erlan?!" pekiknya terkejut saat mendapati siapa yang datang.

Pria itu kemudian mendekat sembari melempar senyum manisnya yang melelehkan hati.

"Bagaimana kau bisa tahu aku tinggal di sini?" tanya Jenia.

Selama ini ia tak pernah pulang bersama pria itu apalagi sampai mengantarnya ke rumah.

"Ya, itu bukan hal yang sulit untuk menemukan tempat tinggalmu. Aku sering lewat jalan ini dan aku pernah melihatmu di sini, jadi kukira ini pasti rumahmu." terangnya.

Jenia jadi semakin salah tingkah karena merasa pria itu memperhatikan dirinya. Pipinya kembali bersemu merah.

"Oh, Erlan masuklah."

Ia sampai lupa mempersilahkan tamunya untuk masuk ke rumah.

"Tidak. Di sini saja." tolaknya langsung.

Bagi Erlan duduk di dalam dan di luar rumah itu sama saja. Tapi saat ini ia hanya ingin duduk di teras saja.

Mereka berdua kembali mengobrol dengan di luar topik kuliah. Hingga di tengah pembicaraan pria itu mengungkapkan sesuatu.

"Jenia, sudah lama aku ingin mengatakannya padamu. Aku sebenarnya menyukaimu. Tapi itu terserah apa kamu akan menerimanya atau tidak." ucapnya dengan lancar seolah sering mengucapkan kalimat tersebut tanpa grogi sedikitpun ataupun canggung.

Jenia bengong tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Tak hanya jantungnya yang berdebar kencang, tapi kakinya pun saat itu lemas.

"Mimpi apa aku semalam? Apakah yang diucapkan itu benar? Bagaimana mungkin seseorang Erlan yang tampan menyukai diriku yang jelek ini." batinnya tak percaya juga tak percaya diri.

Lidahnya kelu, tak bisa berucap untuk beberapa saat lamanya dan hanya menatap intens pria yang duduk di sampingnya.

"Apa jawabanmu?" tanya Erlan karena Jenia diam hampir 10 menit lamanya.

"Y-ya, ak-aku mau." jawabnya singkat. Itupun dia sudah berusaha keras menggerakkan lidahnya yang kaku seperti kayu.

Dua minggu setelahnya terlihat mereka sering jalan berdua di kampus ataupun di luar kampus.

Dan tentu saja saat itu menimbulkan kecemburuan para mahasiswa yang ada di sana.

Suatu malam, Erlan datang berkunjung ke tempat Jenia. Karena beberapa kali main ke sana maka ia pun mau masuk ke rumah, tidak di teras lagi.

Jenia mengambilkan susu dari kulkas untuk Erlan.

"Ini, minumlah."

Ia menyodorkan segala susu dingin.

Erlan menerimanya, namun dia tak mau minumnya dan malah menaruhnya ke meja.

"Jenia, aku tak ingin meminum ini. Aku ingin meminum saja." ucapnya dengan mata yang berkilat aneh tak seperti biasanya.

"Apa yang kau katakan itu? Aku tak mengerti bercandamu. Kau aneh sekali hari ini." timpalnya menatap intens pria di depannya.

Erlan tak menjawab. Ia berdiri dan meraih tubuh Jenia lalu merapatkannya ke dinding.

"Erlan, apa yang kau lakukan?"

Erlan tak merespon. Kini ia memeluk Jenia erat. Dengan cepat ia pun mencium leher Jenia.

"Argh!" Anehnya Jenia merasakan sakit saat pria itu mencium lehernya. "Tidak."

Ia pun sampai mendorong Erlan karena merasa semakin sakit.

Jenia kini menjerit saat merasa gigi tajam menembus lehernya juga mencabik dagingnya.

Darah segar mengalir ke lantai dan Jenia ambruk seketika saat Erlan melepaskannya.

"Erlan... Kau.... ternyata bukan manusia." ucapnya terbata-bata.

Erlan tersenyum menyeringai kemudian meninggalkan dia begitu saja.

"Kau menipuku. Aku berharap bisa membalaskan dendam kepadamu."

Setelah bicara begitu, Jenia pun menghembuskan nafas terakhirnya.