Beberapa hari berlalu di kampus. Hampir setiap hari Erlan tak pernah jalan sendiri. Selalu saja ada gadis yang berada di sampingnya.
Entah itu hanya satu atau terkadang beberapa gadis sekaligus.
"Erlan, tunggu aku!" panggil seorang mahasiswi dari kelas bahasa.
Ia mengejar pria itu sampai nafasnya terengah-engah.
"Jacy. Kenapa kau sampai berlari mengejarku?" tanya Erlan berhenti. Kemudian berbalik.
"Ini, aku bawakan kue untuk camilan yang bisa kau makan di rumah. Aku membuatnya sendiri, khusus untuk mu."
Erlan pun menerima kue kering tersebut dan membawanya.
"Terimakasih. Tapi maaf, aku harus segera kembali ke kelas." ucapnya dengan tersenyum tipis.
"Ya, baiklah. Sampai jumpa jika begitu." balas Jacy. Kemudian pergi.
Setelah kepergian Jacy, Erlan kembali berjalan. Ia melewati lorong sendiri dia berjalan dengan tergesa-gesa.
"Menyusahkan saja para gadis itu." gerutunya.
Di tengah jalan saat ia melihat tong sampah, ia pun membuang kue kering tadi.
"Ini bukan makananku." ucapnya sembari menoleh di samping kanan dan kiri. "Untunglah sepi."
Ia pun kemudian kembali berjalan melewati lorong yang sepi saat ini entah kenapa dan kembali masuk ke kelas.
Dari belakang muncul Jenia yang ternyata mengamatinya sedari tadi namun pria itu sepertinya tak mengetahuinya.
"Kenapa Erlan membuangnya? Apa dia tidak menyukainya?" gumam Jenia berhenti di dekat tong sampah.
Ia bahkan membuka tong sampah tersebut untuk memastikan. Dan benar saja, Erlan memang membuang kue kering itu.
Jenia menoleh ke sekitar, "Sepi." maka dengan cepat ia pun mengambil kue kering itu dan memasukkannya dalam tas.
Sebelum ada yang lain melihatnya, ia pun bergegas pergi dari sana.
"Lumayan buat mengganjal perut di malam hari." gumamnya tersenyum tipis.
Jenia kadang tak makan jika uang kiriman dari orang tuanya di luar kota sudah habis. Jadi dia harus mencukupkan uang yang diterima sampai satu bulan lamanya.
Jenia segera masuk kelas karena sebentar lagi adalah pelajaran fisika kuantum.
"Padahal aku belum terlambat tapi kursi sudah pada penuh." gumamnya menatap kursi bagian belakang sudah terisi penuh.
Bahkan kursi bagian depan pun juga sudah terisi.
"Lalu aku duduk dimana?"
Jenia kembali mengedarkan pandangan. Ternyata ada satu kursi kosong, di sebelah Erlan.
"Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku tak mengikuti kelas ini saja."
Jenia berbalik dan akan pergi dari sana karena tak mungkin dia duduk di samping Erlan. Dia sungguh malu sekali jika harus bicara dengannya.
"Jenia..." panggil Erlan.
Sontak Jenia pun berhenti lalu berbalik.
Ia tak yakin jika yang memanggilnya barusan adalah Erlan. Dan ia pun kembali melangkahkan kakinya.
"Jenia! Kau boleh duduk di sini." panggil Erlan kembali. Sebelum gadis itu pergi jauh.
Kali ini Jenia benar-benar berhenti bahkan ia pun masuk kelas.
Erlan melambaikan tangan padanya segera.
"Oh, dia benar-benar memanggilku." batin Jenia. Pipinya memerah.
Ia lalu menghampiri Erlan. Pria itu tersenyum kecil menatapnya.
"Duduklah di sini. Daripada kau tak mengikuti kelas hari ini. Anggap saja kita impas. kapan lalu kau memberikan tempat duduk padaku dan sekarang giliranku." tuturnya kembali tersenyum simpul.
Dan sungguh senyum pria itu membuat hati Jenia meleleh seakan melayang ke angkasa.
"Benarkah? Te-terimakasih." jawabnya gugup.
"Permisi." tambahnya.
Jenia lalu duduk karena dosen tadi sudah masuk ke kelas.
Pelajaran pun di mulai. Tak seperti biasanya dia di situ kah ini tak bisa berkonsentrasi karena duduk dengan Erlan.
Di tengah pelajaran ia merasa matanya pedih lalu melepas kacamatanya.
"Kau terlihat lebih cantik jika tak mengenakan kacamata." puji Erlan tak sengaja melihat kacamata tebal yang kini berpindah di meja.
"Oh..." Jenia tak bisa berkata-kata dan kembali meleleh mendengar pujian dari Erlan.
Jenia pun tersenyum kikuk lalu memakai kembali kacamatanya setelah membersihkannya.
"Dari sekian gadis yang kutemui di kampus ini hanya dia yang tidak agresif seperti mereka semua." batin Erlan menatap Jenia yang kembali fokus menatap papan tulis.
Padahal biasanya setiap gadis yang duduk dengannya selalu mengajaknya bicara ataupun meminta perhatian darinya.
"Ehm." Erlan kemudian kembali fokus dan menatap papan tulis daripada berpikir ke mana-mana.
***
Beberapa hari berlalu, ternyata kini Erlan sudah mempunyai kekasih, Emma.
"Beruntung sekali Emma menjadi kekasih Erlan." gumam Jenia saat melihat pasangan itu di taman kampus.
Hatinya bagai teriris saat melihat pria yang diidamkannya menjalin cinta dengan gadis lain. Tapi dia bisa apa, dia juga sadar diri jika dirinya tidak secantik mereka.
Tiga hari kemudian di kelas terdengar berita yang sangat mengejutkan.
Jenia sedang berjalan menyusuri lorong menuju ke kelas. Sayup-sayup ia mendengar mahasiswa lain yang sedang mengobrol di lorong.
"Kau sudah dengar kabar dari kelas Ekonomi belum?" tanya orang mahasiswi pada temannya.
"Tidak. Ada kabar apa di sana?"
"Emma kekasihnya Erlan dikabarkan meninggal hari ini."
"Benarkah?"
Tak hanya mahasiwa tadi yang terkejut mendengar berita itu, tetapi Jenia pun yang berjalan di belakang mereka ikut terkejut.