Jenia ketiduran di lantai setelah mengerjakan tugas kuliah. Bahkan ia tidur dengan beralaskan buku.
Hingga pagi keesokan harinya barulah dia bangun.
"Astaga!" pekiknya segera duduk.
Melihat lantai di depannya masih berantakan oleh bukunya, maka Jenia pun segera membereskannya.
Satu jam berikutnya gadis itu duduk di depan TV sambil menyantap sarapan pagi sebelum berangkat ke kampus.
Siaran televisi menyebutkan bahwa ada beberapa orang yang meninggal ditemukan 70 km dari hutan.
"Kenapa beritanya tentang kematian lagi?" pekiknya ngeri sekaligus merinding. "Sebaiknya aku ganti ke channel lain saja."
Ia lalu mengganti ke siaran lain karena tak ingin melihat berita pembunuhan lagi. Jujur saja, dengan melihat berita pembunuhan sama saja memposisikan dirinya sebagai korban tanpa sadar. Lagi, dia juga belum ingin mati.
Satu jam berikutnya Jenia pergi ke kampus. Di tengah jalanan, ia melihat Erlan sedang berjalan dengan beberapa orang gadis.
"Pesona Erlan memang tak pernah surut." gumamnya hanya bisa memandang dari kejauhan saja.
Jujur, dalam hati ia juga mempunyai perasaan ingin menjadi kekasih pria itu.
Siapa yang tak ingin menjadi kekasih Erlan yang rupawan dan begitu menggoda?
Sekelompok gadis lewat dan mereka mengobrol.
"Kau tahu tidak sekarang temanku sekelas, Hailey? Dia menjadi kekasihnya Erlan?"
"Apa? Yang benar saja! Dia tidak terlalu cantik. Menurutku dia tak pantas bersanding dengan pria tampan seperti itu."
"Bilang saja kau iri dan ingin menjadi kekasihnya Erlan." timpal mahasiswi lain menanggapi.
Jenia yang saat itu berada satu meter di belakang mereka bisa mendengar jelas obrolan tersebut.
"Jadi Erlan sudah punya kekasih lagi." ucapnya dengan lemas.
Ia berharap pria itu akan mengosongkan waktu agak lama untuk menjalin hubungan lagi, nyatanya dalam beberapa hari saja sudah mempunyai kekasih baru.
"Haah." ia hanya bisa menarik nafas panjang berulang kali entah kenapa dadanya terasa sesak.
Dua minggu berlalu.
Di pagi yang cerah, di Kampus Cambridge kemarin terdengar berita yang cukup menghebohkan.
Seisi kelas jurusan Sains terlihat bersedih.
"Aku sama sekali tak menyangka jika Hailey, teman kita akan pergi secepat ini karena kecelakaan." tutur seorang mahasiswi. Tampak sedih dengan mata yang berair meskipun tidak menetes.
"Semoga saja jiwanya tenang di sana." tutur mahasiswa lain menanggapi.
Berita kematian Hailey pun seketika tersebar ke berbagai kelas dan membuat kampus itu lagi-lagi gempar karenanya.
Berita itu pun sampai ke telinga Jenia.
"Aneh sekali. Dua gadis yang dipacari oleh Erlan meninggal. Apa mungkin ada sesuatu dengan pria itu?"
Tiba-tiba saja ia punya pikiran buruk seperti itu.
"Tidak mungkin. Erlan adalah sosok pria lemah lembut. Mungkin itu hanya kebetulan saja." tepisnya seketika.
Hatinya sudah tertutup oleh rasa cinta sehingga nalar pun tak berfungsi dan menjadikannya bodoh.
Dua minggu berlalu.
Setelah kematian Hailey, sampai detik ini Erlan belum mempunyai kekasih lagi.
"Aku bosan dengan mereka. Sebaiknya aku ganti suasana saja." gumam Erlan sembari berjalan keluar kelas.
Tak sengaja ia pun berpapasan dengan Jenia.
"Mungkin aku akan mencoba jalan dengan tipe seperti ini." batinnya menatap sekilas dengan tersenyum simpul.
Ia pun menyenggol lengan Jenia dengan sengaja.
"Maaf, aku tidak sengaja." bukan Erlan yang minta maaf tapi Jenia.
Gadis itu mungkin memang terlalu polos dan baik hati. Hingga meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dilakukannya.
Erlan tersenyum manis di depannya.
"Oh, Tuhan. Senyuman maut Erlan sungguh membuat ku gila." batin Jenia.
Hatinya seketika berdenyut kencang hanya dengan melihat senyuman pria itu saja.
"Aku yang salah, seharusnya aku yang meminta maaf padamu."
Ucapan pria itu terdengar lembut dan membuat hati Jenia seketika merasa sejuk.
Ia hanya tersenyum meresponnya. Bukannya tak mau bicara tapi tak bisa bicara karena lidahnya terasa kelu, apalagi berdekatan seperti ini dengan Erlan.
"Jenia, maukah nanti setelah pulang dari kampus jalan dengan ku ke sebuah taman?"
Jenia diam seribu bahasa. Bukannya dia tidak mau tapi ini sungguh di luar perkiraannya dan bayangannya. Bagaimana bisa seorang Erlan yang menjadi pujaan setiap wanita, mengajaknya jalan. Terlepas itu hanya sekedar jalan ataukah menjadi kekasihnya.
"Bagaimana Jenia?"
Erlan mengulangi kembali pertanyaannya karena hampir satu menit gadis itu belum meresponnya juga.
"I-itu...ya-ya, aku akan menemanimu jalan ke taman bunga nanti." balasnya dengan gugup juga tersipu.
"Baiklah, sampai jumpa nanti."
Erlan kemudian berlalu pergi melewati lorong dalam berjalan seorang diri, entah ke mana.
Jenia kemudian masuk ke kelas. Banyak pasang mata menatap tajam ke arahnya.
"Hey, kenapa kau menggoda Erlan? Seharusnya kau itu bercermin kutu buku. Kau tak pantas jalan dengan pria seperti Erlan!" hardik seorang gadis.
Ia terlihat benar-benar tidak suka jika Jenia mendekati pria incarannya.
"Tidak, kau salah paham. Kami hanya kebetulan berpapasan saja dan bicara sebentar. Itu saja." kilahnya.
Jenia pun kemudian segera duduk meskipun banyak pasang mata dari para gadis lain yang juga menatapnya dengan tajam.