Chereads / Langit Samudra / Chapter 18 - One time for the present and two times for the past

Chapter 18 - One time for the present and two times for the past

CHAPTER 10: One time for the present and two times for the past

Athalia yang sudah tidak tahan di dalam rumah itu akhirnya pergi. Menjauh dari tempat yang bisa dibilang 'rumah' olehnya. Tidak, itu bukan rumah, batin Athalia. Rumahnya sudah menghilang sejak dulu, seorang yang bisa disebutnya sebagai rumah telah meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini.

Langkahnya mulai berjalan menelusuri daerah yang sangat amat ia kenali. Jalan yang selalu ia gunakan saat bersama lelaki itu. Jalan setapak yang selalu ia lalui pada saat dirinya ingin menjauh dari rumah – ingin tersesat di dalam pikirannya.

Hari semakin malam, handphonenya yang daritadi sudah berdering tidak karuan membuatnya lebih muak untuk pulang, dia ingin kembali kepelukan laki-laki dan istirahat.

Sesungguhnya, hal yang paling melelahkan dari semuannya adalah menginggat sebuah memori. Sebuah kejadian atau peristiwa itu melelahkan, membawa beban sebuah ingatan yang belum tentu orang lain dapat mengingat.

Dirinya dibebankan untuk mengingat sesosok yang sangat ia cintai, lebih dari dirinya sendiri. Sebuah tempat singgah yang amat hangat sekarang harus dingin karena dirinya takut, takut jika suatu hari dia lupa, maka tidak ada yang akan mengingat.

Athalia mulai berjalan menelusuri ingatannya, bernostalgia untuk sesaat bukan hal yang buruk bukan? Perempuan itu, terdiam disuatu halte bis yang sekarang terbelangkai. Tempat ini sangat jarang dilalui oleh orang, kecuali Athalia dan Laskar. Mereka bertemu, berbincang di halte ini, sebuah tempat sederhana yang membawa banyak sekali kenangan indah hingga pahit.

Perlahan dirinya duduk di halte yang sudah tidak layak untuk digunakan, atap dari halter tersebut sudah rusak, akibat hujan yang deras yang bisa jadi menimpah atap halte tersebut, kursi yang dulunya masih bersih sekarang mulai memudar warnanya dan mulai berkarat.

Athalia duduk perlahan yang tersenyum, karena jika dirinya duduk disebelah kiri, makan Laskar akan duduk di sebelah kanan.

Hujan pun turun perlahan, rintikan yang amat sangat ia ingat, sebuah kejadian yang membuatnya sangat bahagia, di hari ulang tahunnya seseorang memberikan hadiah terbaik. Sebuah sentuhan lebut dikening perempuan itu, yang menandakan hari itu, bahwa perempuan itu jatuh cinta.

Perlahan dia menutup matanya sambil merasakan setiap rintikan yang terjatuh dan menyentuh kulih perempuan itu, suara hujan yang sangat amat ia kenal.

Tidak sadar bahwa setetes air mata mengalir dari matanya, membuat perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya.

Sekilas balik untuk bernostalgia, sebuah memori yang menyakitkan tapi dirinya harus melalui karena jika tidak dirinya yang harus dihukum seperti ini, siapa lagi?

Sebuah kesedihan ini adalah hukuman untuknya. Kejadian malam itu, kejadian yang merubah segala, inilah tanggungan dari perbuatan.

Tangisan perempuan itu sayup diantara suara hujan yang mulai deras. Dirinya memeluk badan kecilnya, berharap lelaki itu datang sekali lagi untuk memeluknya, berharap seorang Laskar Alwandra dapat kembali.

Namun, suara cipratan air dan suara mobil yang Athalia dengar, dan akhirnya perempuan itu kebinggungan karena hujan yang tadinya merintik, membasahi badannya telah terhalang oleh sesuatu. Dirinya yang sudah basah kuyup akhirnya menatap sepasang manik hitam yang telah menghantui hari-hari Athalia.

Perempuan itu tidak tahan kuasa akhirnya hanya bisa menetaskan air matanya sambil menatap lelaki yang dari tadi terdiam memperhatikan perempuan itu.

"Laskar, kamu jahat... jahat banget ninggalin aku sendirian dunia ini, kan kamu yang janji untuk tidak pergi." Perempuan itu meraungkan nama lelaki yang sangat ia sayangi.

Sayang sekali, Langit yang berdiri di depannya hanya bisa menatap perempuan itu dan berpikiran bahwa dirinya telah gila.

Langit, yang tiba-tiba ditelpon oleh sekretarisnya mendengar kabar bahwa sekretarisnya melihat Athalia keluar dari rumahnya dengan tergesah, tanpa berpikiran lama, Langit langsung meluncur ke tempat yang dibicarakan oleh sekretarisnya.

Dirinya pun mengikuti perempuan itu dari kejauhan, siap dengan berkas-berkas kertas yang akan dia bawa untuk memaksa perempuan itu untuk menjauhinya. Tapi, apa yang tidak ia sangka adalah perempuan itu mulai menetas air mata, menangis sekeras mungkin, meluapkan kesedihannya.

Lelaki itu pun terdiam ditempatnya sambil memegang payung dengan erat, tidak ingin menganggu, tidak tau darimana asal hati nurani yang tiba-tiba menyerang lelaki itu, tapi dirinya tidak suka.

Tidak suka melihat perempuan itu menangis seperti itu, seperti membuat hatinya sakit melihat perempuan itu menangis. Foto yang dikirimkan oleh sekretarisnya tentang informasi perempuan itu sangat berbeda dengan kondisi perempuan yang sedang menangis.

Foto yang Langit ingat adalah wanita tangguh, yang tidak takut. Seorang yang gigih dan berani, berbanding terbalik dengan perempuan yang sedah menangis di hadapannya.

Tanpa disadari Langkah lelaki itu mulai mendekat, menyodorkan payungnya, membuat dirinya basah kuyup.

"Lo. Kenapa susah sekali dicari, sekali ketemu alasan nama cowok lain," balas Langit dengan dingin.

Athalia yang hanya melihat lelaki yang telah berbicara hanya bisa terdiam, Yaapun, aku hanya berharap waktu tidak secepatnya ini untuk menghukum, berikan aku kesempatan untuk menghela nafas untuk siap menghadapi ini, batin Athalia.

"Kenapa lo kesini?"

"Do you know who I am?" tanya Langit.

Athalia ingin sekali mengangguk, tapi ia mengurung idenya karena orang yang dideoannya itu bukan, lelaki itu.

"No."

"Then, why did you run? Did you do something bad to me?" Lelaki itu bertanya, "What makes you so afraid of me?"

"Lo, gausa ikut campur," Jawab perempuan itu dengan dingin, "It's my problem, tapi gue mohon, lo jangan pernah menghadap gue lagi. You're not him." Bisikan akhir terdengar oleh Langit, membuatnya berjalan lebih dekat kepada perempuan itu.

"I am him."

"Lo bukan dia," tegas Athalia, "You'll never be him."

"You don't know me," Langit berkata, dan perempuan itu hanya tersenyum.

"Lo benar. Lo – lo bukan orang yang gue kenal," perempuan itu tertawa, matanya yang sudah merah itu hanya bisa tertawa pedih, "Lo bukan Laskar, gimana pun cara lo bukan Laskar kan?"

"Seberapa pentingnya cowok itu untuk mu?"

"Lebih penting daripada apa yang gue punya sekarang." Jawab perempuan itu dengan cepat.

"Seberapa hebat lelaki itu hingga membuat lo seperti ini?"

"Lucu," jawaban Athalia yang membuat seorang Langit bungkam.

"Lo gak bakalan ngerti gimana susah payahnya gue harus bawa beban untuk mengingat dirinya. Semua orang menganggap dirinya sudah tidak ada – bahkan tidak pernah ada – disini aku harus mati-matian mengingat dirinya karena aku takut jika tidak ada yang bisa mengingatnya, "Jawab perempuan itu dengan perlahan, "tapi disini cobaan pun datang, seseorang yang memiliki muka yang sama persis dengan dirinya."

Athalia menatap lelaki itu, "Seakan seorang bangkit dari kematian."

"Sebenarnya lo siapa sih? Kenapa, lo punya muka yang persis sama Laskar...Laskar Alwandra?"

Hanya karena dia membenci bunga, dirinya memang dari dulu tidak pernah menyukai bunga, tidak mengerti mengapa, tapi dirinya selalu tidak ingin berdekatan dengan alam, daripada menjelaskan kepada orang tentang ketidaksukaannya terhadap bunga, mending lebih mudah untuk bilang dirinya alergi.

Langit pun binggung dengan situasi ini, dirinya menjadi penasaran dengan perempuan yang ia temui. Dirinya ingin mengetahui lebih tentang pemiliki toko bunga itu dan tentunya seorang yang bernama Laskar Alwandra, seorang lelaki yang memiliki muka mirip – bahkan sama – dengannya.