CHAPTER 12: Perjanjian untuk sang Fajar
Sembari menatap toko yang telah dilantarkan selama beberapa hari, Athalia akhirnya keluar dari kamarnya. Dirinya sudah merasa lelah untuk takut, dirinya sudah pasrah harus selalu tunduk dengan perasaannya yang masih tidak bisa damai dengan otaknya sendiri.
Gimana pun caranya, life goes on.
Seperti lautan yang membawa kenangan, it flows, and it will never stop.
Athalia yang juga harus berterimakasih dengan kakak tertuanya yang sudah menemani dirinya malam itu, menjadi tempat sandaran bagi dirinya yang sangat rapuh. Menjadikan kakak lelakinya untuk berkeluh kesah tentang hatinya yang masih tersakiti.
Tidak ada seorang pun yang berhenti untuk bertanyaan keadaannya, seakan dirinya harus susah payah menjadi orang terakhir yang harus menyelesaikan masalah masa lalu.
Hingga pada akhirnya, hati perempuan itu harus lebih kuat dari kedua kakak lelakinya. Seorang yang membangun benteng lebih tinggi dari Gunung Everest dan lebih dalam dari Mariana Trench.
Karena sejujurnya, berpura untuk baik-baik saja itu lebih menyakitkan daripada mengungkapkan kalau kita tidak baik.
Hari ini, dia bertekad untuk membuka tokonya, dan melupakan seseorang yang telah menghantuinya, kali ini dia harus lebih tangguh.
Dirinya pun menjalani seharian dengan tenang, Irena yang selalu menelpon dirinya dan menanyakan keberadaannya pun juga akhirnya berhenti memborbadir perempuan itu. Rekan karyawannya pun tidak ada yang berani menanyakan lebih lanjut kabar bosnya yang tiba-tiba menghilang, mereka lega melihat bos mereka sudah tersenyum lagi.
Hari pun sudah mulai malam dan Athalia menawarkan seluruh karyawan untuk pulang lebih awal, dimana dia akan menutup tokonya untuk hari ini, Namun sebelum dirinya menutup kasir untuk hari ini, suara bel masuk datang.
"Mohon maaf, untuk sekarang toko sudah tutup."
"Tutup? Bukanya anda tutup jam 10 malam? Ini baru 9.58," Suara yang jelas membuat Athalia terdiam hanya pura-pura untuk tidak acuh.
"Mohon maaf, café sudah tutup."
"Apa anda akan lari lagi, jika saya datang?"
"Mohon maaf, caf su –"
"Jawab saya dengan benar Athalia Ledger, apakah anda akan merusak nama keluarga sendiri karena sopan satunmu tidak ada?" Suara lantang lelaki itu membuat perempuan itu hanya menggelengkan kepala.
"Apa anda juga mau merusak nama yang lo bangun susah-susah, Langit Samudra? Bukan ide yang bagus bukan jika gue memberikan video klip anda masuk ke café gue dengan secara paksa?"
"Akhirnya anda tau siapa saya."
"Gausa sok formal, gue bukan kolage bisnis lo." Perempuan itu mendengus dengan kesal sambil menatap kearah lain, tidak ingin menatap lelaki itu.
"Athalia susah sekali untuk menemui anda," lelaki itu mulai berbicara, "Banyak sekali yang bilang perempuan dingin yang baik hati, banyak yang ingin menjadi anda, tapi apakah mereka tau perempuan di depan saya tidak menunjukan sisi Ledger?"
"Kalau lo disini cuman mau bahas yang gak guna, mending lo keluar, gue mau pulang."
"Baik, akan saya antar anda pulang," lelaki itu setuju, "Lebih baik jika kita berbincang di mobil saya. Saya harap anda tidak keberatan jika saya membawa ferarri saya, memang mobilnya kurang nyaman."
"Gue gak mau pergi kemana-kemana dengan lo."
Lelaki menatap perempuan itu dengan kesal, isa mengira mobil ferarri cukup untuk membuat perempuan itu untuk mengikuti dirinya, bukannya semua perempuan suka jika lelaki menggunakan mobil Ferrari untuk menjemputnya?
Sialan, dia akan menghabisi Haekal yang sudah merekomendasi mobil itu untuk dipakai.
"Apa anda serius tidak ingin menatap saya saat berbicara?" Lelaki itu bertanya, sambil memaksa dirinya untuk masuk ke konter mendekati perempuan itu, "Tidak sopan."
"Yang gak sopan itu elo yang tiba-tiba masuk ke konter café gue!"
"Bagaimana tidak? Anda tidak mau menyambut saya dengan ramah, saya adalah customer disini, the customer is king," dia tersenyum.
"King my ass, gue gak mau lo datang disini lagi!" Athalia membentak, "Tolong, hidup gue sudah susah, jauh-jauh dari sini."
"Saya jauhi, jika anda menutup toko anda."
"Kenapa? Kenapa gue harus menutup tempat ini?" Perempuan itu akhirnya menatap lelaki itu dengan tatapan menantang, "Siapa lo? Siapa yang berani mengambil hak gue untuk bahagia, untuk dia?"
"Gue gak suka bunga."
Perempuan itu menatap lelaki itu dengan tatapan yang kaget, dirinya terkejut dengan alasan mengapa beberapa minggu ini hidupnya tidak tenang, "You're not him," perempuan itu berbisik.
Lelaki itu menatap kedua manik perempuan itu dengan intens, pernyataan itu lagi yang dilontarkan, sebelum perempuan itu meninggalkan lelaki itu, lengannya ditarik oleh lelaki itu.
"Why do you always think, I'm not him?" Perempuan itu menatap kearah lengannya yang dicengkam oleh lelaki itu dengan kuat.
"Lihat, bahkan dirinya tidak pernah sekasar ini," Athalia melihat kearah lelaki itu. Langit tanpa sadar langsung melepas pergelangan tangan perempuan itu, melihat dirinya sudah melukai perempuan itu langsung menatap perempuan itu.
Tapi dimuka perempuan itu tidak menunjukan raut wajah apapun, datar.
"Saya minta maa-"
"Lo gausa kesini Langit, untuk apa lo susah kesini?" tanya perempuan itu perlahan, "Lo bisa minta asisten lo aja yang datang, please, lo boloh coba terus untuk mengusir gue dari sini. Tapi gue punya alasan untuk disini. Kalau lo gak punya alasan untuk mengusir, terus siapa yang salah?"
Benar kan perkataan perempuan itu? Dengan alasan apa Langit harus bolak-balik turun tangan, Sekali pun mengurus pekerjaan, jika tidak penting, dirinya tidak akan membuang waktu untuk turun tangan. Apa gunanya mempunyai asisten jika dia sendiri yang akhirnya turun tangan.
Tapi tanpa disadari, lelaki di depannya ini selalu berada di dekatnya, seperti apapun yang terjadi takdir memanggil kedua manusia yang saling tidak kenal untuk bertemu. Mungkinkah akhirnya mereka bertemu untuk merekreasi kenanangan buruk?
"Tell me about him."
"Siapa."
"Laskar Alwandra, the person who have hurt." Lelaki itu berkata tiba-tiba, membuat perempuan itu menatapnya dengan tidak percaya.
"Kenapa lo harus tau, you don't know him."
"Lalu? Buat saya mengerti. Siapa lelaki yang tidak memiliki etika, membuat seorang perempuan menangisi dirinya."
Athalia menatap sinis ke lelaki itu, "Lo gak berhak untuk berkata gitu, lo gaada apa-apanya dengan Laskar. Lo cuman punya mukanya, tapi orangnya? You'll never be as better than him."
Malam itu, hujan mulai turun dengan deras, sebuah perkataan yang akhirnya menggerakan sesuatu, sebuah pertanda, sebuah pernyataan yang memulai semuanya.
"I will. I will be better than whoever he is. Karena mau bagaimana pun, dia sudah kalah telak dengan diriku. Saya disini Athalia Ledger, where is he now?"
"Langit Samudra, if that is your name now. Please let me go." Perempuan itu berkata, "Kita cuman sepasang insan yang tidak sengaja bertemu, jadi biarkan ini sampai sini saja, tolong. Gue gak apa yang bakalan gue lakukan kalau suatu harus kehilangan lagi. He's enough."
Lelaki itu terdiam dengan kata-kata terakhir perempuan itu, "Biarkan Laskar aja yang mengisi kenangan itu, tolong jangan sekali lagi. Aku sudah gak sanggup."
Hati lelaki itu mulai berdebar dan cuman ada satu pertanyaan di kepalanya, who hurt her so bad? Sampai perempuan di depannya itu harus memikul beban sebesar itu?
Athalia Ledger, I'm never going to let you go. Itulah janji yang lelaki itu buat malam itu, menatap perempuan yang sudah diambang kesabarannya.