CHAPTER 9: Can't you see me?
"Adek? Berapa lama lagi kamu bakalan menghindar dari ini semua?" Seorang lelaki berdiri di ambang pintu adiknya yang telah menyelimuti dirinya dari semua masalah yang menimpahnya.
"Kalau aku bisa lari, kenapa aku gak boleh lari?"
"Terus lo gimana dek? Bakalan lari dari masalah terus? Masalah itu gabisa kamu bawa lari, gimana cara ngadepin dunia kalau kamu masalah kecil aja menghindar kayak penyakit!" Mikael yang berdiri diambang pintu adiknya masuk dengan paksa. Ia terpaksa duduk di ujung tempat tidur adiknya.
Mikael, yang barusan pulang dari bertugas diluar negeri, harus dikejutkan dengan telpon dari ibu mereka yang memohon dirinya untuk pulang lebih cepat karena adiknya yang menangis sesunggukan di rumah. Mikael yang waktu itu berniatan untuk bertemu investor perusahaan langsung meluncur ke kediaman keluarga Ledger.
Dirinya yang langsung mencari adiknya yang nangis gak karuan itu telah mengunci diirnya di kamar. Untung saja, Mikael tau sifat adiknya yang selalu melarikan diri dari apa yang membuat dirinya takut. Itu sifat si paling kecil keluarga Ledger, untuk lari dari masalah.
Setelah di briefing oleh teman Athalia tentang kejadian Mikael langsung terdiam di tempat. Tentu, berita tentang seseorang bernama Laskar sudah bukan berita asing untuknya, bagaimana tidak. Orang yang sudah menghancurkan hidup adiknya itu tetap mengusik adiknya bahkan setelah dirinya tidak ada.
Mikael, orang yang paling membenci Laskar itu tidak mengerti kenapa adiknya harus cinta mati kepada lelaki yang bahkan sudah meninggalkan adiknya itu.
Muka masam lelaki itu terpampang, hawa dinginnya itulah yang membuat Athalia tidak ingin berbicara dengan kakaknya yang kedua. Athalia tau, yang bakalan ia dapat dari kakaknya adalah ceramah tiada henti.
Dan untuk sekarang, ia tidak butuh ceramah. Kakaknya bakalan tidak mengerti, tidak ada seorang pun yang bakalan mengerti kehilangan orang yang paling disayangi.
"Kakak kalau emang kesini cuman buat tengkar sama aku, mending kakak keluar kak, Kakak enggak bakalan mengerti." Jawab Athalia dengan pelan.
"Athalia Ledger," Mikael melihat adiknya itu dengan kesal, "Stop, lo sudah besar! Masa iya kamu mau nangis setiap kali, lelaki itu muncul! Sampai harus halu melihat seseorang yang mirip dengan lelaki itu!"
"Tapi ini bukan mirip kak! Emang itu muka Laskar! Laskar masih hidup!"
"DIEM, LASKAR SUDAH MATI!"
"KAKAK YANG DIEM! KAKAK GA BAKALAN PAHAM. KAKAK EMANG GAK PERNAH MAU PAHAM!" Athalia yang sama kerasnya dengan kakaknya akhirnya berteriak dengan kencang.
"YA JELASIN DEK, KE KAKAK!"
"Sudah!" Suara lantang dari kepala keluarga itu masuk ke dalam ruangan, kedua orang tua kakak adik itu langsung masuk kamar anak mereka setelah mendengar pertengkaran keduanya. "Mikael, kalau kamu disini cuman mau tengkar sama adikmu mending kamu keluar sekarang! Dan kamu Athalia, Papa gamau kamu nangis lagi, kalau kamu gabisa beresin masalah ini, papa kirimin kamu balik ke Singapura!"
Athalia yang melihat keluarganya akhirnya tidak tahan langsung pergi dari tempat itu. Namun, sebelum dirinya bisa pergi ia mendengar sebuah decikan.
"Seharusnya kamu tidak masuk sekolah itu dan bertemunya." Celetuk Mikael. Athalia menatap kepada kakak laki-lakinya.
"Kalau adek diizinkan lagi untuk mengulang itu kembali, aku gak mungkin menolak. Gimana cara menolak seseorang yang sudah menetap di hati yang rapuh ini?"
Mikael yang menatap adiknya itu dengan tajam akhirnya harus rela malam ini membiarkan adiknya pergi dengan tangisan. Sejujurnya, Mikael juga kaget setengah mati, saat tau ada seseorang yang mirip dengan Laskar, diotaknya tidak menemukan penjelasan yang mduah dimengerti oleh dirinya.
Seseorang yang mirip dengan Laskar Alwandra? Bahkan dibilang seolah Laskar Alwandra bangkit kembali?
Itu tidak mungkin.
Kemungkin anak kembar pun tidak memungkinkan, Laskar tidak memiliki kembaran. Mikael sendiri yang mencari tau, lelaki yang telah memikat hati adiknya tentunya tidak akan dibiarkan tanpa ada pengecekan. Bilang aja posesif, tapi kakak mana yang mau lihat adiknya terjebak dengan orang jahat? Apalagi orang yang sama sekali tidak ada background-nya, seorang yang sangat tertutup.
-
"Emang lo ga lihat cewek itu lari dengan ketakutan?" Haekal tertawa disebelah Reyhan yang sudah siap melempar temannya ke sungai terdekat.
"Git…git… gitu mau dapet cewek, mereka lihat lo langsung takut anjir."
"Haekal, satu kata lagi dari mulut lo, gue segel lo," Reyhan memandang temannya itu, dengan sekejap lelaki itu terdiam sambil minum kopinya sembari melihat kedua temannya yang berbincang dengan salah satu staff dari toko tersebut.
Semuanya melihat apa yang terjadi 3 hari lalu, dimana Langit dengan simpelnya menanyakan pertanyaan kepada salah satu staff disitu, tapi yang didapat adalah sebuah cangkir yang jatuh dan staff tersebut berlarian keluar toko. Ketakutan terpampang di muka perempuan itu, seakan dia telah melihat hantu.
Tentunya membuat keempat teman itu kebinggungan. Setelah ditelusuri ternyata, orang yang ketakutan itulah adalah pemilik dari tempat ini, tapi anehnya sudah beberapa hari ini pemiliknya tidak datang, jika ditanya oleh Langit, perempuan itu tidak kunjung muncul.
Langit yang makin kesal dengan perempuan itu akhirnya kembali ke tempat duduknya dengan kesal. Ketiga temannya itu menunggu di meja yang sudah ditempati sejak toko ini buka.
"Sialan, bisnis owner macam apa meninggalkan tempatnya sendiri?" langit ngomel ke Jevano yang sedang duduk menyantap kue yang ia telah pilih sembari menunggu Langit bertanya untuk sekian kalinya.
"Semua orang punya caranya masing-masing, emang dia cuman punya toko ini yang dikelola?" Jawab Jevano.
"Emang gapunya, dia baru buka toko, dan ini toko pertamanya," Jawab Langit dengan percaya diri, "Owner kayak gini bisa menurun omsetnya, beneran tidak professional."
"Lo juga gila Git, bisa aja juga asisten lo yang turun tangan, malah ngajak kita kesini. Untung makanannya enak," Jawab Haekal sambil melahap kue ketiga yang sudah dipesan oleh Reyhan.
"Lo pikir gue sudah berapa kali minta asisten gue buat minta toko ini tutup?" Jawab Langit dengan dingin sambil duduk, "Kalau masalah kecil, gue gak maksa kesini."
Ketiga temannya itu kebinggungan dengan tingkar Langit yang aneh ini. Jevano pun menatap kedua temannya yang menagngguk sambil menatap langit yang sedang menutup mata bersender di kursi.
"Emang ada alasan spesifik kenapa kamu mau tempat ini tutup?" Tanya Jevano, perlahan untuk tidak membuat temannya itu semakin kesal.
"Omsetnya besar?"
"Lo nyembuyiin orang ditanah sini?"
"Bangsat Haekal," umpat Reyhan, "Lo kalau ngomong bisa pakek otak ga sih?"
"Kenapa? Bisa jadi kan."
Langit yang menghela nafas akhirnya membuka mata sambil menatap ketiga temannya yang sudah mati penasaran akan intensinya untuk menutup toko ini.
"Gue alergi bunga."
"HAH?!" Ketiga temannya itu langsung melongo dengan jawaban Langit, dan langsung tertawa.
"Bangsat alasan alergi, kalau satu orang alergi ga datang kesini bos!"
"Yaela Git, gue buang-buang waktu nemeni lo yang punya ketakutan sama bunga. Tau gitu gue sekarang di Maldives anjir."
Jevano yang masih menatap temannya itu akhirnya bertanya lagi, "Lo sungguhan alergi bunga? Alasan lo mau tempat ini tutup?"
"Iya."
"Fix ini temen lo nyembunyiin orang, kal."
"Gue bilang apa, han."