~ Sudut pandang kembali beralih ke Yuuta Maru ~
"Kau sudah tumbuh besar, ya ... Yuuta!"
"Ya, aku setuju. Anak kita sudah mulai dewasa."
"Hehe ... Ayah, Ibu ... aku jadi malu."
Momen itulah yang menjadi momen terakhir Yuuta berbicara dengan orang tuanya.
Sebelum memasuki SMA, Yuuta adalah anak yang pemalu dan sulit untuk berkomunikasi, dia juga selalu gugup saat berurusan dengan orang lain. Orang tuanya selalu mengkhawatirkan kehidupannya di sekolah, mereka selalu menanyai Yuuta tentang itu.
"Aku baik-baik saja sendirian."
"Kau yakin, Yuuta?," tanya ibunya.
"Ya, kehidupan seperti ini tidak buruk juga. Terlebih lagi, aku senang karena memiliki orang tua yang peduli dan perhatian padaku," jawab Yuuta dengan sedikit rasa malu.
Sebenarnya kehidupan Yuuta saat SMP memang terkesan biasa-biasa saja. Dia menjalani pembelajaran normal seperti biasanya, hanya saja dia akan sendirian saat waktu istirahat tiba ... dan juga Yuuta tidak memiliki teman untuk bisa diajak pulang bersama.
Menurut Yuuta, kehidupan seperti itu tidaklah buruk. Dia diperlakukan secara biasa oleh teman-temannya tanpa mengalami hinaan ataupun perundungan yang buruk. Malahan terkadang Yuuta sendiri yang mengabaikan orang yang menegurnya.
Hari itu, saat selesai sarapan ... setelah berbicara santai dengan kedua orang tuanya, Yuuta pergi ke sekolah seperti biasa. Dia menjalani kehidupan sekolahnya sama seperti biasa, dia sendirian saat waktu istirahat sama seperti biasanya. Tapi ...
"Yuuta Maru-kun! Bisa datang ke kantor guru sekarang? Ini darurat!"
"Ba-baik!"
Salah seorang guru datang ke kelas dan memanggilnya, beliau menyuruh Yuuta untuk mendatangi kantor guru karena keadaan yang darurat. Awalnya dia memang bingung dan memutuskan untuk datang saja.
"Yuuta Maru-kun, kami mendapat kabar kalau orang tuamu mengalami kecelakaan dan mereka meninggal di tempat. Kami turut berduka, Yuuta Maru-kun," ucap salah seorang guru yang memanggilnya tadi.
"Ah, begitu?," balas Yuuta dengan tatapan kosong.
Dia merasa sangat terkejut dan sempat tidak mempercayainya. Namun setelah melihat beritanya di televisi ruang guru, barulah Yuuta merasa sangat sedih dan terpukul. Tentu saja dia merasakan hal seperti itu, semuanya terjadi begitu saja dan rasanya pasti sangat berat untuk seorang anak SMP.
[Dikabarkan sepasang suami istri terlibat dalam kecelakaan mobil, mereka diduga telah ditabrak oleh sebuah truk yang menerobos lampu merah. Keadaan mobil rusak parah dan sepasang suami istri itu dikabarkan meninggal di tempat. Polisi dan ambulan sudah berada di tempat untuk mengevakuasi korban, namun sayangnya supir truk melarikan diri ...]
"H-hiks ..."
Tanpa disadari oleh Yuuta, air matanya mulai berjatuhan. Dia menangis tanpa memperdulikan keadaan sekitar lagi, bahkan saat dilihat oleh banyak guru. Para guru juga tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka tidak bisa menghidupkan orang mati hanya dengan mengasihaninya.
"Aku turut berduka, Yuuta Maru-kun!"
Salah seorang guru yang tadi mulai memeluk Yuuta dengan erat sambil menenangkannya. Namun bukannya makin tenang, tangisan Yuuta malah semakin menjadi-jadi.
"HUAAA!! Ayah, Ibu! Kalian bercanda kan?! Ayo kita makan malam bersama hari ini!"
Wajar saja, pelukan biasa seperti itu tidak dapat menenangkannya dan malah semakin memperparah keadaannya.
"Kau ingin mengunjungi orang tuamu di rumah sakit? Aku bisa membawamu ke sana," ajaknya ke Yuuta.
"MEREKA BELUM MATI!!! KENAPA KALIAN BERBOHONG??!!"
Sambil terus melampiaskan emosi dan rasa ketidakpercayaannya, Yuuta mengamuk dan berteriak dengan sangat keras. Menenangkannya akan menjadi hal yang sulit, tapi guru yang merasa bertanggung jawab tidak akan menyerah begitu saja. Yuuta memerlukan sedikit dorongan atas kejadian mendadak yang telah terjadi, itulah yang dipikirkannya.
Dalam keadaan masih dipeluk dengan lembut, Yuuta terus menangis sejadi-jadinya. Perlahan suaranya mulai menghilang karena teriakannya tadi, lalu tak lama kemudian Yuuta tidak sadarkan diri karena energinya banyak terbuang untuk menangis dan berteriak.
"Sudah sadar?"
Sekarang Yuuta berada di rumah sakit karena dibawa oleh guru tadi saat dia sedang tak sadarkan diri, kini dia berada di ruang perawatan tepat berdekatan dengan orang tuanya.
"Si-siapa?"
Dengan keadaan setengah sadar, Yuuta membuka matanya dan menatap seorang polisi yang sedang duduk di kursi saat dia sedang terbaring.
"Tenang, lakukan tanpa terburu-buru, tarik napasmu lalu buang!"
Yuuta masih bingung dengan apa yang terjadi sebelum dia mengingatnya, lalu air matanya kembali menetes saat dia benar-benar mengingatnya.
"Tenang," ucap seorang polisi pada Yuuta.
"HUAA!! HIKS ..."
Yuuta kembali menangis dengan keras menggunakan beberapa energinya yang baru saja pulih.
"Ini memang berat untuk anak SMP, tapi kau harus tenang."
"Hiks ..."
Walaupun Yuuta terus menangis, polisi itu masih berusaha untuk menenangkan Yuuta ... dan dia berniat untuk menyampaikan sesuatu padanya, tentu saja dia tidak bisa melakukannya jika Yuuta terus menangis.
"Tenang, oke? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ucap polisi ini dengan sabar sambil memegang tangan Yuuta.
"Ba-baik!"
Kehangatan tangan polisi itu mampu membuat Yuuta merasa tenang untuk sesaat, jadi tanpa pikir panjang polisi itu mulai menyampaikan sesuatu. Dia melepaskan genggaman tangannya dan mengambil selembar kertas dari kantongnya.
"Orang tuamu bilang, mereka menyayangimu lebih dari siapapun ... lalu ini, pesan terakhir dari mereka. Tenang saja, aku belum membukanya sama sekali. Lalu terakhir adalah pesan dariku sendiri, jika kau kembali menemukan orang yang kau sayangi, maka jagalah dia dengan baik ... untuk melakukan itu, mulailah dengan olahraga ringan di pagi hari!"
Polisi itu menyerahkan selembar kertas itu pada Yuuta dan mengatakan beberapa hal pada Yuuta sebelum dia pergi keluar ruangannya.
Yuuta pun menerima lembaran kertas itu dan mulai meremasnya dengan erat, lalu dia memberanikan diri untuk membukanya.
< Yuuta, jika kau menerima kertas ini ... maka seharusnya kami sudah tidak ada di dunia ini. Kita sudah berada di dunia yang berbeda, jadi kenyataan seperti itu memang pahit. Pesan ini sudah ayah dan ibumu siapkan jauh-jauh hari sebelum kau lahir, kuharap kau bisa memakluminya jika beberapa keadaan tidak sesuai dengan isi pesan ini. Yuuta Maru, jika kau merasa kesulitan ... maka bergantunglah pada seseorang, jika kau menemukan perempuan yang kau cintai ... bisakah kau memperlihatkannya pada kami? Ayah dan ibu akan selalu mendoakan kelancaran hubungan kalian. Dan ini pesan terakhir kami, hiduplah dengan apa yang kau punya ... kami juga minta maaf karena tidak bisa membantumu lagi. Tentu saja, kami menyayangimu! >
Selesai membaca selembar kertas yang berisi pesan-pesan untuknya, Yuuta kembali menangis. Namun kali ini, dia menangis dengan cara yang berbeda.
"Hiks ... Ayah, Ibu. Terima kasih!"
"Hiduplah dengan apa yang kau punya," kata-kata itulah yang membuat dorongan bagi Yuuta untuk terus maju. Selama ini dia terus menahan diri dan merasa malu pada kebanyakan orang, jadi menurut Yuuta dia harus bisa berubah agar orang tuanya tidak kecewa padanya.
Setelah ditinggalkan orang tuanya, Yuuta mulai dirawat oleh tetangganya yang terkadang datang ke rumahnya, begitupun dengan teman-temannya yang merasa kasihan padanya. Mereka membawakan makanan untuk Yuuta, menghiburnya, dan melakukan banyak hal agar dia tidak merasa kesepian.
Kini Yuuta yang dulunya seorang pemalu, perlahan dapat berubah menjadi seseorang yang bisa berkomunikasi dengan banyak orang. Lalu pada saat masuk SMA, dia memutuskan untuk menghapus dirinya yang dulu dan hidup dengan dirinya yang baru.
Faktanya walaupun pemalu dan gugup saat berurusan dengan orang lain, Yuuta yang dulu adalah orang yang selalu menahan diri dan dia menjadi sangat mengerikan saat sedang merasa terancam.