Matahari jatuh di semak-semak
di hutan yang rimbun oleh buih ombak
sementara cahaya semenjana
berenang di permukaan bulan
yang memantul di wajahnya
saat kedatangan purnama
Kekagetan dan kekesalan Raden Soca bukan karena Ratri Geni ternyata adalah juga murid Ki Ageng Waskita dan menerima ilmu Inti Bumi yang sama. Pemuda itu kesal karena gaya Ratri Geni yang menyebalkan saat dia harus menyebut gadis itu kakak seperguruan. Huh! Dasar gadis tengil!
Ratri Geni benar-benar gembira bukan main. Gadis ini seolah menemukan mainan baru yang sangat menyenangkan. Sudah menjadi aturan tidak tertulis di dunia persilatan bahwa tingkatan murid-murid seperguruan cukup ketat di masa itu. Seorang murid yang lebih muda atau belakangan masa bergurunya harus menghormati kepada yang lebih tua atau lebih dulu berguru. Meski murid dengan tingkatan muda tersebut berusia lebih tua dari yang lebih dulu berguru.
Ratri Geni tahu itu. Dia juga tahu bahwa Raden Soca pasti menghormati norma-norma itu. Ini saatnya membuat pemuda itu takluk kepadanya. Tanpa terasa Ratri Geni terkikik-kikik membayangkan betapa patuhnya pemuda bangsawan ini kepadanya.
Berbeda dengan apa yang dipikirkan Raden Soca. Pemuda ini sedikit merinding memikirkan betapa gadis ini bisa dengan semena-mena menyuruhnya mengerjakan hal-hal yang aneh dan tak masuk akal. Raden Soca bergidik. Dia memasuki masa terkelam dalam hidupnya.
"Sekarang, buatkan aku sarapan yang enak, adik seperguruan! Perut kakak seperguruanmu ini sudah lapar sekali." Suara Ratri Geni memecahkan lamunan Raden Soca. Suara yang terdengar begitu mengerikan baginya. Uh! Pemuda ini mulai menghitung, satu.
Namun dengan patuh pemuda ini pergi ke dapur dan mulai membuat makanan untuk sarapan Ratri Geni. Gadis ini dengan santainya duduk di serambil sambil menikmati pesisir selatan yang damai dan indah. Matanya menyapu permukaan lautan yang tenang. Pikirannya merancang apalagi yang harus diperintahkannya setelah ini terhadap Raden Soca.
Raden Soca keluar sambil membawa nampan berisi pisang rebus dan minuman hangat. Ratri Geni tersenyum manis. Terlalu manis malah. Cenderung sangat mengejek di mata Raden Soca yang meletakkan nampan sambil membungkukkan tubuh.
"Silahkan, Tuan Putri."
Ratri Geni hanya mendengus ringan. Mencomot pisang dan meraih minuman. Menikmatinya tanpa berkata sedikitpun. Raden Soca bengong. Pemuda ini menyabarkan diri lalu duduk di sebelah Ratri Geni. Menunggu apalagi yang akan dilakukan gadis tengil ini.
Ratri Geni memang sudah punya rencana baru lagi untuk membuat hidup Raden Soca tidak mudah. Tapi nampaknya itu harus menunggu. Cuaca cerah tiba-tiba meredup. Angin yang tadinya sepoi-sepoi semilir, mendadak saja mulai berubah ganas. Mendung hitam tebal seolah dikumpulkan oleh angin di atas pesisir pantai tempat mereka berada. Kabut putih berduyun-duyun tiba ke pantai. Disorong cepat dari arah laut.
Ratri Geni memicingkan mata. Mencoba memusatkan perhatian pada mata batinnya karena gadis ini merasa sesuatu yang tak biasa sedang terjadi. Raden Soca bahkan bangkit dan melangkah keluar rumah dan berdiri di halaman. Dahinya berkerut dalam. Pada bulan-bulan seperti ini, cuaca akan nyaris selalu baik-baik saja. Musim di mana para nelayan memperoleh hasil tangkapan yang memuaskan. Apa yang terjadi sekarang ini, adalah cuaca ketika musim sedang sangat tidak bersahabat terhadap nelayan. Brutal dan mematikan.
Angin menderu-deru menyapu pesisir pantai di depan Ratri Geni dan Raden Soca yang berdiri bersisian memperhatikan perubahan cuaca yang tidak masuk akal ini. Pakaian dan rambut kedua muda-mudi ini berkibar-kibar keras. Terjangan angin semakin dahsyat. Dibarengi oleh suara ledakan petir pertama. Diikuti petir-petir lainnya yang meraung tak henti-henti. Ratri Geni dan Raden Soca saling berpandangan. Sesuatu yang sangat besar sedang mengincar mereka berdua. Entah apa itu, tapi sebaiknya mereka bersiap menghadapinya.
Buih-buih putih pecah di pantai yang landai dengan kekuatan yang tak masuk di nalar. Gelombang lautan mengamuk dahsyat. Telinga Ratri Geni dan Raden Soca yang tajam menangkap suara lain di sela-sela badai yang menggila. Suara ringkik kuda! Berulang-ulang! Kembali Ratri Geni dan Raden Soca saling berpandangan. Ini bukan cuma sesuatu yang besar. Namun peristiwa luar biasa sedang menuju ke arah mereka.
Jarak pandang yang pendek karena kabut putih tebal tidak menghalangi pandangan Ratri Geni untuk melihat sebuah kemilau keemasan di atas laut bergerak menuju pantai. Gadis ini belum tahu itu kemilau apa, tapi samar-samar itu seperti sebuah benda mirip kereta yang diayun gelombang kencang. Ratri Geni mengerahkan hawa sakti ke penglihatannya.
Bukan! Benda mirip kereta itu memang kereta. Tapi bukan bergerak diayun gelombang. Kereta itu ditarik oleh delapan ekor kuda berwarna putih bersih! Ratri Geni tercekat hatinya. Dia teringat cerita ayahnya dulu saat berada di Pantai Plengkung. Hal yang persis sama seperti cerita ayahnya sedang terjadi di sini. Ratu Laut Selatan sedang berkunjung.
Raden Soca sedikit memucat wajahnya. Dia sudah punya firasat semenjak cuaca berubah dengan tiba-tiba bahwa Ratu Gaib itu akan muncul di pantai ini. Namun apa yang menjadi tujuannya? Dia pernah beberapa kali menerima pelajaran kanuragan dari Ratu Laut Selatan sendiri. Sang Ratu menyukai bakatnya sehingga mau mengajarinya secara langsung ilmu pukulan Kala Hitam dan Palung Misteri. Dua pukulan, terutama yang terakhir, jarang sekali digunakannya untuk bertempur karena sangat ganas dan mematikan. Palung Misteri merupakan ilmu kanuragan yang diaduk bersama ilmu sihir gaib aneh laut selatan. Raden Soca sudah berniat dalam hatinya untuk tidak menggunakan kedua pukulan mengerikan itu kecuali dalam kondisi sangat terpaksa. Dia lebih menyukai jurus-jurus pukulan Bayangan Matahari yang diajarkan oleh ayahnya.
Badai makin menggila. Raden Soca memutuskan berjalan mendekati pantai. Dia tidak ingin rumah orang tua asuhnya hancur diterjang badai yang mengiringi kedatangan Ratu Gaib itu. Ratri Geni mengikuti Raden Soca. Seluruh urat syarafnya menegang. Hawa sakti dalam tubuhnya berputar-putar kuat. Sejak tadi Ratri Geni telah merapal Ilmu Sihir Ranu Kumbolo yang siap setiap saat untuk digunakan.
Suara ringkik kuda makin keras dan selalu berbarengan dengan ledakan petir sehingga telinga orang awam sama sekali tak bisa menangkapnya. Anehnya, petir hadir bersahutan dan meledak di mana-mana namun tak ada setetespun air hujan yang jatuh. Cuaca sangat buruk ini sama sekali tak membawa hujan. Satu hal yang tak masuk akal jika melihat betapa tebalnya mendung hitam yang menggelayut rendah.
Raden Soca merendahkan lututnya sebagai tanda menghormat dalam menyambut kedatangan Ratu Laut Selatan yang belum juga tiba. Suara ringkik kuda sekarang ditimpali juga oleh derit roda kereta. Ajaib! Derit roda di permukaan lautan yang semuanya air?!
Ratri Geni menajamkan mata batinnya melalui Ilmu Sihir Ranu Kumbolo. Dia telah mendapatkan petuah dari ibunya. Jika menemui situasi yang sangat dahsyat berkenaan dengan sihir, maka dia harus segera mempersiapkan ilmu sihir langka Ranu Kumbolo sedini mungkin.
Ledakan cahaya yang luar biasa menyilaukan terjadi di pantai tempat Ratri Geni dan Raden Soca berada. Sebuah kereta kencana megah dan berkilau keemasan yang ditarik oleh delapan ekor kuda putih nampak berhenti. Badai dahsyat, petir mengerikan, dan kabut pekat mencapai puncaknya seiring dengan tibanya kereta Sang Ratu.
--****