Chereads / Trilogi Langgam Amerta Agni-Bara & Hima / Chapter 22 - Bab 22-Kekacauan demi Kekacauan di Pantai Selatan

Chapter 22 - Bab 22-Kekacauan demi Kekacauan di Pantai Selatan

Kekacauan pernah dicatat sebagai sejarah

kericuhan mempunyai halaman tersendiri dalam bab-bab di buku-buku

kegaduhan memiliki ruh yang bertebaran di mana-mana

menimbulkan sengketa, perselisihan, bahkan peperangan

lalu melahirkan pusara-pusara dan batu-batu nisan

Matamaha Mada tersentak kaget. Pukulan pemuda ini luar biasa dahsyat. Serupa dengan Badai Srengenge hanya saja lebih mematikan karena dilepaskan oleh hawa sakti tingkat tertinggi yang jarang dipunyai orang. Nenek gila itu melontarkan tubuhnya jauh ke belakang. Mengadu pukulan dengan pemuda yang memiliki hawa sakti sebesar itu sama saja dengan bunuh diri.

Kenapa banyak sekali anak muda sakti yang dia temui akhir-akhir ini? Pemuda setengah siluman yang dihadapinya di Padepokan Maung Leuweung itu juga luar biasa tangguh. Gadis yang sering senyum mengejek itu bahkan lebih hebat lagi. Ilmu Lingsir Wengi dan Tiwikrama miliknya dibuat buyar seketika oleh pukulannya yang aneh bukan main.

Ayu Kinasih yang sekarang berubah menjadi wanita setengah gila berteriak-teriak marah karena semua pukulannya bisa dihindarkan oleh gadis yang sedikit lebih muda darinya ini. Tingkatan ilmunya sudah termasuk sangat tinggi semenjak dilatih secara keras oleh Guru Mada.

Pertarungan itu berjalan seru meski Ratri Geni sama sekali tidak berusaha melukai Ayu Kinasih. Entah kenapa dia merasa iba kepada wanita yang sedang hamil itu. Sorot matanya yang liar menggambarkan kepedihan teramat dalam.

Putri Anila dan Putri Aruna yang sudah terbebas dari pengaruh Lingsir Wengi menyaksikan dua gelanggang pertempuran itu dengan tatapan takjub. Merasa bahwa ilmu mereka yang mereka anggap sudah sangat tinggi, masih berada di bawah orang-orang yang sedang bertempur itu. Kedua wanita itu diam-diam memberi isyarat kepada para prajurit agar meninggalkan tempat yang berbahaya ini. Mereka sangat khawatir orang-orang lihai ini punya tujuan ke Pulau Kabut dan berusaha membebaskan sandera mereka.

Segera saja tempat itu menjadi sepi tanpa penonton. Raden Soca menyadari hal itu tapi tidak sempat mencegah kepergian Putri Aruna dan Putri Anila. Nenek gila dan sakti ini terus menyerangnya dengan hebat. Meskipun jika berhadapan satu lawan satu begini dia masih bisa mengimbangi atau bahkan mengatasi nenek sakti ini, namun dia sama sekali tak boleh lengah dan pecah perhatian karena bisa sangat berbahaya baginya. Nenek ini punya kemampuan dan pukulan yang luar biasa dan tak terduga.

Terdengar suitan melengking nyaring disusul berhamburnya dua sosok tubuh yang langsung menceburkan diri dalam pertempuran membantu Matamaha Mada dan Ayu Kinasih. Wida Segara menyerang Raden Soca, sedangkan gurunya, Hantu Lautan, menyerbu Ratri Geni. Keseimbangan pertempuran langsung berubah dengan kedatangan dua tokoh sesat ini. Ratri Geni memang tidak terdesak tapi tidak bisa sesantai tadi yang selalu menghindar dan mengelak. Kepandaian Hantu Lautan sangat tinggi. Tokoh setengah siluman itu memiliki kemampuan tak lumrah manusia.

Begitu juga di gelanggang pertempuran lain. Bantuan dari Wida Segara membuat Raden Soca sedikit terdesak. Kalau saja pemuda ini berniat untuk adu pukulan agar pertempuran cepat selesai, mungkin dia bisa mengalahkan kedua orang itu. Tapi pemuda itu memang sama sekali tidak berniat untuk adu nyawa. Dia tidak punya masalah dengan Matamaha Mada maupun wanita muda yang baru tiba ini. Tujuannya adalah pergi ke Pulau Kabut. Bukannya membuat setori di tempat ini dengan mereka.

Saking asiknya bertempur, tak seorangpun menyadari saat sesosok tubuh menyambar Sekar Wangi dan Galuh Lalita yang masih pingsan karena pengaruh Lingsir Wengi yang sungguh hebat tadi. Ario Langit yang sedari tadi menyaksikan secara diam-diam pertempuran sengit antara orang-orang lihai ini, sengaja tidak mau menampakkan diri terang-terangan. Mukanya memerah dan memucat saat melihat di antara mereka yang saling gempur ini terdapat Ratri Geni dan Ayu Kinasih. Dua wanita yang membuat hidupnya sangat rumit.

Ario Langit mengambil keputusan. Dilihatnya Sekar Wangi dan Galuh Lalita dalam keadaan tak sadarkan diri. Karena cemas dengan keadaan dua wanita yang juga mengacaukan hidupnya itu, Ario Langit bertindak cepat selagi Ratri Geni dan Ayu Kinasih tidak melihatnya. Pemuda ini punya kemampuan hebat dan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, namun tetap saja tidak bisa lepas dari pengamatan Ratri Geni dan Raden Soca yang selalu awas dengan apa yang terjadi di sekitar.

Meskipun tidak melihat secara jelas siapa yang membawa kabur kedua wanita yang masih pingsan itu, namun Ratri Geni dan Raden Soca menyadari ada orang lain lagi yang ikut campur namun tak mau diketahui jati dirinya.

Seolah sudah sehati, Raden Soca dan Ratri Geni sepakat melakukan hal yang sama. Keduanya melompat mundur jauh ke belakang lalu bersama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuh pergi dari tempat itu. Menyusul sosok yang telah membawa pergi kedua wanita muda yang pingsan itu.

Matamaha Mada dan Hantu Lautan tidak berusaha mencegah kedua muda-mudi yang meninggalkan gelanggang pertempuran karena menyadari bahwa mereka terlalu tangguh untuk dikejar secara berpencar. Bisa-bisa mereka akan jatuh dalam bahaya besar jika berniat mengejar Ratri Geni dan Raden Soca yang dalam pertempuran tadipun tidak berniat merobohkan mereka.

Matamaha Mada melihat satu perahu kecil yang terdampar agak jauh dan sepertinya ditinggalkan oleh orang-orang Lawa Agung. Nenek gila ini melambai kepada Ayu Kinasih untuk mengikutinya menaiki perahu. Tujuan mereka adalah Pulau Kabut untuk menemui Panglima Amranutta. Ada satu hal yang ingin mereka bicarakan dengan pemimpin Lawa Agung itu.

Hantu Lautan membiarkan kedua guru murid itu menaiki perahu dan mendayungnya ke tengah lautan. Dia dan Wida Segara tidak punya urusan dengan Lawa Agung. Mereka datang ke sini hanya untuk melakukan ritual persembahan kepada Ratu Laut Selatan seperti yang biasa mereka lakukan. Tempat ini merupakan salah satu titik utama untuk bertemu dengan sesembahan mereka itu.

Kembali kepada Ratri Geni dan Raden Soca yang sedang melakukan pengejaran. Keduanya berlari cepat sambil mencari jejak si penculik. Namun sampai saat petang menjelangpun mereka tidak berhasil menemukan jejak orang itu. Raden Soca memandang Ratri Geni sambil mengangkat bahunya.

"Orang itu pandai menghilangkan jejak. Selain itu aku melihat orang itu punya kecepatan lari yang luar biasa. Dia bukan orang sembarangan dan dugaanku dia tidak berniat jahat terhadap kedua wanita itu."

Ratri Geni mengiyakan. Tatap matanya bertanya apa yang selanjutnya akan mereka lakukan. Raden Soca berkata pendek.

"Kita mencari perahu ke kampung nelayan di sebelah sana. Aku kenal baik dengan mereka. Merekalah yang telah mengasuhku sedari kecil jadi aku pikir mereka tidak keberatan untuk meminjami kita sebuah perahu. Hari sudah malam. Kita menginap di kampung nelayan itu menunggu pagi. Terlalu berbahaya menuju Pulau Kabut saat malam. Banyak daerah-daerah berbahaya di sepanjang perjalanan menuju pusat Kerajaan Lawa Agung."

Ratri Geni kembali mengiyakan tanpa bersuara. Setidaknya mereka bisa makan nasi di kampung nelayan. Dia lapar sekali. Raden Soca sepertinya tahu apa yang dipikirkan Ratri Geni.

"Ayo kita berangkat. Kau bisa makan nasi dan ikan lezat sekenyangnya di sana."

Ratri Geni terhenyak kaget dan malu. Pemuda itu tahu sekali aku kelaparan dan sedang memikirkan makanan. Sialan! Memalukan!

--**