Lautan tempat matahari bersembunyi
di lautan pula matahari ditenggelamkan mimpi
Raden Soca dan Ratri Geni terbelalak melihat siapa yang telah menyerang mereka. Seorang nenek buruk rupa dan pincang menatap mereka dengan pandangan liar.
"Hihihi! Siapa kalian?! Kenapa kalian bersembunyi di pohon ini?! Hihihi!" Matamaha Mada tak henti-henti mengikik tertawa seolah sedang melihat kejadian lucu. Ratri Geni jadi geli dan mulai ikut tertawa. Raden Soca menyenggol gadis itu agar diam. Nenek ini bukan orang sembarangan. Ratri Geni menghentikan ketawanya tapi mulutnya masih menyeringai lebar.
"Kami bukan siapa-siapa, Nek. Kami juga tidak bersembunyi. Kami hanya sedang mencari buah untuk dimakan." Raden Soca menunjuk tangan Ratri Geni yang masih menggenggam separuh buah Sirsak. Gadis itu baru sadar bahwa masih ada buah Sirsak di tangannya. Seketika itu juga dilanjutkannya makan buah yang masam namun segar itu. Raden Soca melotot tak percaya!
Nenek itu menghentikan ketawanya. Matanya terus memandang buah Sirsak di tangan Ratri Geni seolah gadis itu telah menculik dan memegang cucunya. Ratri Geni yang pada dasarnya memang sangat usil, mengangsurkan buah Sirsak ke Matamaha Mada dan disambut dengan erangan tangis yang sangat memilukan. Raden Soca makin jengkel. Ditariknya lengan Ratri Geni.
"Maafkan kami, Nek. Kami tidak bermaksud mengganggu. Permisi, kami mau pergi." Raden Soca menggandeng pergi Ratri Geni yang seperti tersengat kalajengking beracun patuh saja diseret oleh Raden Soca. Aih! Kenapa aku jadi gemetaran begini disentuh seorang laki-laki? Gadis itu mengumpat-umpat dalam hati.
Matamaha Mada tidak membiarkan kedua orang itu pergi. Dalam watak dan sikap gilanya, sebenarnya datuk sesat yang sakti ini curiga terhadap muda-mudi di depannya ini. Dia sedang dalam perjalanan ke pesisir selatan ini karena telah berjanji untuk bertemu dengan muridnya, Ayu Kinasih. Namun ketika dilihatnya Ayu Kinasih sedang asik bertempur melawan para prajurit dan sama sekali tidak terdesak bahkan mempermainkan mereka, nenek ini mendengar suara mencurigakan dari tempatnya berdiri. Dilihatnya dua orang sedang nangkring di atas pohon memata-matai muridnya.
Nenek sakti ini mengebutkan lengan bajunya yang kedodoran ke arah Raden Soca dan Ratri Geni yang sama-sama berseru kaget dan melompat tinggi menghindar. Pukulan itu seperti pukulan main-main, namun sesungguhnya angin pukulan itu setajam mata pisau dan bisa mengiris tubuh mereka dengan mudah.
Nenek ini tambah marah melihat kedua orang itu berhasil mengelakkan serangannya. Tubuhnya menerjang ke depan dengan kecepatan tak masuk akal jika melihat kakinya yang pincang, menyerang Raden Soca dan Ratri Geni dengan pukulan bercahaya keperakan yang luar biasa panas.
Ratri Geni lagi-lagi berseru keras. Pukulan ini mirip sekali dengan Amurti Arundaya! Gadis bengal ini menjadi tertarik sekali. Dikibaskannya tangan menyambut pukulan Badai Srengenge Matamaha Mada dengan Danu Cayapata. Raden Soca yang tidak mau beradu pukulan hanya bengong melihat Ratri Geni mengerahkan pukulan dingin luar biasa sedangkan nenek itu mengeluarkan pukulan yang nyaris serupa dengan Pukulan Bayangan Matahari yang diwarisi dari ayahnya.
Matamaha menjerit keras. Gadis muda yang selalu tersenyum mengejek itu ternyata luar biasa! Begitu pula pemuda yang terus saja mengelak itu bukanlah lawan yang ringan. Namun dasar datuk gila, hal ini malah menyenangkan baginya. Matamaha Mada semakin menguatkan Pukulan Badai Srengenge untuk menghajar Ratri Geni.
Ayu Kinasih yang masih bertempur melawan Putri Anila dan Putri Aruna mendengar jeritan yang sangat dikenalnya itu. Tubuhnya digerakkan ke sumber jeritan dan menerjang Raden Soca yang buru-buru lompat menghindar karena pukulan wanita hamil ini tak kalah dahsyat dengan si nenek gila.
Putri Anila dan Putri Aruna mengejar Ayu Kinasih yang telah membuat keributan hebat di pantai tempat menyeberang ke Pulau Kabut itu. Mereka sangat penasaran wanita yang kelihatannya gila itu mampu melayani pertarungan melawan mereka berdua tadi. Langkah Putri Aruna dan Putri Aruna terhenti. Raut muka terkejut jelas nampak di wajah kedua wanita dari Lawa Agung itu melihat Raden Soca, pangeran Lawa Agung, bertempur melawan Ayu Kinasih yang tadi meninggalkan mereka. Di tempat lain tak jauh dari situ, seorang nenek tua gila bertempur melawan gadis muda yang sanggup mengimbanginya dengan baik.
"Ini tidak bagus Anila. Orang-orang hebat berkumpul di sini entah dengan maksud apa. Tapi aku curiga ini ada hubungannya dengan Arya Batara. Pangeran yang tergila-gila dengan kita itu." Putri Aruna tertawa terkekeh. Pangeran Arya Batara yang mereka culik dan sekap di Pulau Kabut telah menjadi budak cinta keduanya belakangan ini. Pangeran yang sangat tampan itu tidak kuat melawan godaan dua wanita cantik yang sudah matang itu dan jatuh dalam pelukan mereka berdua. Panglima Amranutta tahu tapi membiarkan karena tidak mau dua pembantu kepercayaannya itu marah apabila kesenangannya terganggu.
Putri Anila dan Putri Aruna sesungguhnya memang wanita mata keranjang yang menyukai lelaki-lelaki muda tampan. Mereka jarang menemui pemuda seperti itu di Pulau Kabut. Oleh karena itu biasanya mereka pergi ke daratan dan mencari mangsa di Tanah Jawa. Merayu pemuda-pemuda tampan dengan kecantikan dan kemolekan tubuh atau iming-iming keping emas atau perak yang selalu dibawa secara berlebihan.
Putri Anila hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari pertarungan antara Raden Soca dan
Ayu Kinasih yang berlangsung dengan hebat. Raden Soca hanya mengalah dan tidak mau membalas serangan wanita yang terus berteriak-teriak marah tak karuan itu. Raden Soca sama sekali tidak terdesak. Meski Ayu Kinasih beberapa waktu belakangan ini dilatih secara khusus oleh Matamaha Mada, namun tingkat hawa saktinya belum setinggi Raden Soca yang berkelimpahan hawa sakti Inti Bumi dari mendiang Ki Ageng Waskita.
Ratri Geni juga tidak terdesak meski dia sendiri juga tidak mudah untuk merobohkan nenek gila yang luar biasa itu. Ratri Geni harus mengakui bahwa nenek gila ini tidak kalah sakti dengan Nyai Sembilang. Bahkan ilmu pukulannya jauh lebih aneh dan mengerikan karena seolah dilakukan secara serampangan namun sangat berbahaya. Apalagi Pukulan Badai Srengenge yang mampu mengeluarkan hawa luar biasa panas itu.
Sambil melayani Ayu Kinasih yang membabi buta menyerangnya, Raden Soca tidak melepaskan pengawasan pada pertarungan antara Ratri Geni dengan si nenek gila. Hatinya lega melihat Ratri Geni bisa mengatasi keadaan dan tidak terdesak. Sudut mata Raden Soca juga melihat kedatangan Putri Anila dan Putri Aruna yang menonton mereka bertarung sambil berbisik-bisik memperbincangkan sesuatu. Ini kesempatan baik untuk menanyai mereka sebelum bertemu dengan Panglima Amranutta. Putri Anila dan Putri Aruna juga berada di pertempuran Benteng Pangcalikan sehingga pasti tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan kematian ayahnya.
Tapi Ayu Kinasih sama sekali tidak memberi kesempatan Raden Soca untuk banyak melamun. Pukulan Badai Srengenge yang terus dimainkan secara liar dan ganas membuat Raden Soca tidak bisa terus-terusan menghindar. Pangeran dari Lawa Agung ini memutuskan untuk melawan dengan keras. Namun langsung mengurungkan niatnya setelah melihat perut Ayu Kinasih. Perlahan Raden Soca mulai terdesak meski tidak berbahaya sama sekali bagi keselamatannya.
Tak jauh dari sana, jeritan melengking nyaring terdengar dahsyat. Hari yang masih terang mendadak berubah gelap gulita. Keadaan menjadi menyeramkan dan mulai menyebarkan rasa takut. Putri Anila dan Putri Aruna yang berdiri tak jauh dari arena pertempuran juga merasakan hal itu. Tubuh mereka menggigil karena dirambah oleh rasa takut yang sangat tidak wajar.
--