Hutan-hutan yang terluka
tersayat-sayat tubuhnya
dirobek-robek halamannya
dirampas habis kemerdekaannya
bisa saja murka
dengan caranya sendiri
atau meminta langit untuk menghakimi
dengan mengirimkan angin, air dan api
Ratri Geni benar-benar tertidur meskipun tidak pulas. Perut kosong memang sangat mengganggu kenyamanan tidur. Namun mendadak Ratri Geni membuka sedikit matanya. Hidungnya kembang kempis membaui aroma sedap yang menguar di tempat itu. Sima Braja yang sudah kekenyangan pun mengendus-enduskan hidungnya tertarik.
Harimau itu tidak tahan lagi lalu melompat berdiri. Membuat Ratri Geni yang tidur di perutnya terjerembab jatuh. Gadis itu terbangun sambil mengomel tak karuan. Sima Braja tidak peduli. Tubuh raksasanya menghampiri Raden Soca yang sedang tekun membolak-balik ikan dan udang berukuran besar. Aroma wangi yang membangkitkan selera semakin semerbak memenuhi tempat itu. Sima Braja berbaring di sebelah Raden Soca. Menunggu ditawari dan berharap hal itu segera terjadi. Ratri Geni menghampiri dengan wajah cemberut. Mengganggu orang tidur saja!
Namun setiba di tempat Raden Soca memanggang ikan dan udang besar, tanpa basa-basi lagi Ratri Geni mencomot seekor udang paling besar dan mulai menikmatinya dengan sepenuh hati. Raden Soca terperangah. Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal dalam hati. Gadis yang suka berbuat seenaknya sendiri ini benar-benar sangat menarik. Bahkan dengan rambut acak-acakan karena baru bangun tidur saja, Ratri Geni tetap kelihatan cantik manis.
Raden Soca adalah pemuda yang semenjak kecil dibesarkan oleh nelayan sehingga dia tahu tempat-tempat bagus untuk mencari ikan dan udang baik di sungai maupun laut. Pemuda ini sangat lihai menangkap ikan dengan berbagai cara yang dipelajarinya dari nelayan. Karena itu mudah saja baginya mendapatkan ikan dan udang besar-besar di sungai kecil. Ratri Geni kurang jauh pergi ke hulu yang terdapat lubuk dalam tempat berkumpulnya ikan besar.
Raden Soca menyorong beberapa ekor ikan besar ke hadapan Sima Braja yang langsung menggeram penuh terimakasih. Sedangkan beberapa ekor udang dibaginya untuk Ratri Geni dan dirinya sendiri.
Sebentar saja Sima Braja sudah menghabiskan jatahnya. Harimau hitam raksasa itu berdiri dan menggeliat lalu menghampir Raden Soca dan mengusapkan lehernya ke pemuda Lawa Agung itu sebagai ucapan terimakasih. Geraman-geraman rendah keluar berulang-ulang dari Sima Braja. Ratri Geni langsung menghentikan suapannya. Berdiri bertolak pinggang di hadapan Sima Braja sambil mendelik kesal.
"Apa?? Kau bilang masakan bocah ini lebih enak daripada masakanku, Halilintar?! Huh! Kau pengkhianat!" Ratri Geni kembali menikmati udang terakhirnya. Memang sangat enak!
Sima Braja mendengus ke arah Ratri Geni seolah mengatakan iya yang membuat Ratri Geni melengos sebal. Raden Soca tersenyum lebar melihat tingkah Sima Braja dan Ratri Geni. Entah kenapa, dia mulai menikmati perjalanan aneh ini.
Setelah selesai makan, Raden Soca berkelebat dan secepat itu pula kembali sambil membawa beberapa buah kelapa muda. Sima Braja bangkit dan menusukkan ujung cakarnya. Buah kelapa muda yang segar siap dinikmati. Ratri Geni menyambar salah satu dan menghabiskannya sekaligus. Hatinya yang kesal sudah berkurang. Gadis itu menepuk kepala Sima Braja yang menggeram senang.
Malam itu mereka tidur nyenyak karena kekenyangan. Pagi harinya Ratri Geni bangun dalam kondisi segar. Gadis itu pergi ke sungai untuk mencuci muka, tangan dan kakinya. Niatnya untuk menangkap ikan diurungkan karena dari jauh Raden Soca terlihat menenteng satu renteng ikan besar-besar.
Pagi itu kembali mereka sarapan ikan disertai nasi dari beras bekal Ratri Geni. Sima Braja yang bangun terakhir nampak gembira sekali melihat ikan bakar sudah tersedia di hadapannya begitu dia membuka mata. Raden Soca yang mulai terbiasa dengan kehadiran harimau hitam itu, menepuk punggung Sima Braja dengan lembut.
Setelah mematikan api, ketiganya berjalan kembali menembus hutan menuju pantai selatan. Ratri Geni yang kekenyangan memutuskan melompat ke punggung Sima Braja. Dengan santainya gadis itu terlentang di punggung besar harimau hitam yang berjalan pelan. Raden Soca tersenyum lebar lagi. Pemuda itu merasa aneh dengan dirinya sendiri yang mudah sekali tersenyum dan tertawa saat ini. Padahal sejak kecil dia selalu dijuluki si angkuh dingin.
Perjalanan kali ini mulai naik turun bukit dan gunung tinggi. Mereka banyak menjumpai buah-buahan hutan sehingga tidak khawatir kelaparan. Dengan berjalan sesantai ini, perkiraan Raden Soca yang hafal daerah selatan, mereka akan tiba esok hari saat petang menjelang.
Tepat sesuai perkiraan, menjelang petang keesokan harinya mereka mulai mendengar debur ombak dari kejauhan. Hutan mulai menipis dari pepohonan. Batang nyiur tinggi nampak melambai-lambai ditiup angin laut.
Raden Soca dan Ratri Geni mendadak melesat ke atas dahan pohon besar terakhir. Ratri Geni memberikan isyarat Sima Braja agar menyingkir kembali ke dalam hutan. Harimau itu dengan patuh berlari kencang ke arah hutan lebat. Kedua muda-mudi itu bisa melihat dengan lebih jelas dari atas sini. Nampak beberapa orang lelaki gagah sedang bertempur, atau tepatnya mengeroyok seorang wanita muda berambut riap-riapan.
Para lelaki yang berseragam prajurit kerajaan itu kocar-kacir dihajar oleh wanita muda yang kelihatannya sedang hamil itu. Bajunya yang longgar dan berantakan tak mampu menyembunyikan kehamilannya. Namun gerakannya luar biasa lincah dan bahkan sangat ganas. Sudah beberapa kali gebukannya menghajar para pengeroyok hingga tunggang langgang.
Terdengar suitan keras dari arah lautan. Beberapa perahu meluncur dengan kecepatan tinggi. Disusul belasan orang keluar berlompatan bahkan sebelum perahu-perahu itu mendarat di pasir yang empuk.
Prajurit-prajurit yang berseragam sama dengan para lelaki pengeroyok menyerang bersama-sama melihat kawan mereka dihajar habis-habisan oleh wanita hamil dengan pakaian compang-camping dan nampak tidak waras itu.
Meski diserbu oleh sekelompok prajurit berjumlah belasan, wanita muda itu sama sekali tidak gentar. Sambil tertawa cekikikan panjang seperti kuntilanak, wanita itu membagi-bagi pukulan kepada para prajurit yang kaget dan bergelimpangan seperti ngengat yang terkena cahaya lampu besar.
Ratri Geni menyipitkan matanya. Dia sepertinya kenal dengan sosok tubuh ramping tinggi yang sedang hamil itu. Tapi masa iya? Ratri Geni membantah pikirannya sendiri. Gadis itu asik kembali menonton pertempuran yang berat sebelah itu. Raden Soca mengenali seragam prajurit Lawa Agung. Dia memang tidak mau ikut campur karena sama sekali tidak punya ikatan batin dengan kerajaan ayahnya dulu itu. Karena itulah Raden Soca tidak bergerak dari tempatnya. Dugaannya tak lama lagi pasti muncul para petinggi Lawa Agung yang tangguh dan lihai.
Benar saja, tak menunggu lama, sebuah perahu kecil kembali meluncur dari tengah laut dan mendarat di pesisir. Dua orang wanita melompat tinggi dengan gerakan ringan dan langsung menceburkan diri dalam pertempuran. Wanita gila itu berteriak-teriak marah saat kedua wanita itu menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat.
Raden Soca memandang tak berkedip dan memberi isyarat agar Ratri Geni tidak gaduh karena dilihatnya gadis itu mulai menyesap dengan gaduh buah Sirsak yang sempat disambarnya di jalan tadi. Ratri Geni cemberut diperintah diam seperti itu oleh Raden Soca. Gadis ini malah semakin ramai menyesap buah Sirsak yang manis-manis asam itu. Raden Soca menghela nafas. Tak lama lagi pasti persembunyian mereka akan diketahui.
Sebuah angin pukulan yang sangat dahsyat menyambar dahan tempat Raden Soca dan Ratri Geni nangkring sedari tadi. Dahan itu berderak patah sehingga memaksa keduanya berjumpalitan turun ke tanah. Raden Soca memandang kesal kepada Ratri Geni yang nyengir minta maaf kepadanya.
-*********