Sembari menunggu Elisa selesai dengan pekerjaannya, Olivia tadinya disuruh duduk dulu sambil nyemil kue dan minum milkshake. Tapi daripada memperhatikan Elisa yang mondar-mandir bekerja, Olivia kelihatannya sibuk melakukan sesuatu yang lain.
Hina melihatnya sedang menulis sesuatu di kertas. Tapi karena sepertinya bukan sedang belajar atau semacamnya, dia pun menanyakannya dulu pada si kakak. "Itu adikmu sedang apa? Dia kelihatan serius sekali." Katanya.
Penasaran, Elisa pun memutuskan untuk memeriksanya. Tapi tepat begitu dia mendekat ke meja, dia bisa menangkap kalau ada banyak mantra sihir yang tertulis di kertas itu. Buru-buru, Elisa pun langsung berusaha menutup-nutupinya dengan panik. "A-Apa yang sedang kau lakukan? Kalau ada yang lihat bagaimana? Nanti kita dirantai!" Tanyanya panik.
Tapi tidak begitu menghiraukannya, Olivia malah langsung menghilangkan kertas itu ke dimensi lain. "Bukan apa-apa. Aku cuma kirim surat ke Lunia."
"Tidak bisa di rumah saja?" Keluhnya.
"Habisnya kerjamu masih lama…" Keluhnya balik. Tapi saat mereka sedang berdebat begitu, Olivia malah bertemu mata dengan dua orang yang baru saja masuk ke toko. "Ah."
Mengikuti pandangan Olivia, Elisa pun menoleh ke arah pintu juga dan menemukan dua orang gadis dengan seragam yang sama dengan Olivia. "Oh, Olivia!" Sapa salah satu gadis. Olivia ingat namanya karena dia lumayan suka dengan jaket denimnya. Namanya Mary. Kalau dilihat dari caranya yang selalu mondar-mandir di kelas untuk mengobrol dengan semua orang, kelihatannya dia orang yang lumayan populer.
Sekarang saja dia langsung mendekat ke meja Olivia tanpa ragu. "Kau ada di sini juga? Kalau tahu begini Aku dan Nia pasti mengajakmu tadi. Kau sendiri saja?" Tanyanya.
Olivia sempat terdiam sejenak karena masih agak kaget. Tapi kemudian dia menjawab dengan seadanya. "Mm, kakakku bekerja di sini, jadi Aku sedang menunggunya." Jelasnya. "Ini kakakku, Elisa."
"Ahh, halo…" Balasnya yang langsung bersikap sedikit lebih sopan. "Aku Mary dan ini Nia. Kami teman sekelasnya Olivia." Katanya memperkenalkan diri.
Dan seketika, wajah Elisa langsung dipenuhi perasaan bahagia. "Teman Olivia ya? Ya ampun, kebetulan sekali. Kalau begitu kalian duduk saja dengan Olivia. Nanti akan kubuatkan semuanya. Kalian mau minum apa? Cemilannya?"
Nia kelihatan agak canggung, tapi untungnya Mary langsung duduk dengan senang hati. "Kalau begitu Aku mau milkshake coklat. Kalau Nia maunya jus stroberi kan?" Katanya dan temannya pun mengangguk.
"Akan sekalian kubuatkan waffle ya." Balas Elisa yang kemudian langsung pergi lagi ke dapur.
"Kakakmu baik." Komentar Nia kemudian.
"Iya. Tidak mirip denganku kan?" Canda Olivia yang langsung membuat Mary terkekeh. Tapi walaupun keduanya tertawa begitu, entah kenapa Nia seperti merasa kalau mereka menertawakan hal yang berbeda. "Tapi yah, palingan dia hanya terlalu senang karena Aku kelihatan seperti punya teman." Tambah Olivia.
Agak heran, Mary mengangkat sebelah alisnya. "Memang biasanya kau tidak punya teman? Padahal sepertinya kau tidak pendiam-pendiam banget."
"Aku tahu kan…" Balas Olivia yang langsung mengiyakannya dengan ekpresinya agak cemberut. "Elisanya saja yang tidak suka dengan teman-temanku."
"Kenapa? Apa teman-temanmu seperti Fiona semua?" Tanya Nia.
Mendengar nama itu, Olivia langsung mengerutkan alisnya. "Kenapa namanya malah muncul?"
"Aku dengar dari teman sekelas yang lain. Katanya kau lumayan pintar membalas perkataannya saat di kelas." Balas Nia.
"...Habisnya dia mengejekku." Balas Olivia yang malah terdengar mengadu.
"Tetap saja." Timpal Mary. "Yang bisa begitu biasanya cuma Nia dan Hilda saja, kau tahu."
"Hm..." Olivia memandang ke arah Nia sejenak, tapi sebenarnya dia sudah bisa menebak itu sejak di sekolah tadi. "Tapi Hilda itu yang mana?" Tanyanya.
"Yang duduk di depan Fiona. Yang pakai kacamata."
"Ah." Sahut Olivia sekenanya. "Tapi meski begitu, bukankah Fiona agak terlalu kasar? Malah bukan hanya kasar, rasanya dia juga… Mm…"
"Gila?" Celetuk Mary dan Nia bersamaan.
"..." Olivia agak bingung bagaimana mau mengiyakannya. Tapi tepat di saat itu, akhirnya Elisa kembali dengan semua minuman dan cemilan barunya. "Kalau kurang bilang saja ya. Semuanya Aku yang traktir." Katanya yang masih kesenangan.
Tapi Olivia yang mendengar itu pun jadi tergoda untuk meledeknya. "Memangnya kau punya uang? Kau kan baru bekerja di sini tiga minggu."
Sedikit menahan ekspresi kesalnya, Elisa pun membalas, "Lebih tepatnya tiga minggu dua hari, tapi tentu saja Aku punya uangnya. Soalnya Aku habis menjual sesuatu tadi pagi."
Dan begitu saja senyum Olivia menghilang. "...Jual? Apa yang kau jual?"
"Kalau sudah pulang nanti juga tahu." Balasnya sambil tersenyum.
"Bukan cd game-ku kan?" Tanya Olivia lagi meski Elisanya sudah kembali ke dapur. "Awas saja kalau kau betulan menjual cd-ku. Nanti Aku tidak mau makan masakanmu lagi! Bekal juga tidak!" Ocehnya terus. "Grr…"
Tapi Nia dan Mary yang menonton semua perdebatan itu akhirnya agak tertawa pelan setelah berusaha menahannya daritadi. "Kalian agak lucu." Komentar Mary. "Tapi kau suka main game? Sama sekali tidak kelihatan." Tambahnya.
"Kalau Aku sih tidak begitu kaget. Soalnya wajahmu memang agak pucat, jadi kupikir kau mungkin tipe yang suka begadang." Tambah Nia.
Tapi Olivia yang masih kesal kalau-kalau Elisa betulan menjual semua cd-nya tidak begitu mendengarkan mereka. "Padahal dia sudah mengurangi jam mainku jadi 4 jam. Kalau sampai cd-ku dijual juga Aku benar-benar akan mogok makan..." Gerutunya.
"Hm, kau benar. Kelihatannya dia gamer yang agak akut." Kata Mary pelan pada Nia. "Pantas saja kakaknya khawatir kalau dia tidak punya teman."