"Aku Olivia. Kalau kakak?"
"Oh, ah, Tirami… Kau bisa panggil Aku Rami saja." Balasnya.
"Kalau begitu kak Rami..." Kata Olivia memulai. "Aku mau saja langsung pulang dan pura-pura tidak ingat ini semua. Tapi masalahnya dulu Aku pernah hampir mati dibunuh oleh vampir. Benar-benar hampir mati! Jadi tolong pahami sedikit cara pandangku kalau Aku penasaran setengah mati bagaimana manusia biasa seperti kakak bisa berteman dengannya--Dan tolong jangan bilang kalau kalian pacaran atau semacamnya!"
Kaget mendengar Olivia yang serius, Rami jadi agak bingung mau balas apa. Pasti itu sebabnya suaranya jadi agak terbata-bata saat menjawab. "Uh, itu, tapi Miki tidak akan membunuhku kok."
Kembali melipat bibirnya, Olivia kelihatan menahan diri untuk tidak bilang kalau dia tidak percaya dengan itu. Hanya saja karena Rami kelihatan jujur saat mengatakannya, Olivia jadi sulit membantahnya.
Makanya daripada susah-susah bertengkar dengan batinnya sendiri, Olivia pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke rencana awal saja. "Yasudah, kalau begitu Aku pulang sekarang."
"Eh? Eh, tunggu!" Panggil Rami yang kembali menahan lengan Olivia. "Ekskulnya bagaimana? Tidak jadi keluar kan?"
"...Perasaan tadi Aku cerita kalau Aku pernah hampir mati dibunuh vampir? Apa perlu kuceritakan juga bagian berdarah-darahnya?"
"Tapi Miki tidak akan melukaimu kok. Padaku saja juga cuma seminggu sekali--"
"Aaaa! Aku tidak mau dengar!" Sahut Olivia lagi. Tapi seberapapun dia menarik tangannya, anehnya cengkraman Rami benar-benar sulit dilepas.
'Kakak ini juga pasti bukan manusia biasa!' Teriaknya dalam hati.
"--Agh, yasudah, oke!" Teriak Olivia akhirnya. "Kalau kakak bisa jawab pertanyaanku, nanti Aku mau jadi anggota."
"Oh, benarkah?" Sahut Rami dengan ekspresi yang seketika senang dan melepaskan tangan Olivia. "Mau tanya apa? Tanya apa saja!"
Masih merasakan sakit di pergelangan tangannya, Olivia sempat mengumpat dulu dalam hati. Tapi akhirnya dia pun bertanya, "Kakak tahu tempat yang namanya Delirian tidak?"
"Deli… Apa?" Ulang Rami yang jelas tidak tahu apa-apa. Jadi dia pun mulai menoleh ke belakangnya lagi. "Miki, kau tahu itu apa?"
Tidak langsung menjawab, Miki kelihatan mengerutkan alisnya dengan ragu dulu. "...Memangnya kau mau apa?"
"Oh! Kau tahu ya?!" Sahut Olivia yang sudah semangat duluan.
Tapi karena Miki masih saja kelihatan enggan, Rami pun memutuskan untuk mendekatinya dulu dan berbisik pelan. "Kenapa? Kau mengenalnya?"
"Itu lho, yang waktu itu…"
Di sisi lain, meski sudah sangat penasaran, Olivia memutuskan untuk menunggu dengan sabar selagi keduanya terus saja berbisik. Soalnya sebagai sesama manusia tidak normal, wajar kalau mereka jadi waspada terhadap ini-itu.
Sampai akhirnya Rami terlihat menepuk tangannya pelan. "Ah! Yang itu..."
Dan setelah keduanya saling memandang sejenak, Rami pun berbalik duluan ke arah Olivia lagi. "Itu, kami bisa saja mengatakannya…" Katanya memulai. "Tapi kau harus janji untuk tidak mengatakannya pada siapapun kalau kau mendengarnya dari kami."
"Tentu… Tapi memangnya kakak percaya kalau Aku bilang begitu?" Balas Olivia. Dia bukan tipe yang suka melanggar perjanjian. Tapi tetap saja rasanya aneh kalau kesepakatannya tidak seimbang.
"Ah, iya. Tentu saja tidak." Balas Rami yang juga sepemikiran. "Tapi karena kita baru kenal, rasanya sulit untuk memikirkan hal yang bisa dijadikan perjanjian kan ya? Jadi untuk sementara, bagaimana kalau kita pakai yang mudah dulu?"
Olivia sudah merasakan firasat aneh detik itu. "...Misalnya?"
"Misalnya, Aku dan Miki akan membunuhmu kalau kau sampai melanggarnya."
"..."
"Tapi hanya sementara!" Tambah Rami seakan itu bisa melemaskan wajah Olivia yang mulai kaku. "Kalau nanti kita sudah tahu kelemahan masing-masing yang lain, kita bisa ganti lagi."
"..." Olivia sempat melirikkan matanya ke arah Miki seperti minta penjelasan atas keanehan pacarnya yang masih bisa terlihat manis meski mulutnya baru saja melontarkan ancaman mengerikan. Tapi jangankan menjelaskan, laki-laki itu juga malah membuang wajahnya.
Tapi karena masih harus mencari temannya Lunia, Olivia pun terpaksa mengiyakannya dulu. "Tentu, pakai nyawaku saja. Tidak usah diganti juga lebih mudah. Memang apa ruginya? Cuma mati, tidak buruk. Iya." Ocehnya asal.
"Hehe. Bagus kalau kau langsung setuju." Balas Rami yang dengan senangnya menggenggam tangan Olivia lagi untuk meresmikan ancaman--maksudnya perjanjian mereka.
"Aku percaya padamu ya. Soalnya Aku juga sedang tidak ingin mencekik--"
"Iya, iya! Aku mengerti!" Sela Olivia sebelum dia mulai merasa ingin memukul kakak kelas yang baru dia kenal itu. "Sekarang cepat beritahu Aku. Delirian itu di mana?"