12 hari kemudian ....
Liburan asyik sekaligus melelahkan itu akhirnya berakhir. Namun sebelum pulang, Mile mengantar Apo ke rumah sakit. Pelepasan gips membuat jalan si manis sedikit kaku. Namun semuanya baik-baik saja.
"Lebih ringan tidak?" tanya Mile saat menemani Apo di koridor.
"Xixi, enak," jawab Apo. "Nanti juga terbiasa, Phi. Kakiku tidak patah lagi."
"Ngilu juga mendengarnya langsung," batin Mile.
Sebagai orangtua, mereka juga sekalian merealisasikan impian. Jadwal imunisasi Katty yang terakhir dimajukan, toh seminggu lagi sudah genap 4 bulan. Obrolan seputar kesehatan bayi mereka bahas sambil bertolak ke poli anak. Saat itu Mile dan Apo melihat Reba bertugas, sang dokter cantik melerai dua bocah yang bertengkar di bagian mini playground.
"Sudah ya, Bobby. Temannya jangan dipukul lagi. Nanti menangis ...." kata Reba. "Sini dulu, sama Dokter. Giliranmu dapat vitamin warna-warninya."
Bobby yang berumur 6 atau 7 tahun pun beranjak, ditabrak peluknya pinggang Reba manja-manja. Bocah itu digandeng masuk untuk mendapat suntikan khusus (entah apa keluhan medisnya), yang pasti Mile dan Apo gagal fokus ke anaknya karena ikut menemani.
"Huaaaaaaaa!" jerit Bobby, walau awalnya sok kuat. Dia menangis sambil berlari kencang keluar. Ayah dan ibunya baru datang setelah menyelesaikan urusan di meja resepsionis.
"Oh, halo Mileee, selamat datang," sambut Reba. "Silahkan, silahkan. Apa aku harus memanggilmu Pak Presdir di sini?" tanyanya dengan suara manja.
Bukan disengaja, tapi Apo tahu nada bicara Reba begitu sedari dulu. Dia pun turut masuk dan berkenalan langsung dengan si dokter.
"Halo, Dokter."
"Hai, Tuan Natta," sapa Reba, walau ekspresinya agak bingung melihat wajah si manis. Dia menatap Mile seolah pernah melihatnya entah dimana, tapi Apo versi lebih dewasanya.
"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti penasaran dengan istriku," kata Mile sambil terkekeh. "Dia Apo Nattawin, Reba. Pokoknya dia istriku. Apa aku harus menjelaskan detailnya padamu?"
"Ha? Oh ... tidak." Reba tersenyum tipis, walau wajahnya kentara bertanya-tanya. Wanita itu yakin pacar Mile dulu "si Apo" sudah 15 tahunan waktu mereka remaja, tapi kenapa sekarang masih kelihatan bocah? Reba bingung dengan wujud istri Mile yang "awet muda-nya" keterlaluan. Reba pikir, Apo bahkan "lebih vampir" daripada dirinya. "Ya sudah, sini. Ada keluhan dan perlu apa, Mile? Apa aku bisa membantu kalian?"
"Hm, ini soal imunisasi saja. Ini Katty butuuh suntikan terakhir. Katanya 4 kali ya sampai umur 4 bulan? Soalnya yang memegang Katty sebelumnya bukan dirimu, Reba. Sekarang dialih tugaskan," kata Mile.
"Oh, iyaaa."
Mereka pun membahas apa yang diperlukan, lalu Katty disuntik setelah memastikan usianya boleh mendapat injeksi lagi. Sesekali juga bercipika-cipiki terkait kehadiran Lian, Apo bilang tidak ingin keluar dulu selagi anaknya masih menangis.
"Oeeeee! Oeeee! Oeeee!" jerit Katty kesakitan. Baby itu digendong sambil dipuk-puk Mamanya. Jika merengek si manis sigap menenangkan dengan kata sayang. "Sssh, shhh, shh ... yang pintar, Katty. Lihat tuh kakak Lian antengnya ditiru. Shhh, ssshh, shhh ...."
Bocah yang disebut rupanya belum sekolah, tepatnya belum menemukan lembaga yang cocok untuk dimasuki. Mile paham kepindahan bisa menimbulkan shock under control anak-anak. Karena itulah Reba membiarkan Lian ikuatan kerja agar tidak rewel.
"Hanya sementara waktu kok, he he. Bulan depan Lian sekolah seperti biasa," kata Reba. "Suamiku bisa marah kalau anak ini main terus. Dia lama-lama akan terbiasa dengan Bahasa Thailand."
"Kasihan juga kecil-kecil dibawa berpindah terus," batin Mile kala memandangi muka imut Lian. "Semoga betah ya, mumpung sudah memutuskan menetap di sini."
"Iya, makasih Mile."
"Berarti suamimu juga pindahan kemari dong ya?"
"Ehem, tentu," dehem Reba. "Tapi dia perlu mengurus beberapa hal dulu sebelum pindah permanen. Kau tahu? Pekerjaan suamiku agak merepotkan."
"Ho."
"Dia pilot, Mile. Jabatannya sudah senior di Jerman," kata Reba. "Cuma, kalau transfer ke Bangkok belum tentu mendapat posisi sama. Ini masih diusahakan terus. Doakan kami dapat kabar baik."
Mile pun langsung sumringah. "Tentu, Reba. Kalian pasti sukses di sini. Yakin saja," katanya sambil menoleh. "Kau dengar itu, Sayang? Suami Reba adalah pilot yang handal. Kapan-kapan kita bisa tanya padanya apa tips-tips selama sekolah pilot, bagaimana?"
"Eh?"
Mile beralih memandang Reba kembali. "Boleh tidak, Reba? Istriku pun bercita-cita jadi pilot soalnya. Siapa tahu mereka bisa berteman," katanya.
"Wah, iyakah?" Giliran Reba memang si manis.
"Umn, iya Phi Reba," kata Apo. "Tapi, sekolahnya masih lama kok. Mungkin tiga tahun lagi. Aku nak tunggu Sammy dan Katty bisa ditinggal selama 6 bulan."
"Ow, benar juga," kata Reba. "Bisa kok, nanti kukomunikasikan kalau sudah sampai Bangkok."
"Good." Mile pun tersenyum sumeringah. "Kalau begitu kami pamit dulu, Reba. Kabari saja ya misal ada kelanjutan? Kita bisa jadi rekan baik dalam bidang penerbangan."
"Oke."
"Ayo, Po. Kita pulang," ajak Mile sambil beranjak. "Katty sudah tenang, kan? Semakin cepat pulang, semakin cepat istirahat juga."
"Iya."
Reba pun beranjak ke pintu poli, dia melambaikan tangan karena Mile teman kecilnya yang (cukup) istimewa. Jujur nyaman melihat melihat Liat ikut diajari juga. Bocah gembul itu bilang "Dadah, Om Mile. Dadah Phi Nattahhh ... " dengan suara yang cadel.
"Bagaimana, Po? Sudah puas tahu langsung bahwa Reba bersuami?" goda Mile. "Mana ada anaknya pula, wkwk. Buat apa sih aku mendekati dia lagi?"
Apo justru pura-pura tidak dengar. "Apa sih Phi," katanya. Lalu berjalan semakin cepat. Gendongannya pada Katty dipererat juga. Mile sempat melihat semburat malu di wajahnya karena pernah salah paham. Mereka lantas menunggu jemputan di depan RS. Pasalnya sudah capek kalau menyetir sendiri. Namun Newyear harus mengantar Sammy dan rombongan dulu untuk pulang. Sopir itu perlu gantian dengan yang lain agar tak mengantuk di perjalanan.
"Masih lama ya, Phi? Sampai 1 atau 2 jam-an?" tanya Apo.
"Mungkin?" kata Mile. "Mau kubelikan jajanan dulu, Sayang? Biar tidak bosan berada di sini."
"Mau ...."
"Ha ha ha, sip," kata Mile. "Apa ada request khusus?"
"Tidak kok, semua terserah Phi Mile."
"Hmm, jadi mikir keras ...."
Mile pun pergi setelah mencium pipi Apo dan Katty. Sepuluh menit kemudian dia kembali membawa 2 keresek penuh snack kemasan. Ada yang fastfood juga di dalam. Pikirnya, tak apalah, sekali-kali. Toh Apo pasti memilih susu kotak daripada soda. Si manis langsung cerah melihat Mile membuka keresek-keresek itu. Dia ingin jeruk satu sekaligus minta dikupaskan.
"Sama keripik, Phi. Yang balado," kata Apo.
"Mm, mm. Satu-satu dulu ya ...."
"Jeruknya jangan sampai berserabut naa. Tidak suka ...."
"Iyaaa."
Bahu Mile pun bergetar menahan tawa. "Dia mulai manja lagi, huh? Syukurlah," batinnya.
Suapan demi suapan Apo terima selagi Katty minta perhatian sang ibu. Baby itu sering kesal jika tak digendong sambil berdiri. Duduk aja Katty seolah tahu beda rasaanya. Dia makin rewel jika Mile mulai menggantikan. "Oeeee! Oeeee! Oeeee!" jeritnya, meski sebentar.
"Uluuu, manjanya. Kau anti-Daddy atau bagaimana, Katty? Mama kan capek kalau kau begini terus," kata Mile. Seprihatin apapun maunya Katty tetap Apo. Hal yang bisa Mile kerjakan langsung dilaksanakan, walau menjadi perhatian orang sekitar. Setelah jeruk habis, Mile menyuapkan keripik ke Apo. Susu kotakan dipegangi selagi Apo sibuk mem-puk-puk bokong Katty hingga lelap dan tertidur.
"Tadi kenapa tidak terpikirkan stroller ya?" gumam Mile. "Kan enak kalau salah satunya dibawa turun. Biar tidak digendong terus begini."
Apo pun menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Phi. Sudah biasa kok," katanya. "Cuma agak pegal saja. Nanti sembuh sendiri di rumah."
Mile tak bisa berkata-kata.
Semakin ke sini Mile berpikir bagusnya hadiah apa yang bisa diberikan ke Apo. Kemarin pas anniversary saja rasanya tak cukup. Segala hal mewah, tak terlalu digubris si manis. Itu makin sulit karena Mile merasa tak enak hati. "Istriku berjuang terlalu keras," batinnya. "Tapi apa sih yang sebenarnya dia sukai? Aku juga belum pernah tanya." Setiap detik Mile sulit mengalihkan pandangan dari si manis. "Ternyata ada banyak hal yang masih belum kutahu."
"Apo Sayang ...."
"Iya, Phi?"
"Phi boleh tanya tidak? Berhubung sekarang sudah di Thailand," kata Mile.
"Soal apa ya?"
Apo pun tampak penasaran. Hmm, jarang-jarang Mile terdengar seserius ini.
"Kau pernah suka seseorang sebelum kita bertemu di kafe?"
Apo terdiam sejenak.
"Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Cuma agak kepikiran." Mile mengendikkan bahunya. "I mean, Reba kan sudah ketahuan kalau menikah. Boleh dong kalau gantian cemburu? Aku masih menunggu jawaban."
Si manis melipir duduk begitu Katty jatuh pulas. Dia tiba-tiba resah ditanya begitu. Namun kalau dibilang cinta pertama, masak sih bisa dikategorikan? Apo pikir "gebetan" yang membuatnya tertarik dulu bukan seseorang yang berkesan. Apalagi kalau dibandingkan Mile Phakphum.
"Apo?"
Mile menyusul duduk di bangku.
"B-Bagaimana ya ... um ...." gumam Apo. "Aku jadi bingung bilangnya mulai mana dulu."
"Bagaimana dengan nama dan ciri-cirinya?"
"Ah! Kalau nama--"
Tiba-tiba ada suara gebrakan yang kasar. Arahnya dari meja resepsionis. Mile, Apo, dan orang-orang di sekitar pun refleks menoleh ke sana. Tampaklah seorang wanita mengobrak-abrik meja itu setelah menggampar seorang pria. Namun pria di depannya menggamparnya balik tanpa basa-basi. Setiap mata yang memandang pun syok tak terkira. Percakapan yang tak seharusnya didengar semua orang.
"DASAR BRENGSEK! ISTRI SIAPA YANG KAU MAKSUD, HAH? REBA? SI ANJING SIAPA YANG SELINGKUHAN SIAPA?!"
"NAZHA!"
"PRIA MODAL PENIS KOTOR! TOLOL KALAU SAMPAI BERANI BERHUBUNGAN LAGI!" teriak wanita yang bernama Nazha. "ENYAH KAU DARI HADAPANKU! ENYAH!"
Tamparan brutal sesi kedua.
Para satpam pun berbondong-bondong datang. Dari gerbang mereka lari masuk agar perkelahian tak semakin jauh. Nazha pun meludahkan darah dari mulutnya ke lantai, tapi tinju wanita itu tak kalah cepat dan tendangannya berputar ke bagian kepala. Kris terdorong ke belakang hingga punggungnya menghantam meja. Dua orang beda gender itu baku hantam dengan kemampuan yang sama-sama terlatih--buagh!
"HEI! BERHENTI! BERHENTI!"
"STOP KALIAN SEMUA! INI BUKAN TEMPAT UNTUK BERKELAHI!"
"ASTAGA APA YANG SEBENARNYA TERJADI?!"
"ANJING KAU KRIS! ANJING!"
"KAU YANG PELACUR RENDAHAN! NAZHA! SIAPA YANG MACAM-MACAM DI BELAKANGKU?!"
Reba baru keluar setelah diberitahu rekan ada yang menyebut namanya sambil baku hangam. Dokter cantik itu ngos-ngosan diikuti oleh anaknya yang lari-lari.
"MAMAAAAAAAAAAAAAA!" jerit Lian, yang tak suka sendirian.
Perkelahian tetap saja tak berhenti. Orang-orang yang duduk di deretan kursi antri pun ikutan pindah karena Kris dan Nazha banting-membanting sampai tempat mereka. Semuanya buyar dalam hitungan detik. Tak peduli seberapa banyak luka yang timbul, dua orang itu bagai bermain film laga versi betulan.
"ITU ANAKKU! KAU GILA YA!"
"KAU YANG GILA! LIAN ITU ANAKKU!"
"CUIH! ANAK-ANAK PEJUH BUSUK!"
"FUCK!"
"ANJING!"
Apo tanpa sadar meremas kemeja Mile begitu erat. "P-Phi Mile, mereka kenapa ya ...." cicitnya. "Kok berantemnya sampai begitu? Apa awalnya musuhan? S-Siapa yang selingkuh sama siapa?"
Napas Mile memberat melihat Reba nyaris kena pukul juga. "Tidak tahu, Sayang. Serius aku juga penasaran," katanya. "Aduh, tapi mungkin si Kris itu suaminya Reba--ya kan? Aku belum tanya siapa nama yang pilot itu."
"Oh ...."
"Mungkin Nazha istri pertama, lalu Reba yang kedua tapi punya anak? Aku tak bisa membaca situasinya."
Kali ini ada peluit yang berbunyi dari kepala keamanan RS. Dia membawa grup pasukan yang berisi 4 orang satpam gedung lain. Itu terlihat seperti Kris dan Nazha bukan orang sembarangan, buktinya 2 satpam saja tak cukup untuk menahan mereka. Orang-orang sekitar yang terlambat pergi bahkan kena hantam juga. Pertama lelaki pincang ambruk karena kena serempet, dan kedua manula berkursi roda dilempar kursi lain tanpa ba bi bu lagi. Kepala manula itu bocor, tapi tak ada yang sanggup menghentikan. Sampai grup susulan datang memisahkan, semuanya baru bisa dikendalikan.
"ARRRGHHHH!! HARRGHHH! KONT*L!!" teriak Nazha dengan kaki terus menendang-nendang.
Kris pun sama brutalnya. Bahkan raungan darinya terdengar lebih ribut, seperti binatang buas terlepas. "ARRGHHHH! HARRGHHHHGG!! HARRGHHHHHH!!"
Keduanya pun diamankan ke belakang RS. Mile dan Apo tidak bisa tak mendekat untuk mengecek bagaimana keadaan Reba. Wanita cantik itu tampak menangis. Dia memeluk Lian sambil terduduk, seolah menyimpan luka yang dalam.
"Reba! Reba! Kau kenapa?"
"Phi Reba ...."
Mile berlari, sementara Apo menyusul dari belakang. Mereka meninggalkan sopir pengganti Newyear yang baru datang menjemput.
"OEEEEEEEE!!"
"HUAAAAAAAAA! MAMAAAAAA!"
Tangisan Lian dan Katty pun pecah bersamaan. Lian karena ibunya menangis, sementara Katty tak tahan aura ruangan itu.
"Hiks, hiks, hiks ... tolong lepaskan saja aku. Tolong ...." cicit Reba. "Aku tidak mau seperti ini lagi ...."
Bersambung ....