Setelah itu, langkahku pun kembali ringan karena kebebasan tetap ada di tanganku (siapa bilang aku akan menyerah begitu saja?). Orang seperti Mile memang harus diberikan pelajaran, setidaknya agar tidak memandang target rendahan. Mereka mungkin kuat dengan harta dan mastermind yang dimiliki, tapi seseorang berhak memilih kebahagiaan yang dia mau. Contohnya aku. Dan kalau pun merasa terpaksa, masalah itu bisa diadukan ke ranah hukum, pertanda bahwa hidupku ini berharga.
Aku juga menjalani rutinitas seperti biasa, kerja di kantor sebagai jaksa, walau harus bangun lebih pagi agar tidak ketinggalan trem jam sibuk. Aku memang harus bertahan di posisi itu hingga tabunganku cukup, dan tak boleh ada yang menindasku lagi baik wanita ataupun pria.
Aku berwenang menyortir mana yang kuterima dan tidak, maka di sinilah aku sekarang. Sedang jalan-jalan di tengah kota untuk berburu jajanan Bella. Bahkan berebut kupon makan promo karena gratis 50%. Itu penting agar aku bisa lebih berhemat, walau dalam perjalanan pulang ada homeless yang menarik hatiku. Dia tua, kelaparan, tidur di pinggir jalan karena tak punya rumah, dan kedinginan. Karena itulah, kotak makanku malah kuberikan padanya dengan senyuman lebar, berharap dia merasa baikan.
Dia pun berterima kasih seolah kotak tersebut adalah syurga, dan kebahagiaanku cukup dengan menangisinya ketika pulang. Aku seperti orang bodoh yang duduk di trem karena mengucek mata dengan pinggiran jaket, bukan karena kelaparan tapi lebih kepada bersyukur.
Kusadari sejelek-jeleknya nasibku, ada yang lebih buruk lagi. Dan hal seperti ini takkan mungkin terjadi selamanya. Aku hanya perlu menyeimbangkan keuangan satu atau dua tahun lagi. Karena tahun kemarin memang sedikit kacau. Pembagian harta dengan Davikah terasa setelah mobilku raib, tapi Mile Phakpum tak bisa disebut penipu.
Mile kunilai seperti bocah yang terbalut dalam tubuh pria dewasa. Suka usil pada orang yang dia sukai, tapi anggaplah aku korban yang nasibnya tak buruk-buruk amat. Aku masih bisa tidur cepat agar tidak perlu makan malam. Lalu besok pagi saja sekalian sarapan. Yang penting Bella dan babysitter-nya terurus semua. Aku ini nomor sekian.
"Daddy?"
"Hmph? Iya, Honey?" sahutku pada tengah malam. Kubuka mataku karena Bella sudah di sebelah kiri. Dan dia memeluk erat pertanda habis mimpi buruk dan butuh aku.
"Au boleh iutan ama Daddy di sini?"
"Oh, ya. Naiklah. Sini Daddy peluk-peluk seperti bear ....."
"Hihihihi, bear ...."
"Hmmmh ...."
Aku pun mendekap Bella dalam kondisi terpejam, kutepuki punggungnya dengan gerakan sayang. Lalu kami terlelap lagi di dalam selimut. Dari situ kami membagi hangat berdua, dan kurasa tidak perlu lagi rasa hangat lain dari pasangan baru.
Hal tersebut pun kulalui selama kurang lebih 5 bulan. Hingga suatu hari aku mengalami penurunan lagi.
Tepatnya saat musim dingin, Washington DC semakin parah karena orang-orang diharuskan sering berada di rumah. Banyak kasus di pengadilan yang ditangguhkan karena salju November terlampau tebal, dan kami butuh gas serta banyak persediaan makanan. Sinyal juga sering mati hingga Bella sulit belajar materi, tapi untung dia bisa menari di dalam rumah untuk menghangatkan diri.
Kulihat-lihat teknik balet Bella mengalami kemajuan, sehingga aku cukup bangga dengan perkembangannya. "HA HA HA HA HA HA! GOOD GIRL! GOOD GIRL! GOOD GIRL! ITU BARU ANAK DADDY YANG KEREN! SINI!"
"AAAAAAA! DADDDYYYYYYY!!"
Brugh!
Bella usia 6 pun tidak cadel lagi, sanggup berdialog Inggris lancar, dan dia tahu cara memeluk pinggangku hingga rasanya remuk. Ah, ya ampun ... anakku sudah besar rupanya ....
Namun, selain bertumbuh, rasanya aku perlu mencatat perubahan lain pada anakku. Yakni Bella mulai tertarik kepada fashion, sehingga tayangan kartunnya jadi tersisih. Dia betah menonton TV pada stasiun yang menyiarkan dunia editorial. Lebih-lebih jika tema-nya gaun seperti Princess. Well, ya. Aku memang harus siap menanggung rumitnya anak gadis. Jadi kudengarkan tiap Bella memiliki permintaan khusus.
"Apa? Yang biru itu? Kamu mau pakai pas pegelaran balet nanti, Honey?"
"Iya, Daddy. Yang sebelah kanan ittttuuuu ....!" tunjuk Bella ke layar dengan dengan mata penuh pinta. "Aku pasti cantik seperti Puteri Odette, ya kan? Daddy harus lihat aku dancing little swanlake!"
"Oh, ha ha ha. Iya, pasti. Memang pertunjukannya kapan? Daddy siapkan dulu uang buat beli gaunnya."
"Umn, nanti tanggal 18? Berarti kalau sekarang masih kurang 12 hari lagi."
Kupandangi Bella yang semangat menghitung dengan jari-jari mungilnya. Dan akan kupastikan dia tidak kecewa.
"Baiklah, masih agak lama ya ...."
"Iya, Daddy ...."
Untung Bella bukan tipe anak yang mendadak minta, maka aku patut bersyukur tidak dibuat jantungan. Aku pun harus membuat rencana anggaran sempit secepat mungkin. Semua agar gaun itu bisa dibeli. Namun, saat menghitung-hitung mataku terpaku kepada layar TV, dimana wajah Mile Phakpum muncul dengan gagahnya.
"Eh? Dia?"
Dalam pakaian yang mahal, pria itu digerebek wartawan saat merokok di lounge, dan dia berada di tengah-tengah program pencarian model sebagai juri acara.
Mile pun diwawancarai banyak hal terkait trending trademark winter season, tapi jujur aku tidak tahu profesinya setinggi itu. Kupikir fashion forecaster itu cukup berkerja di balik layar, tapi ternyata dia unjuk gigi juga di dunia entertainment. Wajahnya bahkan masuk ke sampul majalah Vogue 2014, karena kebetulan musim dingin tahun ini tema-nya adalah selebriti fashion forecaster.
Mile ditunjuk program WNTM (Washington Next Top Model) sebagai bintang hingga musim depan, dan bisa kulihat betapa hebat hasil pekerjaan dia.
"Tentu, tentu. Kami memiliki beberapa perkiraan pasca kesuksesan trending pada musim lalu, tapi sebagai juri takkan ada bocoran untuk sementara waktu. Kalian hanya harus menyimak acara dari depan hingga sesi 1. Biarkan kita mendapatkan keseruannya mulai pekan ini."
Wah ... begini kata orang yang pernah memujiku pekerja keras? Kurasa dia hanya sedang merendah saja ....
Aku pun menyimak wawancara itu karena rasa nostalgia. Jujur senang tahu kondisinya baik setelah kutolak dulu (tunggu, mungkin malah aneh kalau dia sangat hancur, karena faktanya aku hanya pria lewat diantara para incarannya) Aku harusnya tidak sepercaya diri itu ....
"Terus bagaimana dengan kabar hubungan Anda dengan model Justin Martin? Apakah simpang siur itu benar? Bagaimana tanggapan Anda tentang sikap kritis orang-orang di sekitar?"
Ho, dia ternyata sudah punya gosip berpasangan? Cepat juga jarak dari waktu itu ....
"Tidak, tidak. Justin dan Saya betul-betul partisipan pada show tersebut. Dia dan Saya hanya memenuhi konten program, jadi lebih baik kita fokus dengan yang ada di depan."
"Baik, tapi Anda tidak ada rencana menikah?"
"Ha ha ha ha ... kenapa topiknya berubah sedalam ini? Adakah yang mau membayar 7 kali lipat untuk sebuah konten pribadi?"
Sindiran tersebut halus sekali, sangat ringan diterima walau kedengaran rentan. Dan Mile berakhir tidak menjawabnya secara verbal. Hal itu membuat mataku terpaku pada indentasi layar. Dimana baru kusadari ada keterangan usia juga di bawah nama lengkapnya.
[MILE PHAKPUM ANDERSON]
__ a fashion forecaster _
41 years old
"Hah?!"
DEMI APA?!
Sudah kepala 4 tapi masih betah melajang?! Dia gila ya?
Perasaan menjadi gay tidak harus seribet itu. Maksudku, pasangan mereka takkan hamil kan mau berapa kali ditusuk? Lantas kenapa masih banyak mikir juga? Kalau aku jadi dia pasti tidak--
Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu ... rasa-rasanya "aku" dan "gay" adalah dua kosa kata yang mustahil bersatu.
Mile pun undur diri saat dipanggil juri lainnya (namanya Miss Kendall Jenner) dan mereka melenggang di balik stage bersamaan dengan cara jalan yang sangat elegan. Mile bak model pria karena dia ternyata merangkap pelatih catwalk, sementara Miss Kendall mengurus bagian model wanitanya. Mereka memberikan pengarahan sesi photoshoot dengan tema yang di luar nalar. Lalu kulihat Mile berteriak ke seseorang untuk kedua kalinya.
"JANGAN MAIN-MAIN, BOCAH NAKAL! ULANGI! DARI UJUNG KE UJUNG! INI BUKAN ARENA TK UNTUKMU BERMAIN-MAIN!" bentak Mile sambil memukul bokong modelnya menggunakan gulungan majalah.
Aku pun sulit berkedip karena pesonanya (jujur dia menawan untuk ukuran manusia) dan Bella pun menotis-ku karena terlihat kosong.
"Daddy?"
"Ya?"
"Uncle Mile apa akan kemari?"
"Hah? Tidak."
"Yah ...."
"Apa kau tak lihat Phi Mile bekerja di TV itu? Dia ada di pusat kota sekarang ...."
"Iya, aku tahu, Daddy ...." kata Bella sebelum berlalu. Anakku tampaknya kangen akan sesuatu, tapi tak kusangka dia ingat dengan Mile Phakpum. Padahal, hei ... mereka betul-betul hanya bertemu sekali, kan? Lantas kenapa--
"Oke, tidak penting. Tidak penting. Aku harus segera menyelesaikan hitungan yang tadi ...." kataku sambil membuka buku anggaran belanja. Kuteliti baik-baik perkiraan pengeluaran agar tidak jebol dompet. Namun hasilnya jelek sekali.
Aku akan mengorbankan beberapa hal lagi untuk dijual, tapi jangan sampai barang mewah Bella yang dari Mile kusenggol. Bella pasti hanya akan ngambek kepadaku, tapi mungkin ....
"Oh, benar juga. Aku belum membuka box yang waktu itu ...." gumamku, lalu menuju ke kamar. Kukeluarkan paper bag dari Mile yang khusus untukku (sudah peyot) tapi untung box-nya masih utuh dan baik. Kurasa barang darinya mustahil berharga murah. Maka kujual lagi saja untuk beli gaun Bella-- "Oh, waw .... kenapa malah jadi suit?" gumamku.
Jadi andai dulu Mile kuturuti, aku akan tampil formal di restoran terbuka seperti itu? Padahal Mile sendiri datang dengan pakaian biasa. Maka sudah benar bila aku mengira dia mengerjaiku pada waktu itu.
"Bisa tolong cek harganya? Aku mau menjual semua barang yang ada di dalam sini."
"Baik, Tuan."
"Great, kutunggu ya."
Pada keesokan harinya, aku pun benar-benar membawa box tersebut ke bagian toko tukar barang. Karena selain suit, ada arloji, kemeja, vest, kaos kaki, sepatu, dompet, sabuk, dasi, bunga saku, jepitan jas, dan long-coat juga di bawahnya. Aku merasa barang-barang ini terlalu berkilau untuk jaksa sepertiku. Jadi sebaiknya diuangkan saja.
"Bagaimana?" tanyaku setelah si petugas keluar.
"Maaf, Tuan." Dia menggeleng. "Toko kami tidak sanggup membayar kontan hari ini, jadi lebih baik bawa ke tempat lain saja kalau mau uangnya cair lebih cepat."
"Eh? Kok?"
Selembar kertas kini disodorkan di atas etalase kaca. "Berikut daftar harganya jika Anda belum tahu."
Aku pun meneliti cepat semua harga di sana, tapi percayalah jantungku nyaris tak selamat di tempat. Pertama total harganya melebihi mobilku (tapi kenapa di QR ponsel Mile tidak sampai sebanyak ini? Apa dia membayar dengan kartu yang berbeda?) dan kedua suit itu merupakan koleksi The Golden Groom. Usut punya usut jenis ini merupakan pakaian pengantin pria--jadi kemungkinan besar ... saat di restoran Mile ingin melihat gambaranku saat berpenampilan sebagai mempelai--
"UHUK--oke, oke. Aku akan bawa ini ke tempat lainnya. Terima kasih ....! M-Maksudku untuk info yang barusan ...."
"Sama-sama ...."
Aku pun segera memberesi isi kotak itu. Memasukannya kembali, lalu membawanya pergi. Jujur aku merasa bercampur aduk. Antara senang dan sedih tak bisa bedakan. Sebab senangnya bisa beli mobil baru asalkan ini terjual (bahkan juga gaun Bella). Tapi sedih sekali karena dulu tidak kuperhatikan perasaan Mile lebih jauh. Dan ini sudah berlalu hampir 6 bulan.
Aku pun merasa bersalah, tapi sangat butuh. Jadi isi box-nya tetap kujual di tempat lain seperti saran petugas toko. Dari situ aku bisa langsung membawa pulang gaun Bella, tapi beli mobilnya ku-pending dulu. Kujumlah baik-baik uang yang kudapat sesampainya di rumah. Lalu kutambahkan dengan hasil tabunganku selama ini.
"Apa sudah seharga dengan isi box-nya?" gumamku sambil menjumlahkan angka dengan kalkulator. Malam-malam pukul 1 aku menggunakan kacamata di meja kerja. Dan berkali-kali aku mencoret kertas demi memastikan hitunganku benar.
Setelah yakin aku pun menata uangnya rapi dalam sebuah tas. Lalu besoknya kubawa ke bank untuk ditransfer-kan ke rekening Mile.
Setelah itu perasaanku pun jadi lega, dan kufoto bukti transfernya ke nomor Mile sebagai chat untuk pertama kali padanya.
[Apo: Halo, Phi Mile. Selamat siang. Maaf mengganggumu sebentar, tapi kurasa hasil QR yang kau tunjukkan padaku dulu tidak sesuai dengan jumlah total hadiahnya. Sekarang sudah kukembalikan, ya. Jangan khawatir aku baik-baik saja]
Aku pun ketar-ketir setelah itu terkirim, bahkan sempat berpikir akan menghapus chat-nya ulang karena ragu (bukankah yang penting sudah di-transfer?) Tapi kalau begitu malah ketahuan aku terkesan chat tidak jelas, jadi akhirnya pun kubiarkan saja.
Namun, setelah 3 menit tetap saja centang satu. Jadi aku mulai overthinking bahwa nomor Mile tak lagi aktif (sial! Apa aku harus mencari alamat dia? Kenapa memutuskan rasa bersalah sulit sekali?)
Drrrr, drrrrt, drrrt, drrrrt ....
Phi Mile
- memanggil -
"EEEEEEH?!" kagetku, karena sekalinya tanda berubah jadi centang biru, Mile Phakphum Anderson ini justru ingin berhadap-hadapan langsung denganku.
"Halo, Apo Nattawin? Maaf aku baru selesai syuting di sini. Tapi bisa kita bertemu sekarang? Kukirimkan alamatnya padamu nanti lewat share-lok GPS. Jangan telat. Kutunggu kau 30 menit lagi."
Bersambung ....