Bima menceritakan semuanya, tentang dirinya yang iri dengan Reyhan dan entah bagaimana ia merasa ada bisikan-bisikan jahat yang mendorongnya untuk mencelakakan Reyhan
"Gw gak bermaksud begitu. Gw cuman…"
"Iya aku ngerti. Iri, dengki, tak senang hati. Itu hal yang wajar bagi manusia. Tapi kalau kamu mau lihat sisi baiknya, kamu bisa mengganti rasa iri itu menjadi suatu kebahagiaan. Kamu pengen kayak Reyhan?. Dapat banyak teman dan menjadi ketua klub voli?." Bima mengangguk
"Berarti kamu harus belajar dari dia. Aku tahu banget Reyhan itu gimana. Dia gak ada niat buat jadi pemimpin voli, coba deh kamu minta maaf sama dia. Dia pasti akan maafin, tapi dia mau dengar alasan kamu. Kamu cerita aja semua, gapapa. Dia bakal ngerti." Ujar Aster
"Menurutmu dia akan begitu?. Apa pandangannya tentangku nanti?. Bagaimana jika dia menyebarkan perihal itu ke yang lain?."
Aster tersenyum kecil lalu mengangkat handphonenya. Bima terbelalak
"Kamu dengar kan?."
"Hey Bima!. Gw tau gw tu ganteng kinclong tralala dan hebat, tapi gak gini juga njir!. Kalau lo mau jadi pemimpin voli ya tinggal bilang!. Toh nilai lo juga bagus, gw memang gak ada niatan mau jadi pemimpin. Malah dulu gw masuk ke voli tu buat hilangin gabut ae. Beneran!. Lo gak seharusnya iri sama orang kayak gw, terlebih apa tadi?. Nyebarin?. Hello, lo itu lebih baik dari gw!. Asal lo tau gw tu juga iri sama lo."
"Gw?."
"Iya!. Karena sifat cool lo terus ditambah rambut panjang lo yang super duper keren kayak artis korea, gw pengen gitu tapi emak gw pasti marah. Gak usah iri sama gw bro, kita semua punya hal istimewa masing-masing."
"Hiks bangga aku tuh." Tutur Aster tak tau suasana. Bima menunduk, mendengar ucapan Reyhan membuat hatinya hangat
"So bilang apa Bim?."
"Sorry."
"Ha apa?!. Gak dengar ya gw!." Pekik Reyhan canda
"Sorry!." Seru Bima dengan wajah memerah
Aster tersenyum. Setidaknya satu masalah selesai. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut diatas
"YUDHA?!!."
"Lah?!. Anjirlah kabur!."
"Yak Yudha!!. Bolos lo hah?!."
Yahh, mari berdoa untuk keselamatan Yudha <( ̄︶ ̄)>
Brukk
"Hey hey!. Cukup!."
Aster menahan laki-laki itu
"Jangan pernah ganggu dia lagi!."
"Heh udah jago mau jadi berandalan lo hah?!." Bentak Aster membuat Juan diam
Jika sudah memakai logat lo-gw artinya Aster sudah benar-benar marah
"Ada apa ini?!." Sentaknya
Baru tadi ia menyeret Yudha ke BK dan menyelesaikan masalah Bima dan Reyhan, ia ke belakang sekolah berniat untuk membuang sampah tapi malah melihat Juan yang berkelahi dengan sekelompok laki-laki berandalan
"Mereka, mereka ngebully cowok itu." Tunjuk Juan kepada laki-laki yang kini tengah mengambil kacamatanya yang pecah
"W-woy kabur!."
BRAKK
Semuanya menatap nanar meja hancur yang barusan di pukul Aster
"Kalian ke BK sekarang." Aster melirik datar
"SEKARANG."
Karena takut tiga laki-laki itu berlari pergi. Aster segera mendekati laki-laki dengan kacamata pecah itu
"Hasyer kamu gapapa?."
Hasyer mengangguk takut. Tiba-tiba ia terbatuk, Juan dan Aster terkejut melihat darah yang keluar dari mulutnya
"Eh eh darah!. Panggil ambulans cepet!."
Juan mengeluarkan handphonenya panik. Aster menangkap Hasyer yang pingsan, ia memeriksa denyut nadi Hasyer
"Lama banget!."
"Sabar lagi dijalan!."
Beberapa menit kemudian ambulans datang, para murid dan guru terkejut. Namun melihat Aster yang ikut membuat semuanya mengerti
"Dek abang ikut!."
"Saya juga!."
Aster mengangguk. Dimas Surya dan Satya pun ikut. Dimas yang selaku wali kelas, Surya selaku ketua OSIS, dan Satya selaku ketua PMR
Mereka pun sampai di rumah sakit. Juan nampak gelisah
"Hey berdoa aja dia baik'saja oke?." Semangat Aster. Juan mengangguk lesu
Tak lama kemudian sang dokter pun keluar
"Dokter apa ini masalah serius?." Tanya Dimas
"Ya. Pasien … mengidap kanker otak stadium akhir dan waktunya tinggal beberapa hari lagi."
Semuanya tercekat
"Apa?. Tapi dia gak pernah cerita." Gumam Juan
"Dok apa tak bisa disembuhkan?." Tanya Aster
"Penyakitnya terlalu parah, kami … tak ada pilihan lain."
"Dokter macam apa kalian hah?!." Satya menarik kerah baju dokter itu
"Satya!."
"Maaf, kami tak bisa melakukan apapun. Permisi." Dokter itu pergi
"Hubungi keluarganya." Ujar Aster. Dimas segera membuka handphonenya
"Percuma. Tidak ada satupun keluarga yang memperhatikannya, baik itu di rumah ataupun di sekolah." Kata Juan sendu
"Tapi tak ada salahnya, biar abang bicara dengan orangtuanya." Dimas pun pergi bersama Surya dan Satya
Juan masuk keruang UGD, diikuti Aster. Aster menatap sendu Hasyer yang penuh dengan infus. Juan segera duduk dan menggemgam tangan sahabatnya itu
"Kok lo gak pernah cerita sih?. Padahal selama ini lo mau dengar curhatan gw, tapi. Tapi kenapa?." Juan menunduk dan tangisnya pecah
Aster tak bisa melakukan apapun. Hingga tangan Hasyer tergerak dan menepuk kepala Juan
"Aku, gak mau, bikin kamu dan yang lain sedih."
"Sedih apa?!. Lo sendiri yang bilang kalau kita itu sahabat, hiks. Tapi kenapa lo nyembunyiin hal kayak gini?!. Takut gw ngejauh?!. Gak bakal Syer!." Sentak Juan. Hasyer tersenyum kecil
"Siapa, yang akan tahu, isi hati manusia. Iya kan, kak Aster?."
Aster maju dan ikut menggenggam tangan Hasyer yang lain
"Mungkin benar. Tapi kalau memang kamu percaya sama dia, maka yakinkan hatimu." Ujar Aster
"Mungkin, ini terakhir, kalinya kita ketemu."
"Syer jangan ngomong yang gak masuk akal!." Seru Juan
"Kuharap, setelah ini kamu berubah, Juan. Kamu, Sean, Ricky. Tolong jaga mereka, kak Aster. Mereka, satu-satunya keluarga, bagiku." Aster mengangguk
Mulut Hasyer berkomat-komit sebelum akhirnya matanya tertutup … selamanya, meninggalkan senyuman tenang
"Hasyer!."
Titt… Titt…