Yanto bangkit mengikuti Putri ke dapur.
"Tolong buatkan Ayah kopi, nak." Pinta Yanto.
"Baik, Yah."
"Nih, Yah. Aku mau ke kamar mau lanjut belajar." Ujar Putri, setelah Ayahnya mengangguk Putri pergi ke kamar dengan gelas berisi es teh di tangannya.
Sore pukul 16:00 terdengar orang mengucapkan salam, Putri keluar untuk melihat siapa yang datang. Tapi sudah keduluan di buka oleh Ayahnya.
"Nenek, Tante Ismi!" Seru Putri menghampiri Neneknya yang datang bersama Ismi adik dari ibunya.
Putri memeluk Neneknya, karena sang Nenek tinggal di desa yang jaraknya lumayan jauh jadi membuat mereka jarang bertemu.
"Bantu aku bawa barang, Put." Kata Tante Ismi.
Banyak sekali buah-buahan dan sayur mayur yang dibawa Nenek dan tantenya, karena Nenekny suka berkebun.
"Mana Kakek, Nek." Tanya Putri.
"Kakek nggak bisa ikut, soalnya jaga kebun."
"Nenek!" Seru Dila, rupanya dia baru bangun.
"Ibu, kapan sampai?" Tanya Santi yang keluar dari kamar di bantu Yanto.
"Baru saja, Mbak." Jawab Ismi.
"Ya Allah, kamu sampai di infus segala, Nak." Ucap sang Nenek.
"Kata bidan, dia butuh nutrisi karena Santi kurang makan, Bu." Ujar Yanto.
"Ibu banyak bawakan buah kesukaan kamu Nak, biar banyak makan buah." Ujar sang Nenek.
"Putri, buatkan Nenek sama Tante minuman gih." Perintah Santi pada Putri.
"Baik, Bu."
"Put, ambilkan pisau juga buat ngupas buah." Kata Tantenya.
"Siap, Tan."
Tak berapa lama Putri datang membawa nampan berisi beberapa gelas teh, juga pisau untuk mengupas buah.
"Untung Putri sudah besar ya, jadi ada yang bisa mengerjakan pekerjaan rumah." Kata Ismi.
"Iya, allhamdullillah. Tapi kesian, dia juga harus sekolah." Sahut Ibunya Putri.
"Mangkanya, Mbak harus kuat dan harus banyak makan biar strong." Ujar Ismi.
"Ngomong sih enak." Jawab Ibu Putri.
"Eh, tapi ngomong-ngomong. Mbak hamil berapa bulan?" Tanya Ismi.
"Kata bidan Lima minggu."
"Kamu kapan nyusul mbakmu, Is?" Tanya Yanto.
"Nyusuk apa, Mas?" Tanya Ismi bingung.
"Ya nyusul menikah terus punya anak."
"Nanti lah kalo sudah ada jodohnya." Jawab Ismi cengengesan.
"Jangan lama-lama,Is. nanti jadi perawan tua loh. Hahaha." Ucap Yanto.
Ismi sudah berumur 27 tahun saat ini tapi belum juga menikah, banyak pria di desa ingin meminangnya namun dia menolak.
"Kalo sudah ketemu jodohnya pasti lah aku menikah."
"Jodoh, yang melamar saja banyak kamu tolak." Sela sang Ibu.
"Kenapa begitu, Is? Nggak baik loh." Ucap Santi.
"Emm nggak srek mbak di hati." Sahut Ismi.
"Mau Mas kenalin sama teman Mas di pasar? Banyak loh yang masih bujang." Tanya Yanto.
"Nggak usah deh Mas makasih."
Tiba-tiba Santi pusing keringat dingin keluar dari wajahnya.
"Mbak nggak apa-apa?" Tanya Ismi.
"Nggak cuma pusing."
"Yuk Mas bantu ke kamar biar istirahat."
Santi di bawa Yanto ke kamar, tak lama dia keluar.
"Ibu kalau mau istirahat, istirahat saja dulu." Ucap Yanto.
"Iya, tapi ibu istirahat di kamar kalian saja ya. Sekalian Ibu mau urut Santi pake ramuan yang ibu bawa dari rumah."
"Iya, Bu." Jawab Yanto.
"Aku juga mau lihat Mbak Santi." Ismi berkata sambil berdiri.
"Ambilkan tas ibu tadi, Nak." Perintahnya pada Ismi.
*****
Kumandang adzan Maghrib terdengar, mereka shalat berjamaah di ruang keluarga kecuali Santi.
Baru setelah itu Putri memasak makan malam bersama Nenek juga Tantenya.
"Jadi kalau sarapan kamu juga Put yang masak?" Tanya Ismi.
"Iya, Tant." Jawab Ismi.
"Makas apa biasanya, kan kamu harus berangkat sekolah juga pagi."
"Paling masak nasi goreng, atau nggak ceplok telur." Jawab Putri.
"Beruntung Ibumu punya anak yang sudah bisa mandiri, jadi ingat waktu pertama kali Ibumu hamil kamu, Put." Ujar sang Nenek tangannya sambil mengaduk sayur di wajan.
"Kenapa, Nek. Ibu dulu." Tanya Putri penasaran.
"Ya ngidam begini juga, nggak bisa bangun mana nggak ada yang nolongin di rumah. Nenek cuma bisa sebentar."
"Keluarga Ayah nggak ada yang bantu?"
"Nggak ada, mereka sibuk masing-masing."
Asik mengobrol akhirnya masakan selesai semua.
"Mana Santi, To?" Tanya Nenek Putri.
"Dia di kamar masih pusing." Jawab Yanto.
"Terus makan bagaimana?"
"Nanti aku bawakan ke kamarnya, Bu." Jawab Yanto.
Selesai makan malam Nenek pergi untuk shalat isya ke kamar Santi, sedangkan Ismi dan Putri membersihkan dapur.
Yanto dan Dila menonton televisi di ruang keluarga.
Terdengar tawa Dila dari dapur.
"Asik betul si Dila." Ujar Ismi.
"Iya, biasanya Dila bercanda sama Ayah." Jawab Putri tersenyum.
Putri dan Ismi menghampiri Dila di ruang keluarga, terlihat Dila masih cekikikan.
"Seru banget, main apa nih?" Tanya Ismi.
"Aku main kuda-kudaan, Tant. Hehe kesian kudanya kecapekkan." Dila menunjuk sang Ayah yang berbaring tengkurap.
"Haha, Dila sudah besar main kuda-kudaan ya iyalah kudanya capek kan Dila berat." Ujar Ismi tertawa.
"Nggak kok, aku nggak berat. Iya kan, Yah?" Dila bertanya tepat di telinga ayahnya sambil menduduki pinggang sang ayah.
"Emh emh." Ayahnya bergumam.
"Apa nggak denger?" Tanya Dila lagi.
"Kata Ayah kamu berat." Sela Putri.
"Ih, kakak tuh yang berat." Sahut Dila berteriak dan menghentakan pa*tatnya.
"Aduh!"
"Kenapa yah?" Tanya Dila.
"Dila berat, pinggang Ayah serasa mau patah."
"Ih Ayah, tadi katanya aku nggak berat. Nih rasain." Dila menghentak-hentak pan**tnya dengan keras di punggung sang Ayah.
"Aduh, ampun. Ayah nggak tahan."
Ismi dan Putri tertawa.
"Sudah, Dek. Sana kamu tidur, besok sekolah."
"Iya, iya." Dila bangkit dan berlalu ke kamar, sedangkan sang Ayah menekan pinggangnya dengan tangan.
"Aduh pinggang ayah sakit." Keluh Yanto.
"Ayah sih." Ujar Putri.
"Nenek mana?" Tanya Yanto.
"Tau tadi katanya kan mau shalat di kamar Ibu." Sahut Putri.
"Bentar aku lihat dulu." Ujar Ismi berlalu ke kamar.
"Nenek tertidur di sebelah Mbak Santi." Ujar Ismi setelah keluar lagi dari kamar.
"Terus Ayah tidur di mana?"
"Ayah tidur aja di sini." Sahut Putri.
"Kalo Tante di mana? Tante ikut ke kamar kamu aja deh, Put."
"Tempat tidur di kamar cuma satu kalo mau tante seranjang sama kami." Ujar Putri.
"Oke lah." Sahut Ismi.
Ismi masuk ke kamar Putri, di ranjang yang cuma muat dua orang itu menjadi terasa sempit karena Dila tidur dengan kaki terbuka.
"Tante tahan aja kan kalo ketendang sama Dila, dia kalo tidur kakinya ke mana-mana."
"Waduh, apa nggak ada kasur lain. Kasur lantai misalnya."
"Cuma satu, Tant. Yang di pakai sama Ayah."
"Apa Tante tidur sama Nenek aja, kan tempat tidur Ibumu besar." Kata Ismi.
"Terserah Tante aja, sih." Sahut Putri.
"Ya udah Tante ke sana aja, di sini kayaknya nggak bakalan bisa tidur." Ujar Ismi lalu pergi keluar.
Putri memilih membaca buku dulu untuk persiapan besok, karena besok ujian terakhir.
Entah sudah berapa lama Putri membaca buku dia berhenti karena matanya sudah tak tertahankan. Putri lalu menggeser kaki Dila, Putri pun berbaring di samping Dila.
Putri merasakan ada seseorang yang memepet tubuhnya, dengan masih terpejam Putri mendorong tubuh itu.
"Dila, kamu terlalu mepet. Aku hampir jatuh." Ujar Putri.
"Ini Ayah."
"Emm, Ayah?" Ujar Putri pelan membuka matanya.
"Kenapa Ayah tidur di sini?" Tanya Putri menghadap sang Ayah.
"Ayah kenyamukan di luar, juga dingin lupa ngambil selimut di kamar tapi nggak enak masuk ke kamar."
"Oh, bentar aku ambilkan selimut ya, Ayah." Putri ingin bangkit namun di tahan oleh sang Ayah.
"Nggak usah, Ayah ikut selimut kamu aja, nak."
"Hemm, ya sudah." Putri lanjut berbaring di sebelah sang Ayah, karena berasa sempit Putri tidur dengan tubuh miring.
Tak lama terdengar dengkuran halus dari mukut Putri.
Yanto memeluk tubuh anaknya dari belakang, Putri tak bergerak lelap dalam tidurnya.
Tangan kanan Yanto masuk ke dalam baju tidur Putri mengelus perut ramping putrinya. Tangan yang sebelah kiri masuk ke dalam celananya sendiri.