Setelah selesai makan aku ingin berjalan ke kebun kakek yang ada di belakang, aku mengajak Dila namun dia ke capekkan.
"Kamu nggak capek, Put. Istirahat dulu kek kan habis perjalanan jauh." Ujar tante Ismi.
"Aku nggak capek, Tant. Mumpung di sini kan besok sudah harus pulang." Sahutku.
"Mungkin Putri bosan di kota, kan jarang-jarang ke sini. Gih ajak Putri jalan-jalan sebentar." Ujar kakek.
"Besok pagi aja ya, Put." Ujar Tante Ismi.
"Yah..."
"Sama Ayah aja, gimana." Tawar Ayah.
"Emm. Ayo kalo Ayah mau."
Aku berjalan dengan Ayah ke belakang rumah Nenek, ada beberapa tanaman singkong tumbuh tinggi dengan subur Dan ada beberapa tanaman sayur yang lain.
"Di bukit sana juga ada kebun Kakek Nenek, mau kesana juga?" Tanya Ayah.
"Tapi kan jauh, Yah." Sahutku.
"Nggak juga, apalagi sore gini hawanya tambah sejuk."
"Iya, deh."
Sampai di kaki bukit kami naik ke atas.
"Di atas sana kita bisa liat pemandangan." Ujar Ayah.
Sampai di puncak terdapat pondok untuk bersantai. Tidak ada orang di sini mungkin karena sudah sore. Dari atas bisa terlihat beberapa rumah, Ayah mengajakku berfoto karena pemandangannya yang indah.
Setelah puas berfoto Ayah mengajakku duduk santai di pondok.
"Sini sayang duduk sambil lihat pemandangan." Ujar Ayah merentangkan tangan, aku mendekat dan duduk di hadapannya.
"Indah ya, Ayah. Coba kita tinggal di desa."
"Tapi di sini sekolah jauh apa-apa jauh."
"Hemm, tapi di sini hawanya sejuk."
"Di kota juga banyak tempat yang sejuk."
"Di mana?" Tanyaku berbalik menghadap Ayah.
"Di mall? Kan sejuk juga."
"Itu beda, eh tapi Ayah yang kata Ayah tadi beneran kan?"
"Yang mana?"
"Ponsel, kalo sudah pulang Ayah mau belikan ponsel." Kataku.
"Iya, Ayah janji. Masa Ayah bohong." Jawab Ayah sambil mencubit hidungku.
"Aw sakit, Yah. Kenapa sih suka cubit hidungku"
"Habis hidungnya pesek jadi di cubit terus biar bisa mancung."
"Ih Ayah, mah." Aku berbalik merajuk.
"Duh bayi besar merajuk." Ayah berkata sambil memelukku.
"Coba duduk sini ada yang mau ayah kasih tahu." Ayah membalik badanku dan menyuruh duduk di pahanya.
"Nggak mau?" Jawabku masih cemberut.
"Ini suatu rahasia loh."
Aku pun menuruti perintah Ayah.
"Apa?" Aku bertanya setelah duduk di pangkuannya.
"Ayah mau kasih tau, Ayah sayang banget sama Putri." Terus Ayah menciumku di pipi.
"Apa sih, Yah."
"Ci*m di pipi tandanya sayang." Terus Ayah menci*mku di kening.
"Kalo di kening berarti sayang banget." Ayah mengeratkan pelukannya di belakang punggungku.
Ayah menc**mku lagi di dahi.
"Kalo c*um di sini berarti kamu anak yang paling-paling Ayah sayang."
Aku tersenyum senang karena merasa di sayang Ayah.
"Kalo di sini tandanya Ayah sangat menyayangi lebih dari apapun." Kata Ayah setelah menc**m hidungku.
Terus Ayah men*** b*b*rku.
"Terus kalo di sini apa?" Tanyaku.
"Ayah sangat sangat sangat sayang Putri."
"Mana sayangnya Ayah dengan Dila?"
"Ayah sayang keduanya, kalo Putri sayang nggak sama Ayah?"
"Ya sayang lah, Yah."
"Coba kayak Ayah tadi kalo sayang Ayah."
Aku pun menc**m Ayah di pipi, kening, dahi dan hidung.
"Terus di sini nggak?" Tanya Ayah menunjuk b***rnya.
Aku tidak pernah mencium Ayah di situ.
"Bukannya nggak boleh ya, Yah c**m di b*b*r?"
"Kan sama Ayah, kalo sama orang ya pasti nggak boleh." Aku pun melakukannya tapi Ayah justru melum*** b**rku.
"Emm, Aay..mm" ucapku karena tidak bisa berbicara.
Ayah terus melakukannya dan menelentangkan aku.
"Ayahh!"
"Diam dulu, cuma sebentar kok." Ujar Ayah sambil menengok kiri-kanan.
"Ayah mau apa?"
Ayah mencoba menarik celan*ku, aku berontak.
"Kalo nggak diam, Ayah lempar kamu dari sini!" Bentaknya.
Aku menangis baru ini Ayah membentakku.
"Sutt, diam dulu." Perintah Ayah, dia menarik celanaku hingga selutut.
"Ayah ku mohon!" Melasku.
"Ahhh!" Ayah menutup mulutku, Kurasakan sakit di organ int*mku.
Perih itu lah yang kurasa.
Aku menangis menahan sakit. Tak lama Ayah merapikan celananya juga celanaku.
"Hiks..hiks.. Ayah kenapa menyakitiku."
"Ma'af ya sayang, Ayah janji nggak nyakitin kamu lagi."
"Ayah jahat!" Teriakku di sela tangis.
"Ayah akan lebih jahat kalo kamu bilang tentang ini pada siapa pun." Ancam Ayah menekan tanganku.
Aku hanya bisa terisak.
"Ayok kita turun." Ujar Ayah.
"Hiks,,,hiks."
"Kalo nggak turun Ayah akan melakukan lagi." Dengan terpaksa aku turun.
Tapi sakit di situ masih terasa, dengan perlahan aku turun.
"Biasa saja jalannya, nanti di liat orang!" Ujar Ayah yang melihatku jalan tertatih.
"Sini Ayah gendong, naik." Perintah Ayah.
Sampai di bawah Ayah menurunkan ku dia mengambil tanah dan menyapukan ke celanaku.
"Kenapa Ayah mengotori celanaku?"
"Kalo ada yang nanya bilang kamu terjatuh, oke." Aku diam.
"Kalo kamu nggak turutin perkataan Ayah, Ayah akan tinggalin kamu Dila juga ibumu!"
"Iya." Jawabku singkat mataku masih mengeluarkan air mata.
Sampai di rumah Nenek aku langsung menuju kamar, di sini hanya ada dua kamar.
"Putri kamu kenapa jalan begitu, celana kamu juga kotor sekali, kamu jatuh?" Tanya Tante Ismi.
"Iya dia tadi jatuh karena lari pas naik bukit." Sahut Ayah.
"Astaga, kayak anak kecil aja."
"Kenapa?" Tanya Nenek.
"Itu, Putri habis jatuh." Sahut tante Ismi.
"Bener, cu? Sakit di mana biar Nenek urut."
"Nggak usah Nek, nanti juga sembuh." Aku masuk ke kamar untuk menganti baju juga celanaku.
Setelah kejadian itu Putri diam tidak banyak berbicara, saat makan malam pun dia langsung ke kamarnya.
"Kak, kita duduk di teras, Yuk." Ajak Dila.
"Aku ngantuk, kamu aja sana." Sahut Putri.
"Yah,, kalo gitu aku aja deh. Di luar bintangnya bagus lo kak banyak banget." Seru Dila lagi.
"Nggak, kamu aja."
Hingga pagi menjelang Putri bangun lalu membantu Tantenya menyiapkan sarapan pagi.
"Gimana, masih sakit Put?" Tanya tantenya.
"Hah! Apa?" Sahut Putri.
"Itu punggung kamu masih sakit nggak?"
"Oh, emm sudah mendingan, Tant." Sahut Putri.
"Nanti habis sarapan kita ke kebun sebentar."
"Ngapain, Tant?"
"Kita metik sayur dan buah, kan kamu mau pulang hari ini jadi bawa oleh-oleh buat ibu kamu, Put." Jelas Tantenya.
"Oh." Jawab Putri singkat.
"Sudah siap, Is. Sarapannya?" Tanya Nenek.
"Sudah, tinggal menata aja ke depan." Sahut Ismi.
"Gih, Putri. Panggil Ayahmu sama Dila, tadi Nenek liat mereka di depan metik petai." Perintah Nenek.
Putri kedepan dan melihat Ayahnya bersama Dila.
"Dila, sarapan!" Panggil Putri.
"Iya." Sahut Dila. Putri pun masuk kembali tanpa memanggil sang Ayah.
"Kayaknya Putri perlu di urut, To." Kata Nenek membuka percakapan.