Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang memiliki dua orang putri.
Si sulung Putri kelas dua Smp dan Dila kelas tiga sekolah dasar, suamiku seorang pedagang ikan di pasar.
Kehidupan rumah tanggaku sangat bahagia, punya anak-anak yang cantik juga penurut pada orang tua dan suami yang penyayang dan pengertian.
Walau Putri anakku sudah kelas dua Smp tapi dia tidak seperti anak lain yang suka keluyuran bahkan ponsel pun dia tidak punya, Ayahnya melarang dia untuk memiliki ponsel katanya takut akan terpengaruh dunia medsos.
Umur yang tidak lagi muda, aku dan Mas Yanto masih seperti pengantin baru. Mas Yanto akan setiap malam merayuku untuk memenuhi hasrat bhatinnya, aku akan menuruti asal tidak lagi kedatangan tamu bulanan.
Setelah umur Dila 6 tahun aku memutuskan untuk berhenti KB, sudah hampir tiga tahun belum ada tanda-tanda aku akan hamil.
Padahal hampir setiap malam aku dan Mas Yanto melakukan ritual itu agar segera di beri momongan lagi, aku rindu tangis bayi karena berhubung anak-anakku sudah besar.
Tapi siapa sangka umurku yang sudah hampir 36 tahun aku diberi kepercayaan untuk mengandung seorang anak, betapa bahagianya aku dan suami termasuk kedua putriku.
Tapi mual yang parah dan apa saja yang masuk ke perut akan keluar lagi secara paksa, aku lemah tak berdaya padahal sudah minum obat pemberian bidan. Hingga aku terpaksa di infus, beruntung punya suami pengertian dan juga anakku yang sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah tapi aku juga kasihan padanya.
"Ma'af ya Mas." Kataku pada Mas Yanto saat dia memijit pundakku.
"Ma'af untuk apa, sayang?" Tanyanya heran.
"Ma'af karena tidak bisa melayanimu." Ucapku pelan.
"Sayang, aku nggak apa-apa kok. Kamu kan lagi hamil jadi jangan mikirin macam-macam ya."
"Terimakasih, Mas."
"Iya, sayang." Jawab Mas Yanto.
Kini Mas Yanto sudah berbaring di sebelahku dan tertidur pulas, aku menatap wajah tampannya walau pun usianya sudah kepala empat tapi wajahnya masih tampan di tambah jambang halus menghiasi wajah putihnya.
Sudah dua minggu sejak aku terakhir melayani Mas Yanto di ranjang, tapi sepertinya di tidak akan meminta itu sekarang.
*****
Sore hari aku berbaring di ranjang kamarku, tidak bisa apa-apa kecuali berbaring karena pusing ini terus melandaku. Tapi terdengar suara ramai di luar siapa geranan yang datang, tak lama suamiku masuk ke kamar dan memberitahukan ibuku telah datang bersama adikku Ismi.
"Mas, tolong bantu aku bangun. Aku pengen ketemu sama ibu, sudah kangen banget aku, Mas." Pintaku. Mas Yanto pun membantu aku berdiri membopong sampai aku keluar kamar.
Ibu dan Ismi adikku datang membawa buah-buahan segar dari desa, Ibuku punya kebun di desa beliau bersama Ismi dan bapakku menanam buah-buahan dan sayuran di sana.
Asik bercanda dengan adikku tiba-tiba pusingku kembali datang terpaksa aku kembali ke kamar lagi, padahal aku sangat kangen pada mereka.
Aku berbaring di kamar tak lama ibuku masuk ke dalam membawa sesuatu.
"Sudah berapa lama kamu begini, nduk?" Tanya ibuku sambil menyingkap selimut bagian bawah kaki ku.
"Kurang lebih dua minggu, Bu." Jawabku lemah.
"Biar ibu pakaikan wadak ini biar kamu jadi anget." Ujar ibu sambil mengoles sesuatu ke kakiku, ini sangat enak terasa hangat apalagi ibu sambil memijit kakiku.
"Kamu bisa tengkurap, biar ibu pakaikan ke pinggang biar lebih anget."
"Iya, bisa bu." Aku tengkurap dan ibu menyinggap dasterku, perlahan beliau memijit pinggang juga punggung. Pijitan ibu memang tidak ada duanya.
Umur ibuku padahal sudah hampir 60 tahun, tapi beliau masih sangat gagah dan sehat jarang beliau sakit, tapi karena jauhnya tempatku tinggal sekarang dengan rumah ibu di desa paling aku ke sana saat libur sekolah anak-anak atau ibu kesini setelah beliau panen.
Malam hari ibu tidur di kamarku dan di susul Ismi adikku.
"Kenapa nggak tidur di kamar Putri sama Dila, Mi?" Tanyaku ketika dia berbaring di sebelahku.
"Sempit, Mbak. Lagian Mbak nggak punya kasur lantai jadi terpaksa deh tidur di sini." Jawabnya. Oh iya aku lupa, tempat tidur di kamar anakku cuma satu kekecilan pula niat hati ingin belikan satu lagi untuk Dila tapi uangnya masih di tabung, terkadang uang tabungan ke ambil lagi buat nutupin dagangan yang rugi karena ikannya busuk tidak laku.
"Kamu rencana berapa hari di sini sama ibu?" Tanyaku pelanĀ karena ibu sudah tertidur sejak tadi mungkin beliau sangat lelah karena perjalanan jauh.
"Nggak tau Mbak mungkin seminggu, kan kesian bapak juga sendiri. Ada sayur yang masih belum di panen." Jelas Ismi.
"Hemm, coba kamu cepetan nikah biar ada yang bantu bapak di kebun."
"Kenapa mesti nikah dulu, kan bapak juga banyak yang bantuin." Sahutnya.
"Aduh, Mi. Umur kamu itu sudah sangat matang untuk berumah tangga, Ilham saja sudah punya anak dua." Ilham adalah adikku nomor dua.
"Nanti lah Mbak, aku lagi nunggu seseorang." Jawab Ismi pelan.
"Siapa?"
"Ih kepo, nanti aku kasih tau kalo sudah waktunya." Ucapnya seraya berbalik membelakangiku.
"Jangan-jangan yang di tunggu sudah nikah lagi sama yang lain."
"Ih, nggak mungkin lah Mbak. Aku hampir setiap hari berhubungan walau lewat telpon." Ucapnya berbalik lagi menghadapku.
"Ya, kalo begitu suruh jangan lama-lama."
"Iya, iya. Sudah ah aku mau tidur." Aku hanya tersenyum.
Azan subuh telah berkumandang aku bangun dari pembaringan, terlihat ibuku sudah terbangun juga.
"Kamu mau shalat, nduk?" Tanya ibuku.
"Sepertinya iya bu, kepalaku sudah agak mendingan."
Sepertinya kali ini aku bisa bangun sendiri, aku berjalan ke arah dapur dan melihat suamiku baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.
"Mandi, Mas?"
"Iya, Mas gerah. Biar lebih segar juga saat shalat, ini kamu mau ngapain dek apa nggak pusing?"
"Aku mau ambil whudu, Mas."
"Kalo pusing nggak usah di paksa, dek. Atau tayamum aja."
"Nggak apa Mas, aku bisa kok. Sepertinya juga aku sudah baikan."
Kami pun shalat berjamaah, hanya Dila dan Putri yang tidak mungkin mereka masih tidur.
Selesai shalat aku ingin ke dapur, tapi Putri sudah di sana sedang memotong-motong bawang.
"Ngapain, nak?" Tanyaku.
"Eh, ibu. Aku lagi mau masak tapi Kenapa ibu bangun? Apa ibu sudah nggak pusing lagi?" Tanya Putri.
"Ibu sudah tidak pusing lagi, sepertinya juga hari ini ibu mau lepas infus."
"Syukur lah, tapi lebih baik ibu istirahat aja biar aku yang masak aku bisa kok." Ujarnya semangat.
"Lagi ngapain nih, masak ya?" Ujar Ismi datang.
"Iya, Tant. Nenek mana?"
"Nih Nenek." Tunjuk Ismi pada ibuku yang baru muncul.
"Putri kamu mending mandi biar tante-mu yang masak." Perintah ibu.
"Emm, iya Nek." Sahut Putri dia pun pergi ke kamarnya mungkin untuk mengambil handuk.
"Kamu istirahat, biar ibu buatkan air jahe."
"Iya, bu." Aku pun pergi juga ke kamar.
Mas Yanto bersenandung sambil menatap diri di cermin, dia sudah berpakaian rapi lengkap dengan tas di pinggang.
"Eh, adek sayang. Kamu jangan terlalu gerak dulu banyakin istirahat." Ujarnya menatapku.
"Mas, kamu nanti pulang jam berapa?"
"Nggak tau, dek. Mungkin sebelum zhuhur, kenapa dek?"
"Aku ingin ke bidan buat lepas infus."
"Telpon saja bidannya suruh ke rumah, dek."
"Aku inginnya ke tempat bidannya langsung, Mas."
"Dek, kamu kan kurang sehat. Takutnya sampai di sana bidannya nggak bolehin lepas infusnya, lebih baik tunggu di rumah nanti ku telpon bu bidan biar beliau ke sini."
"Iya, deh Mas."
***