Pernahkah berpikir, dalam bola hijau biru ini dari benua satu ke benua yang lain matahari menyinari sesuai waktunya. Saat sinarnya membangunkan belahan Asia di sisi lain ia juga menidurkan belahan Amerika, begitupun sebaliknya. Atau di pulau satu ia memanas, menusuk kulit kepala, tiga puluh menit perjalanan ke pulau lain kepala itu jauh lebih sejuk sebab matahari telah bergeser satu jam lebih.
Arloji di orang pertama bisa jauh berbeda dengan orang di benua atau pulau lain, bisa jadi orang itu jauh tertinggal waktunya oleh orang pertama atau malahan telah tertidur lelap menunggu esok hari. Apakah dalam satu bola ini ada masa lalu, masa kini, dan masa depan yang bergerak serentak? Dirasakan oleh orang yang berbeda dengan orang pertama..
Maksudku… coba bayangkan orang pertama yang sedang menikmati makan siangnya dapat bertanya pada orang di benua amerika. "Hey bung, sepeti apa masa lalu?" sebab benua itu masih baru ingin memulai hari atau orang pertama dapat bertanya pada pulau diseberangnya "Hey Bli, seperti apa satu jam didepan?" sebab pulau tempat Bli tinggal berada satu jam didepannya.
"Hah, gurauan yang lucu." Sela perempuan berkepang yang duduk diseberangnya, masih sibuk mengocok kartu.
"Memang. Tapi pasti enak bisa tahu masa depan, terus kita tinggal nanya ke orang yang …ya, bisa dibilang waktunya berada didepan kita. Terus kita tanya…"Gimana di masa depan?" Sahut Evan yang masih sibuk berkhayal siapa tahu gurauannya itu menjadi kenyataan. "Dari pada ini…hanya kartu. Sudah begitu hanya bisa meramal masih belum tahu bisa terjadi atau tidak." Sembari terus menyeka hidungnya yang terus menghirup dupa tak henti-henti ditambah seluruh jendela tertutup rapat.
...
Bintang gemitang menemani bulan purnama menyinari malam hari. Kumang-kumang menari diantara pohon dengan helai-helai daun melambai pelan mengikuti angin berhembus. Rumah zaman belanda berada di depan taman itu, pekarangannya luas. Sebenarnya pemandangan malam saat itu sangat spektakuler, hanya saja semua tidak terlihat dari dalam rumah.
Semua hordeng ditutup, lampu di langit ruangan dimatikan, tersisa lilin yang disebar dibeberapa sudut ruangan, beramai-ramai berusaha menyinari redupnya dalam rumah. Bersamaan dengan itu dupa-dupa ikut dinyalakan menambah asap serta wangi-wangian memusingkan kepala.
Meja kecil nan pendek berada ditengah dengan dua orang duduk berhadapan. Orang pertama sedang sibuk mengocok kartu, tangan yang panjang dan lentik penuh dengan cincin mengambil setengah dari setumpuk kartu kemudian menaruhnya diatas kartu yang lain, berulang kali ia melakukannya hingga lima menit selesai membuat orang didepannya mandi keringat.
Ini adalah ujian kesabaran untuk Evan, tubuhnya yang tinggi menyulitkannya untuk duduk diam bersilang kaki ditambah udara yang setiap detiknya terus melekat dengan hangat lilin. Berkali-kali mencari barang yang sekiranya dapat menjadi kipas tapi harapannya lantas pupus dengan betapa remangnya ruangan yang ia duduki. Jika, kartu itu tidak menjadi penting dihidupnya ia akan memilih secepatnya keluar dari rumah Ette, teman sebangkunya itu.
The Magician, The Hermit, Death, tiga kartu dengan gambar manusia membawa cawan, manusia membawa lentera, dan tengkorak serta kuda, ditaruh dimeja.
Evan mengusap wajahnya. Kematian ?! kenapa keluar kartu yang seperti ini di hari penting. Mati bukan jawaban yang aku inginkan. Apa ini pertanda akan ada kejadian buruk? Atau memang sebaiknya aku tidak perlu berharap lolos dalam tes tahun ini? Sepertinya memang sudah takdirku.
"Death, bukan berarti buruk. Ini arti yang bagus. Sebuah permulaan baru." Ette angkat bicara menghentikan komentar di kepala Evan. Seperti biasa Ette selalu bisa membaca pikiran Evan walau ia memasang wajah datar sekalipun.
"Apa aku akan lulus di tes tahun ini?" Tanya Evan untuk yang keseribu kalinya.
Ette membalas pertanyaannya hanya dengan hendusan lantas mengangkat kedua bahunya. Wajah yang sejak tadi Evan usahakan terlihat energik ikut terguyur keringat hingga seisi wajah penuh lipatan mengingat besok ia harus menjalani tes tanpa ramalan, tidak tahu akan lulus atau tidak.
"Tarot bukan jawaban, ia lebih membantu kita dalam mengidentifikasi solusi, petunjuk menjalani hari, membuka pikiran dan perasaan yang orang itu sendiri berusaha menutupi. Tiga kartu di meja ini keluar sesuai hati dan pikiranmu, tidak akan sepenuhnya benar selebihnya jika kamu mencoba mengeluarkan kartu esok hari tentu berbeda. Tapi, seperti yang kamu tahu ramalanku selalu tepat. Terbukti dari bertahun-tahun aku membacakan tarot untukmu." lagi-lagi Ette menjawab isi pikiran Evan.
"Apa awal yang baru itu baik?"
"tergantung kamu memikirkannya."
Mau tidak mau pasti berharap ini menjadi awal yang baik, pikir Evan sembari melihat aspal yang penuh genangan air, berhati-hati melangkah takut terpeleset. TBU singkatan dari Tes Beasiswa Universitas, ujian yang dibuat oleh perusahaan besar farmasi dan sudah diakui lembaga yang bergerak secara global.
Perusahaan ini mengambil alih dalam tes yang niatnya untuk para siswa-siswa berpotensi dari berbagai sekolah. TBU dapat diikuti oleh semua jenjang sekolah hingga batas umur 30 tahun yang sama sekali belum kuliah. Anak-anak yang berhasil lulus dalam tes ini akan dihitung nilainya kemudian dibandingkan dengan Universitas imipiannya, tidak masalah jika tidak mendapatkan tempat pilihan sebab mereka telah memilihkan yang sesuai dengan kemampuan ataupun bakat kita.
Evan termasuk dari salah satu siswa senior yang ikut program tes ini, tahun ini tes kesepuluhnya setelah sembilan kali gagal. Siang malam tak ada dikamusnya main yang ada hanyalah jadwal mata pelajaran, banyak yang ia pelajari dari setiap kegagalan namun itu menghasilkan kegagalan yang lain. Setiap tahun menjadi tambah berat baginya, tak tahu apakah agama dan buku memang sudah cukup atau butuh jalan lain.
Secarik cahaya ditemukannya saat bertemu Ette, perempuan berkepang satu dengan dahi mengkilat. Satu-satunya teman yang ahli dalam membaca pikiran Evan dan tarot.
Evan tidak terkejut mengetahui bahwa ada teman yang suka bermain tarot, dulu dirinya memang sudah melewati dukun dan hal hitam lainnya. Semua diawali karena TBU ini, tahun kedua di kelas dua dasar ia gagal dalam tes ini, kedua orang tuanya tentu tahu ini baru yang kedua kalinya namun siapa yang tidak muncul iri hati ketika rumput tetanggga lebih hijau.
Didikan ayahnya yang keras selalu mendorong Evan untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik, tak kalah dengan didikan ibunya. Ibunya juga ikut serta menyemangati membandingkannya dengan tetangga, sepupu, anak jalanan sekalipun. Gagal yang kedua kalinya membuat Evan harus mengikuti ibunya di pertegahan hari akan berganti menuju tempat berkabut, penuh dupa, dan suara gemericik entah dari mana. Kartu yang sama penuh gambar dan tulisan yang sebelumnya ia belum mengerti lantas dikeluarkan, kemudian dibicarakan, kadang tidak sampai situ tangannyapun juga ikut menjadi jawaban masa depan.
Evan tidak rewel atau menangis setiap disuruh menunggu ibunya—toh ini juga untuk kebaikannya juga. Memang tujuan utama ibunya untuk mempersiapkan segala yang terjadi kedepannya atau kalau bisa semoga ada jawaban lulus dari setiap tes TBU, lambat-laun ini menjadi kewajiban yang harus dilakukan ibu ditambah emosi ayah yang terus naik akibat Evan gagal ditahun berikutnya dan berikutnya lagi.
Tahun kelima, semua berhenti. Tak lagi ada marah dan tak ada lagi kartu. Dimulai dari ayah yang jatuh sakit dan saat umur Evan yang sepuluh, tulang punggung keluar ini memilih tidur selamanya dan tanpa diketahui olehnya dimana tubuhnya itu berada—lima bulan tanpa kabar. Istri tercinta menjadi rapuh, pertama kehilangan suami tanpa kabar ia pergi kemana kemudian balik hanya sebuah kalimat "Suami anda telah meninggal dunia."
Kedua hasil ramalan jelek ditambah kartu The Tower, saat itu Evan kaget melihat wajah ibunya yang jauh lebih suram. Meja dukun itu dibaliknya, dihantamnya setiap barang disitu, belum sampai situ, ibunya membuat berisik rumah orang tak dikenalnya. Singkat cerita, Evan kecil itu harus menyeret ibunya keluar sebelum ditendang oleh sang pemilik rumah. Sejak saat itu, ibunya terus mengurung diri dikamar hanya keluar ketika nonton televisi—lupa dengan keadaan anaknya.
Evan sebagai anak satu-satunya harus mencari cara bertahan hidup terutama makan. Untung saja tetangga sebelah kirinya yang ia sebut Nuna, telah dianggapnya sebagai nenek sendiri membantunya dalam memberikan gizi dan protein. Urusan makan jadi jauh lebih gampang, sedangkan untuk bebersih, menyuci baju, sebisa mungkin ia kerjakan sendiri hingga ia beranjak menjadi anak remaja berumur enam belas tahun dan sebulan lagi umurnya bertambah satu.
Ia tumbuh menjadi anak mandiri dan tangguh, dan berbakti kepada orang tuanya—itu penilain orang-orang disekitarnya. Ditambah perawakannya yang lebih tinggi dari anak seusianya serta wajahnya yang seperti pahatan menjadi dambaan para ibu-ibu sebagai perbandingan untuk anak-anaknya. Tapi ada juga orang yang menganggap Evan sebagi anak kecil yang masih butuh kasih sayang dan ditimang, tidak lain adalah Nuna. Seperti pagi ini, Nuna ikut sibuk dalam pesiapan perjalanan Evan.
Bintang gemitang menjauh dari cahaya oranye yang datang dari timur, keluar diantara dua bukit. Ketika yang lain masih memilih menempel dikasurnya sebelum cahaya matahari memesak mereka bangun, burung-burung masih bersiap berkicau, dan sebelum ayam berkicau, disitulah Evan dengan wajah tidurnya memasuki dapur berdebu. Dibukanya jendela diatas tumpukan piring belum dicuci, hembusan angin menarikan rambut berantakannya bersamaan dengan debu-debu terpaksa bangun dari sela jendela. Hatchuuu…debu hinggap di hidungnya.
Dingin air mengenai kulit hangatnya, seketika memelekan mata. butiran nasi empat kali dimandikannya hingga bersih, kemudian Evan masukan air dan daun pandan serta santan kedalam rice cooker. Lanjut menyalakan kompor, penuhi panci dengan minyak, biarkan hingga meletup. Sekarang tunggu hingga ayam dan tempe itu selesai berenang ketika warnanya menjadi cokelat. Kemudian lanjut mengeluarkan berbagai sayur mayur dan telur, dibuatnya berbagai resep dan dimasukan kembali kedalam kulkas agar bisa kapanpun disajikan, tugasnya di dapur selesai lantas kembali ke kamar, mengenakan seragam sekolahnya dengan celana menggantung diatas mata kaki.
Mengambil tas jinjing yang sudah dipadatkan dengan baju dua minggunya dan peralatan mandi. Kemudian diisinya tas ransel besar dengan setidaknya lima buku tebal dan dokumennya sembari memeriksa meja belajar waspada tidak boleh ada barang yang tertinggal sebelum mata Evan tertuju pada satu kotak.
Kotak kayu bentuk kubus dengan sisi atasnya dipenuhi ukiran elang yang amat detil. Dibukanya kotak itu, terlihat arloji tua didalamnya degan jarum jam keduanya diangka dua belas, berhenti sempurna seperti sedia kala saat hari pertama ayahnya menghilang.
Dikenakan arloji itu di pergelangan tangan kirinya, lengkap sudah persiapannya dan sudah saatnya berangkat setelah bel rumah berbunyi. Evan bergegas menuruni anak tangga sdengan memabawa kedua tasnya itu. Sebelum keluar ia mengetok salah satu pintu.
"Mah…aku pergi dulu ya, dua minggu lagi aku baru balik. Makanan sudah ada di kulkas, dimakan ya." Ucapnya melawan pintu kayu yang membatasi mereka bedua. Lenggang. Evan menunggu jawaban dari kamar didepannya.
"Um…" terdengar suara kecil beserta kesiur angin dari dalam .
"Aku pamit ya…aku juga minta doanya." Balas Evan lantas berjalan ke pintu depan.
Pintu depan terbuka menyambut Evan dengan terik menusuk wajahnya. Ruang remang dalam rumah tak bisa dibandingkan dengan lampu alami melayang di luar angkasa itu. Anak berseragam merah, biru, dan abu-abu berjalan di selasar. Ada yang tertawa riang bersama teman, ada yang ribet bersama ibunya yang membawa tas anyaman, ada yang sibuk mebolak-balikan buku tanpa sedetikpun mengadah.
"Yo…hati-hati di jalan ya." Suara melengking yang sudah biasa didengarnya.
Evan mencoba melihat lebih jelas orang didepannya yang terlewat bersinar dari pantulan di dahi lebarnya. Ette terkekeh melihat barang bawaan Evan yang sebegitu banyak layaknya pindahan rumah, walau akhirnya ikut membantu membawakan tas jinjing ke dalam bus yang sudah menunggu sekalian memberi kesempatan perpisahan untuk mereka.
"Sudah di periksa semua barang bawaannya lagi?" Sela wanita paruh baya bermata biru
"Sudah, Nuna."
Nuna, tetangga sebelah kiri Evan. Model rumahnya berbeda sendiri dari kebanyakan rumah ditempat itu. Bagian luarnya berwarna merah terang dari batu bata, dengan undakan di pintu depan serta dua jendela di kedua sisi diberi cat putih selaras dengan atap rumah, khas Finlandia. Memiliki halaman depan penuh kebun bunga, membuat perhatian orang yang lewat langsung dialihkan dengan wangi melati dan kacapiring—ini juga yang memikat Evan untuk mengunjungi rumahnya sejak kecil.
Wanita jangkung yang masih tetap menggunakan sepatu tinggi dan gaun floralnya selalu menyambut hangat anak kecil samping rumahnya itu walau kerjaannya meminta pie bluberry yang harumnya masuk ke sela jendela rumah. Keluarganya yang cinta bekerja, membuat Evan sering dititpkan pada Nuna sehingga waktu kecilnya lebih banyak kenangan bersama Nuna daripada orang tuanya sendiri.
"Baju sudah dibawa? Apa kamu membawa sandal sebagai ganti? Obat-obatan? Dokumen data diri? Peralatan mandi? Buku—"
"Semuanya sudah aku cek, tidak ada yang tertinggal." Sela Evan, menjawab segala pertanyaan sebelum semakin banyak.
Walau sering kali risih dengan banyak pertanyaan saat ia pergi jauh atau hanya bermain sepeda di sekitaran komplek, masih dijawabnya. Toh…Nuna tentu khawatir, apalagi dimatanya Evan masih saja bocah ingusan yang suka mengompol ketika tidur dan datang padanya untuk minta ganti popok ketika dirumahnya sendiri tidak ada orang. Ia juga sudah sering menghabiskan waktu seharian dirumah Nuna, tidak pernah sekalipun pemilik rumah merasa direpotkan. Mungkin alasan lainnya karena Nuna hidup sebatang kara. Bukan berarti tidak pernah memiliki pasangan hidup—tentu wanita pensiunan model ini memiliki cinta sejatinya. Tidak pernah diceritakan secara jelas siapa lelaki tulen bermata hijau yang menikahinya di Prancis itu. Sudah bisa dibayangkanmunculnya pasangan ini akan membuat arti baru seperti apa itu pasangan yang sempurna, yang menjadi masalah adalah tidak terlihatnya sang buah hati.
Layaknya manusia, satu hal yang berbeda akan menjadi cibiran menemani teh dan makanan ringan sore hari. Menjalani hubungan di lingkungan penuh mata sehari-hari akan terasa berat, bukan mereka yang menjalani percintaan ini tapi jadi ikut masuk kedalam cerita mereka. Muak, menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk pindah ke negara lain, menjalani hidup baru. Disinilah, Nuna dan suaminya menjalani hari, walau diusia mereka yang berkepela empat harus berpisah. Suami Nuna sukses mengembangkan perusahaan, tujuan utamanya cabangnya ingin disebarkan keluar, namun lambat laun ditunggu Nuna beda benua suaminya tak kunjung datang, hingga hanya kartu dan berita kelam meluputkan cinta mereka. Kini yang tersisa hanya cinta Nuna pada tempat tinggalnya ini.
"Au revoir! Bonvoyage!" Ucapnya dikejauhan sembari melambaikan tangan salju dan letik ke bus.
"Merci!" teriak Evan ditengah undakan bus yang akan berangkat.
"Tunngu Van, aku lupa memberi ini." Ette mengulurkan kotak yang secepatnya diambil Evan. "Jimat." Tambah Ette. Ia erkekeh menyaksikan Evan yang mendengus tak percaya teman sebangkunya itu memberikan "jimat" yang diharapnya dua minggu ini tidak dilihatnya. Tarot yang sama dipakainya sehari sebelum pergi terbungkus rapih dalam kotaknya yang mulai terkelupas.
CSSSS! Desing pintu bus menandakan akan menutup. Evan berjalan pelan-pelan ditengah anak-anak yang ribut berseragam, mencari tempat yang belum diduduki. Ketemu. Kursi ke sepuluh dari depan, dua-duanya masih kosong. Karena ini pemberhentian terakhir sebelum menuju stasiun artinya dua kursi ini menjadi miliknya. Tas punggung itu ditaruhnya di kursi bagian luar dan Evan menduduki kursi yang dekat jendela, melambai keluar ke Nuna yang masih di pekarangan rumah. Temannya itu yang terus memantulkan cahaya matahari dari kening berpoles melompat-lompat diluar jendela merentangkan kedua tangannya. Ini juga menjadi jawaban kenapa kursi sebelahnya kosong.
Sebenarnya dua kursi ini diduduki Evan dan Ette. Sayang, Ette tahun ini memilih tidak ikut. Ia mendapat tawaran lain yang sekiranya buat dirinya sendiri itu menjadi kesempatan paling tidak boleh ditinggalkan dihidupnya. Ia mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri untuk belajar dan bertemu penulis-penulis buku dari yang belum memiliki nama hingga sudah dikenal karyanya dimana-mana. Sesuai dengan Ette yang suka menulis, ia tentu akan pergi. Masalah masuk universitas masih ada kesempatan lain, tujuannya juga masih belum jelas akan memilih kuliah dimana sama seperti Evan. Bedanya Evan memang sudah membulatkan tekadnya untuk kuliah sebisa mungkin beda negara dengan tempat tinggalnya, jurusannya apa tidak akan jadi masalah.
Sekarang ia harus fokus dulu untuk setidaknya dalam kesempatan terakhirnya ini sebelum lulus dari sekolah Mengengah Kejuruan dan sebelum umurnya mencapai tujuh belas tahun, ia diharuskan lulus dalam tes beasiswa ini. Kini ia menurunkan harapannya, paling tidak untuk sekarang ia lulus dulu sehingga bisa lebih mudah masuk ke Universitas walau mungkin tidak bisa diluar negeri, namun tidak bayar di Universitas negaranya dikondisi ini jauh lebih menguntungkan.
Bus menghilang dikelokan jalan, pemandangan diluar lantas berganti. Evan menyenderkan tubuhnya, menghela napas panjang, mencengkramkan kuat-kuat tangannya. Tidak ada waktu untuk kembali sekarang, apapun yang terjadi aku harus bertahan hingga dua minggu ini selesai, ucapnya pada diri sendiri. Menguatkan tekad.