Chereads / Será / Chapter 5 - Eight of Wands (02)

Chapter 5 - Eight of Wands (02)

"Aku dengar dari Chapin kamu sangat hebat dalam mengukir di marble."

"ah…tidak juga." Evan mengusap belakang lehernya sembari mebungkukan badan.

Agatha menatapnya lembut. "Jika ada kesempatan, aku ingin kamu memberikan karya ukiranmu ke museum milikku."

Matanya membesar melihat ke perempuan cantik disampingnya itu. Agatha yang melihatnya tersenyum simpul. "Jika seseorang itu sering dibicarakan oleh Chapin artinya orang itu dapat dipercaya, dan seseorang itu adalah dirimu, Evan."

Wajahnya memerah dan ia kembali mengusap lehernya. Belum pernah ada orang yang memujinya lantas memberi tawaran. Selama ini dia hanya dikellilingi orang yang tidak peduli dengan yang dilakukannya. Terutama kedua orang tuanya.

Ayahnya memasukan Evan kedalam sekolah seni sebab dia tahu anaknya itu payah dalam pelajaran biasa. Jadi dengan pasrah ia membiarkan Evan memilih sekolah yang ingin dimasuki. Dan setiap Evan ingin menunjukan hasil pahatannya, ayahnya hanya menatap kosong lantas kembali menelirik koran yang dipegangnya.

Sampai sekarang apapun yang dibuatnya, apapun keberhasilan yang dicapainya, ia tidak akan memberitahu siapapun. Biarkan orang lain itu tahu dengan sendirinya. Dan Evan akan terus merasa tidak cukup dengan hasil yang telah didapatnya.

"Ini kartu nama, hubungi nomor ini ketika kamu siap memberikan kita hasil pahatanmu." Agatha memberikan kartu nama dari sakunya.

Le moment birforst museum. Le moment yang artinya saat ini dari bahasa Prancis. Evan baru menyadari bahwa nama museum itu sedang hangat diperbicangkan. Ini menjadi kesempatan baginya untuk menampilkan nama serta mendapatkan uang. Ia sudah membayangkan apa saja yang akan dilakukannya setelah menaruh pahatannya di galeri museum.

TUUUUUUTT…siul kereta begitu nyaring terdengar di stasiun. Anak-anak lain beranjak berdiri dari tempat tunggunya begitu juga dengan Evan dan Agatha.

"Sampai jumpa lagi Agatha, terimakasih untuk kartunya." Evan mengencangkan suaranya diantara keramaian sembari melambaikan kartu itu.

Agatha terkekeh pelan. "Ya, sama-sama" Ucapnya sebelum hilang di kerumunan siswa yang berebutan masuk.

Masuk digerbongnya Evan mendengar tempat itu penuh siswa yang terpukau. Lihatlah, kursi mereka kini sudah ditutupi ranjang diatasnya. Tas mereka tersimpan di bawahnya. Ranjang itu sudah diberikan dua bantal penuh dengan bulu angsa serta selimut tebal, sesuai dengan ranjang yang muat hanya satu siswa.

Untuk kasus yang duduk bersama seperti Banin dan Benin, mereka diberikan dua ranjang bertingkat. Sekarang mereka sedang ribut siapa yang akan tidur dibagian atas. Untung saja Evan sendiri, jadi tidak ada yang perlu diributkan. Dia bisa nyaman tidur atau bersantai diranjang melihat pemandangan yang sejak tadi berganti.

Bulan sudah menyinari malam pertama para siswa di kereta Avenir Express. Perjalanan mereka masih jauh sebab itu mereka mengunakan waktu yang ada untuk menikmati beraneka ragam makanan di gerbong restoran.

Khusus untuk hari ini, mereka tidak perlu mengantri memilih makanan atau mondar-mandir diantara meja. Avenir Express telah mennyediakan menu lengkap dan istimewa. Para siswa hanya ditugaskan untuk duduk manis di meja yang sudah dipilihnya, menunggu hidangan.

Seperti saat makan siang tadi Evan duduk bersama Ceri, Chapin, juga Agatha yang sekarang duduk disampingnya. Ceri berada didepannya, membuat Evan sulit menatap orang sedingin es batu itu. Sedangkan didepan Ceri ada si hitam manis yang terus mengoceh sejak tadi. Tepatnya, mengoceh tentang Evan dimasa kecilnya. Membuat wajah Evan semerah saus tomat.

"Kalian tahu. Evan ini sangat berjasa dimasa kecilku. Dia membantuku dari anak-anak nakal yang suka memojokanku di taman bermain. Saat itu aku sedang dirudung oleh mereka, di tertawakan atau tidak dilempari sampah. Bakpao gosong, bakpao gosong, itu pangillan dari bocah-bocah nakal itu….

Hingga suatu teriakan menghentikan segalanya. Di kejauhan Evan berdiri tegap, menaruh kedua tangannya dipinggul, dan berteriak "Hentikan". Bocah-bocah itu menatap sinis kearah Evan yang sejak tadi ribut akan mengadukan mereka ke guru. Tidak perlu waktu lama mereka lupa ada aku yang masih terdiam ditempat, mereka sudah sibuk mengejar-ngejar Evan mencoba menghentikannya masuk ke dalam sekolah. Dengan jerih payahnya Evan berhasil masuk ke kelas, anak-anak itu diomeli, aku sudah tidak dirudung, dan aku menganggap Evan layaknya superhero. Setiap ada kesempatan aku akan membuntutinya dari satu tempat ketempat lain. Evan dulunya menjadi idola terfavoritku." Chapin meneguk air putih, menarik napas, lantas kembali melanjutkan cerita.

"tapi, kalian tahu ada kejadian menarik yang dilakukan idolaku. Saat ia dikejar-kejar oleh kumpulan bocah nakal itu, ditengah pelariannya ia meneteskan air yang bersumber dari celananya. Ia lari terbirit-birit sembari mengompol. Ditambah, setelah sampai dikelas ia bercerita dengan cepat dan kencang, ngompolnyapun menjadi semakin deras." Chapin tertawa lebar setelah menyelesaikan cerita.

Agatha juga tertawa namun tidak keras, ia menutupi senyumnya itu dengan serbet putih. Ceri dibalik dirinya yang fokus mebaca ia tertawa, namun berusaha ditahannya. Sedangkan si 'idola' tak kuasa memandang siapun yang ada di meja itu, terlalu malu karena tidak menyadari kelakuannya saat kecil.

Di saat yang bersamaan, semua cerita Chapin terlihat aneh baginya. Dia sama sekali tidak mengingat itu adalah pertemuan pertama dirinya dengan Chapin, hingga ke cerita ia mengompol. Cerita itu terasa asing.